Januari 21, 2009



Deja Vu dan Clairvoyance

Sebenarnya apa sih difinisi sebenarnya dari Deja Vu yang belakang ini semakin marak diperbincangkan dilapisan masyarakat Indonesia maupun Internasional itu?
Dari beberapa sumber yang pernah aq baca,Deja Vu sendiri sebenarnya ngga' banyak beda jauh dari difinisi Clairvoyance.

Clairvoyance sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan supernormal yang dimiliki oleh suatu individu, dimana dengan kekuatan pikirannya tersebut dia seakan-akan dapat melihat kejadian masa depan yang akan terjadi/dialami pada dirinya maupun pada orang lain.
Bahkan kemampuan Clairvoyance dapat juga untuk melihat situasi-situasi pada kejadian dimasa silam.
Biasanya,orang-orang yang memiliki penguasaan clairvoyance dengan baik,akan mudah meramalkan beberapa kejadian-kejadian yang akan terjadi dimasa yang akan datang.Misalnya gambaran-gambaran mengenai kecelakaan-kecelakaan buruk yang akan menimpa dirinya dimasa depan.
Hebatnya dari orang-orang yang menguasai Clairvoyance dengan baik,misalnya kita menyodorkan dia dengan suatu benda,maka dengan konsentrasi sedikit,dalam waktu singkat diapun dapat menceritakan sejarah dari benda tersebut,baik siapa pemiliknya,kapan benda itu diciptakan,dst.

Nah,istilah Deja Vu sendiri juga merupakan suatu kekuatan supernormal yang dimiliki seseorang sehingga dia mampu untuk melihat gambaran-gambaran/menerawang peristiwa yang akan terjadi di masa depan maupun masa silam.mirip kan sama Clairvoyance..

Tapi istilah Deja Vu sendiri banyak digunakan pada seni pernapasan/meditasi Yoga.Jika seseorang sudah berada pada tahapan ini,dan telah mengalami suatu pengalaman,maka dalam pikirannya nampaknya pengalamannya tersebut serasa familiar bagi dirinya.Serasa pernah kejadian gitu.

Biasanya gambaran-gambaran akan kejadian-kejadian ini muncul apabila kita sedang bengong ataupun sedang tidur,mirip sebuah mimpi.
Anehnya,pada waktu kita benar-benar sedang mengalami kejadian tersebut di alam nyata,seakan-akan kita teringat kembali pada gambaran moment-moment yang kita impikan sebelumnya.
Dimana moment-moment tersebut serasa tergambar sangat kompleks,bentuk audio dan visualnya dapat kita rasakan dengan pasti.Sehingga pengalaman yang sedang kita alami di alam nyata , sudah bisa kita tebak endingnya,dan pasti dalam hati kita akan mengatakan "kayaknya pernah kejadian nih sebelumnya,tapi kapan ya?".

Biasanya setiap orang pasti telah mengalami hal-hal seperti itu,hanya saja kadar-nya berbeda-beda.
Misalnya teman-teman kan sedang jalan-jalan nih,trus dijalan ngeliat warung mie Jakarta misalnya,karena tergiur jadi pengen beli.Tapi,karena duitnya mungkin nggak cukup atau ada alasan lainnya,maka ngga jadi beli.Nah sesampainya dirumah,ternyata dimeja makan malah sudah ada semangkuk mie Jakarta telah tersaji khusus buat kita.ternyata tadi Nyak yang beliin waktu pulang dari kondangan misalnya.jadi perasaan keki akibat ngga' jadi beli mie dijalan sirna seketika itu juga.
Nah,itu juga termasuk Dja Vu loh,hanya saja kadarnya masih rendah.
Yang rada-rada gokil biasanya dialami para maniak-maniak togel,ketika didalam kelelapan tidurnya,tiba-tiba dia mimpiin sebuah nomor cantik,walhasil,ketika udah bangun dari tidurnya,tu nomor yang dia mimpiin dipasang buat masang nomor togel,dan uniknya dia benar-benar memenangkan nomor yang keluar pada keesokan harinya alias nomornya tembus.
Tapi ini juga kadarnya masih rendah.
Sebenarnya masih banyak contoh lainnya,seperti mimpiin seseorang,tiba2 keesokan harinya tu orang meninggal dunia,dll.Lalu yang tinggian kaya apa ?

Yang tinggian contohnya ya kemampuan Clirvoyance-nya si Nostradamus yang paling ngetop klo di Dunia,klo di Indo yang paling ngetop tuh Clairvoyance Jayabaya,Raja kerajaan Kediri.
Tapi,ahir-ahir ini,yang ngetop malah ramalan-ramalannya si Mama Louren yang sering nongol di tipi-tipi swasta,biasanya dia sering ngeramal artis yang suka kawin cerai gitu.Masih sempet ingat sama Ramalannya Mama Louren di ahir tahun 2006 lalu,ketika dia nongol disalah satu stasiun TV swasta,dia sempat meramalkan kejadian di tahun 2007 nanti, katanya pada thn 2007 ada salah satu penyanyi Indonesia yang meninggal dunia tapi dia nggak mau nyebutin namanya dengan alasan