Aku dan Kak Sakura
Percayakah kamu, bahwa hubungan darah atau persaudaraan itu sampai kapan pun takkan pernah terputus? Karena kini aku merasakannya. Aku merasa, aku memiliki hubungan batin dengannya. Dan aku yakin, bahwa ia pasti saudaraku. Saudara yang selama ini aku impikan. Oh ya, namaku Hime. Hime dalam bahasa Cina artinya Putri. Di keluargaku aku anak tunggal. Padahal aku ingin sekali punya saudara. Aku selalu kesepian.
Dua minggu yang lalu aku dan keluargaku makan malam di kafe langganan kami. Saat kami sedang makan, ada satu band yang tampil. Aku memerhatikan vokalisnya, entah mengapa aku merasakan sesuatu di dalam dadaku. Kuperhatikan lagi gadis yang kutahu namanya adalah Sakura itu lekat-lekat. Tatapanku mengarah ke kalung yang tergantung manis di lehernya. Liontin itu, liontin yang sama dengan liontin yang tergantung di leherku.
Liontin kami yang kembar itu, aku yakin bukan kebetulan belaka. Liontin berbentuk bintang jatuh itu adalah milik keluarga kami. Tepatnya milik setiap anak gadis pertama dalam keluarga ayah dan saudara-saudaranya. Karena aku adalah anak pertama ayah, nenek memberiku liontin ini. Dan kutahu, liontin ini adalah liontin keluarga. Makanya aku heran, kenapa Sakura bisa memiliki liontin itu. Di rumah aku menanyakan hal itu kepada ayah. Awalnya ayah tak mau menjawab pertanyaanku. Setelah kudesak, akhirnya ayah mau juga menjawab pertanyaanku. Ayah menjawab pertanyaanku di ruang kerjanya, karena katanya ini hal yang sangat pribadi.
Ternyata, Sakura adalah anak kandung pertama ayah. Aku anak keduanya. Dulu ayah pernah menikah, dan dari pernikahan itu lahirlah Sakura. Sayangnya pernikahan mereka tak bertahan lama. Setelah tiga tahun menikah, mereka memutuskan bercerai. Sakura tentu saja ikut ibunya. Dan lima tahun kemudian, ayah menikah dengan bunda. Sebelum menikah dengan bunda, ayah berjanji untuk melupakan semua masa lalunya. Tak lama kemudian aku lahir. Dan di ulangtahun pertamaku, nenek memberiku liontin ini.
Aku sama sekali tak mengira sama sekali tentang Sakura. Tapi seperti apapun dia, dia tetap kakakku. Kakak kandungku. Walau kami lahir dari rahim yang berbeda, tapi dalam tubuh kami mengalir darah yang sama. Sejak saat itu aku merasakan kerinduan yang dalam ke Kak Sakura. Walau aku belum pernah bertemu dia sebelumnya, aku yakin bahwa aku menyayanginya. Aku ingin sekali memeluknya. Aku ingin sekali merasakan memiliki seorang kakak dalam hidupku.
***
Siang ini seperti biasa aku dan kedua sahabatku—Arion dan Chevy—sedang hunting buku di Gramedia.
“Hime, kamu yakin dia itu kakak kamu? Siapa namanya tadi?” Arion menanyakan keyakinanku.
“Yakin, lah. Aku bisa ngerasain. Ada getar aneh di hatiku. Liontin kami juga sama. Lagipula, ayah juga sudah cerita kalau Kak Sakura memang benar kakakku,” jawabku sambil menunjukkan liontin kembarku dan Kak Sakura.
Arion dan Chevy hanya saling berpandangan. Aku tahu, mereka nggak percaya begtu saja.
“Kamu sudah coba ngomong sama Kak Sakura?” kali ini Chevy yang bertanya.
“Dua hari setelah aku ngeliat dia di kafe, aku ke sana lagi. Aku udah coba ngomong sama dia, tapi dia seperti menghindar—apalagi setelah ngeliat liontinku. Aku sudah hubungi ke hapenya. Tapi semua telepon dan smsku nggak pernah ditanggapi,” jawabku dengan mata mulai berkaca-kaca.
Melihat kondisiku yang mulai kacau, Arion membimbingku ke sofa terdekat di dekat rak bagian Psikologi.
“Aku kangen sama Kak Sakura. Aku tahu, sebelumnya aku nggak pernah ketemu dia. Tapi aku tahu kalau aku sayang banget sama dia. Aku ingin banget ketemu dia,” curhatku begitu duduk di sofa.
“Sekarang kamu maunya gimana?” tanya Chevy.
“Aku mau ketemu Kak Sakura,” jawabku mantap. Lagi-lagi Arion dan Chevy hanya terlongo menatapku.
“Yang benar, Him?” tanya Arion tidak percaya.
“Iya. Kalian temani aku ketemu Kak Sakura ya?” pintaku ke mereka berdua. Mereka berdua mengangguk dan tersenyum tulus
Aku bahagia banget berada di antara mereka berdua.
“Trus rencana kamu sekarang gimana?” tanya Chevy lagi. Aku segera menjelaskan rencanaku ke mereka berdua. Sesekali mereka menganguk-angguk dan memberi saran. Akhirnya kami mencapai rencana final. Besok kami akan ke kafe tempat Kak Sakura kerja.
***
Pagi ini aku merasa sangat deg-degan. Sebentar lagi Arion dan Chevy menjemput aku, setelah itu kami akan ke Pearl cafÉ—tempat kerja Kak Sakura.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di Pearl cafÉ. Kami segera turun dari mobil Arion dan memasuki kafe yang tampak sepi di siang hari.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” seorang karyawan kafe berpakaian cokelat menghentikan langkah kami.
“Begini, pak. Apa kami bisa ketemu dengan orang yang biasa mengurusi penyanyi di kafe ini?” tanyaku sopan.
“Oh, kalian bisa temui bagian humas. Silakan kalian tunggu di sini sebentar, saya panggilkan. Bagaimana?” tawarnya ramah. Kami mengangguk, karyawan itu segera masuk dan tak lama keluar dengan seorang wanita paruh baya.
Wanita itu tersenyum ramah dan menghampiri kami.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sapanya ramah seraya menjabat tangan kami.
“Selamat siang. Maaf, apa benar Sakura bekerja di kafe ini sebagai penyanyi?” tanyaku.
“Oh, Sakura. Iya dia memang penyanyi di kafe ini. Tapi sudah dua minggu ini dia nggak kerja,” jawabnya.
“Boleh kami minta alamatnya? Kebetulan kami ada sedikit keperluan dengan Sakura,” Arion menanyakan apa yang ada di pikiranku.
Aku tak sempat bertanya karena dalam hatiku berkecamuk pertanyaan, kenapa Kak Sakura nggak kerja?
“Silakan kalian tanyakan ke Ria. Dia vokalis baru di kafe ini. Siapa tahu dia bisa bantu. Rumahnya nggak jauh dari sini. Masih di jalan ini, nomor 23,” jawab Kepala Humas yang bernama Ika sambil menunjuk sebuah rumah berwarna hijau yang terletak tak jauh dari kafe. Kami bertiga berterimakasih dan segera pamit. Kemudian kami segera menuju ke rumah yang tadi ditunjukkan.
Begitu sampai, Artion langsung mengetuk pintu rumah Ria. Aku menunggu dengan gugup.
“Maaf, Ria?” tanya Arion kepada seorang gadis yang baru keluar dari dalam rumah.
“Iya, kalian siapa?” tanyanya dengan nada bingung.
“Kami diberitahu Ibu Ika, kalau kamu kenal dengan Sakura. Apa kamu tahu di mana Sakura tinggal?” kali ini Chevy angkat bicara.
Wajah Ria langsung tampak tidak suka begitu nama Kak Sakura terucap.
“Waduh, maaf. Saya nggak tahu apa-apa tentang Sakura. Saya nggak kenal dia,” jawabnya dan segera masuk ke dalam rumah. Aku segera menahan tangannya.
“Tolong, mbak. Saya butuh banget ketemu Kak Sakura. Tolong,” aku menahan tangis yang akan tumpah. Arion dan Chevy juga berusaha membujuk Ria. Tapi Ria seperti tak mau tahu dengan Sakura. Aku tak mengerti ada masalah apa sebenarnya.
Melihat gelagat Ria yang bersikeras tak ingin ikut campur dengan segala hal tentang Kak Sakura, Arion menahanku yang masih berusaha membujukku. Chevy mengusap-usap punggungku dan menghiburku.
“Kayaknya nggak ada cara lain. Satu-satunya cara kita harus tanya langsung ke ayah kamu,” putus Arion. Yah, mau tak mau memang kami harus menanyakan hal ini langsung ke ayah.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kita ke rumahku. Yuk,” aku menyetujui saran Arion. Bertiga kami menaiki Mercy C 200 Compressor Arion menuju rumahku. Di bangku belakang, Chevy menghiburku yang sedang gugup. Aku menebak-nebak apa reaksi ayah nanti saat aku bertanya tentang Kak Sakura? Menjawab dengan gamblang? Atau justru menghindar?
Tak terasa kami akhirnya tiba di rumahku. Arion dan Chevy menggenggam masing-masing tanganku, merasakan betapa dinginnya tanganku. Begitu sampai di depan pintu, kuketuk pintu dan kutunggu ayah membuka pintu.
“Eh, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” sapa ayah tanpa curiga.
“Baik, oom. Saya dan Chevy ke sini mau nemenin Hime. Hime mau nanya tentang Kak Sakura,” jawab Arion terbata-bata.
Ayah langsung menatapku tajam.
“Buat apa kamu tanya-tanya tentang Sakura?” tanya ayah. Tak ada nada marah dalam suaranya.
“Hime ingin ngerasain punya kakak, Yah. Dan Kak Sakura itu biar gimana pun juga kakak Hime. Tolong, Yah, Hime ingin ketemu Kak Sakura,” bujukku dengan mata berkaca-kaca.
Ayah yang tak pernah tega melihat mataku yang berkaca-kaca langsung menunduk. Ada mendung tebal di wajahnya. Aku tahu, baginya ini sama dengan membuka luka masa lalunya.
“Baik, ayak akan cerita semuanya. Kita cerita di dalam saja.” Baru saja ayah akan merangkulku, bunda keluar.
“Lho, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” bunda juga menyapa tanpa curiga.
“Ini, Hime ingin tahu tentang Sakura,” jawab ayah.
Wajah bunda langsung mengeras begitu mendengar nama Kak Sakura.
“Kamu itu apa-apaan, sih?! Itu aib masa lalu ayah kamu. Buat apa kamu tanya-tanya lagi?!” bentak bunda. Aku tahu, bunda tidak suka sama Kak Sakura.
“Tapi bunda, aku pengen ngerasain punya kakak,” rengekku.
“Pokoknya nggak! Sekarang juga kamu masuk rumah!” bunda membentakku lagi. Air mataku mulai menetes. Aku tetap mencoba membujuk bunda, tapi bunda tetap tak setuju.
Arion dan Chevy saling melemparkan pandangan prihatin. Tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf, Arion, Chevy. Ini masalah pribadi keluarga kami. Jadi pihak luar tidak bisa ikut campur urusan kami,” ayah mengusir Arion dan Chevy dengan halus. Sayup-sayup masih kudengar Arion dan Chevy pamit ke ayah.
Di dalam bunda terus mengomeliku.
“Kamu tahu sendiri kalau keluarga kita sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga mereka! Buat apa kamu ungkit lagi masa lalu ayah kamu?! Sekarang itu keluarga ayah kamu cuma bunda dan kamu! Bunda nggak mau dengar kamu sebut-sebut nama Sakura lagi!” selesai berkata seperti itu, bunda langsung masuk ke kamarnya.
“Ayah..” aku menangis dalam pelukan ayah. Ayah tidak ikut membentakku. Aku tahu perasaan dilema ayah. Satu sisi ayah sudah memutuskan untuk mengubur masa lalunya. Tapi di sisi lain ayah tidak ingin melupakan Kak Sakura yang darah dagingnya sendiri. Biar bagaimanapun juga, hubungan ayah dan anak tak akan pernah terputus.
***
Baru tiga hari kemudian aku bisa keluar rumah. Sejak pertengkaran dengan bunda, aku tidak diijinkan keluar rumah. Dan sudah tiga hari aku dan bunda perang dingin. Kami tidak saling tegur sapa. Ayah juga tidak mau menceritakan tentang Kak Sakura walau telah kubujuk-bujuk.
Hari ini aku ada di dalam taksi, menuju eXIsT cafÉ—tempat aku janjian dengan Arion dan Chevy. Begitu aku melihat mereka, aku segera duduk di kursi di antara mereka berdua. Syukurlah mereka memilih tempat di pojok.
“Gimana, Hime? Ayahmu udah cerita? Bunda kamu gimana?” pertanyaan-pertanyaan Chevy tak langsung kujawab. Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan mataku yang mulai berair.
“Hime?” tepukan lembut Arion menyadarkanku. Aku mengangkat kepalaku dan langsung menumpahkan tangis di dadanya.
Mereka berdua langsung mengerti. Mereka membiarkanku menangis sampai aku merasa lega. Saat akhirnya aku mulai merasa lega dan siap bercerita, aku mengangkat kepalaku dan kulihat di meja sudah ada segelas coklat hangat.
“Minum dulu, biar kamu merasa baikan. Kalau udah, kamu bisa cerita,” kata Chevy. Aku menyeruput sedikit minuman favoritku kemudian kuletakkan kembali ke meja.
Kupandangi wajah mereka berdua sebelum mulai bercerita.
“Ayah tetap nggak mau cerita tentang Kak Sakura. Jujur aja, aku nggak tahu sekarang mau ngapain. Aku bingung,” aku memang tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua jalan menjadi buntu.
“Nggak ada jalan lain. Satu-satunya cara kita harus tanya lagi ke Ria,” usul Chevy.
“Iya. Selain ayah kamu, cuma dia yang tahu tentang kakak kamu,” Arion menyetujui usul Chevy. Yah, memang tidak ada cara lain. Satu-satunya cara kami harus menemui Ria lagi.
“Oke, kalau gitu sekarang kita ke rumah Ria,” putusku akhirnya. Kami segera menghabiskan minuman kami dan membayar. Kemudian menuju rumah Ria dengan Toyota Camry milik Chevy.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di rumah Ria. Aku segera turun dan mengetuk pintu rumah Ria. Tak lama kemudian Ria sendiri yang membuka pintu.
“Kalian mau apa lagi?” tanyanya ketus begitu melihat kami bertiga.
“Mbak, kami tahu. Mbak pasti kenal sama Kak Sakura. Tolong, mbak. Kami butuh banget alamat Kak Sakura,” pintaku ke Ria.
“Maaf, saya nggak kenal sama yang namanya Sakura. Saya nggak bisa bantu kalian,” Ria kembali menolak memberitahu alamat Kak Sakura. Ria bahkan berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. Aku menarik tangannya dan terus membujuk Ria. Aku tahu kalau Ria pasti punya alamat Kak Sakura.
Aku terus membujuk Ria. Bahkan airmataku mulai menetes. Aku kangen sekali sama Kak Sakura. Aku tidak ingin semua usahaku sia-sia.
“Mbak, tolong kami. Teman saya, Hime, butuh banget untuk ketemu kakaknya. Apa mbak tega ngeliat dia nangis kayak gitu? Tolong, mbak,” kali ini Arion yang mencoba untuk membujuk Ria. Melihatku menangis, Ria tampaknya jadi iba. Ia mengangguk.
“Oke, saya kasih alamat Sakura,” akhirnya Ria mau memberi alamat Kak Sakura.
“Terima kasih, mbak. Terima kasih,” saking senangnya aku memeluk Ria. Ria tersenyum dan mengusap-usap punggungku.
Setelah mendapat alamat Kak Sakura, kami bertiga segera menuju alamat yang dimaksud. Dua puluh menit kemudian kami tiba di alamat itu.
Aku segera mengetuk pintu rumah yang bercat cokelat itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua keluar dari rumah itu.
“Maaf, apa benar ini rumah Kak Sakura?” tanyaku memastikan. Wanita itu tampak kebingungan.
“Iya,” jawabnya singkat. Ternyata beliau adalah omanya Kak Sakura. Atau dengan kata lain, mantan mertua ayah.
“Oma, saya anak Pak Ardeth,” ujarku lagi. Beliau langsung menepiskan tanganku begitu tahu siapa aku sebenarnya.
Pasti berat baginya untuk berhubungan lagi dengan anak mantan menantunya.
“Mau apa lagi kamu ke sini?! Disuruh ayah kamu?!” beliau bertanya dengan nada dingin.
“Hime datang sendiri karena keinginannya pribadi. Hime ingin ketemu Kak Sakura. Karena biar bagaimanapun juga, Kak Sakura dan Hime memiliki hubungan darah,” Arion yang menjawab pertanyaan oma.
“Enak saja! Ayah kamu itu sudah meninggalkan Sakura dan sekarang kamu datang! Hati saya sakit!” bentak oma.
“Oma, tolong. Saya ingin sekali ketemu Kak Sakura,” aku memeluk kaki oma. Oma mendorongku sampai terjatuh. Tak menyerah, aku kembali memeluk kaki oma.
Tak lama kemudian keluar seorang pria tua mendorong kursi rodanya sendiri.
“Ada apa, bu?” tanyanya ke oma. Beliau pasti opa.
“Opa, saya Hime. Anak Pak Ardeth. Saya ingin ketemu Kak Sakura. Tolong, opa,” kini aku memeluk kaki opa. Tampaknya opa bisa menerimaku. Beliau menepuk bahuku lembut.
“Baik. Opa akan cerita,” jawabnya. Aku bahagia sekali mendengarnya.
“Benar, opa? Terimakasih,” aku mencium tangan keriput opa.
Oma tampaknya tidak senang mendengar opa berbeda pendapat dengan beliau.
“Bapak ini apa-apaan, sih?” oma protes ke opa.
“Sudahlah, bu. Hime ini nggak ada hubungannya dengan masa lalu Ardeth. Kalau dia mau ketemu Sakura, itu wajar. Sakura tetap kakaknya,” terang opa.
“Opa akan cerita ke kamu, Hime. Tapi ini masalah pribadi. Jadi mohon maaf, yang bukan keluarga kami mohon tunggu di luar,” lanjut opa. Arion dan Chevy tampak maklum dengan permintaan opa. Aku segera mendorong kursi roda opa ke dalam rumah. Oma masih tampak keberatan dengan keputusan opa. Di dalam, opa menjelaskan semuanya. Beliau menceritakan masa lalu ayah. Bagaimana dulu pernikahan pertama ayah, mengapa ayah bercerai, dan tentu saja tentang Kak Sakura.
Ternyata sudah setengah jam aku di dalam. Begitu opa selesai bercerita, aku segera pamit ke opa dan oma. Tak lupa kucium tangan mereka berdua. Begitu aku keluar, Arion dan Chevy langsung bertanya apa saja yang terjadi di dalam.
“Kak Sakura masih kerja di kafe. Nanti malam kita ke sana,” jawabku. Mereka berdua menyetujui.
***
Malam ini aku merasa sangat deg-degan. Aku akan ketemu Kak Sakura lagi! Dalam benakku terus terbayang bagaimana kira-kira reaksi Kak Sakura nanti. Sementara aku mengendarai Lexus IS 300 milikku, pikiranku telah tiba lebih dulu di Pearl CafÉ. Untung saja aku masih bisa konsentrasi dan tidak terjadi kecelakaan.
Kulihat Kak Sakura sedang bernyanyi di panggung tempat bandnya biasa tampil. Selama berjalan menuju meja pesanan kami, mataku tak lepas dari sosok Kak Sakura yang malam itu tampak cantik sekali dengan gaun berwarna putih gading. Bahkan ketika sudah duduk di kursi pun aku masih terus memandang Kak Sakura. Sambil menggenggam liontin kembarku dan Kak Sakura, aku berbisik, “Kak, aku datang untuk menemui kakak. Aku kangen kakak.”.
Begitu Kak Sakura selesai menyanyikan lagunya, aku, Arion, serta Chevy langsung menuju panggung. Kak Sakura tampak terkejut melihatku. Aku langsung menggenggam tangannya.
“Kak, aku Hime. Adik Kak Sakura. Aku tahu kita beda ibu. Tapi dalam tubuh kakak mengalir darah yang sama denganku. Aku ini adikmu,” terus menangis aku menggenggam tangannya.
“Aku nggak yakin,” kata Kak Sakura sambil menggeleng.
“Aku tahu kakak nggak gampang untuk yakin. Tapi ini nggak bisa dibohongi, kak.” Aku menegluarkan liontin yang tersembunyi di balik blusku. Kak Sakura terdiam menatap liontin yang kukenakan. Kemudian tangannya juga mengeluarkan liontin di balik gaunnya.
Wajahnya tampak melembut.
“Tapi kakak harus percaya kalau aku sayang Kak Sakura. Kalau nggak, nggak mungkin aku ke sini untuk nemui kakak. Aku sayang kakak. Aku kangen kakak,” isakku. Aku tak sanggup berkata-kata lagi dan hanya mampu terdiam. Tiba-tiba Kak Sakura memelukku erat.
“Kakak tahu kalau kamu adikku. Dari pertama kamu nemui kakak, kakak udah curiga. Tapi kakak masih belum yakin. Sekarang kakak yakin kalau kamu memang benar adikku. Kakak senang banget karena kakak ternyata punya kamu. Dik,” bisiknya di tengah tangisnya. Ternyata Kak Sakura juga menangis.
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku juga senang akhirnya bisa memeluk kakakku. Aku berharap, keluargaku dan keluarga Kak Sakura bisa akur. Dan juga bisa menerima aku dan Kak Sakura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar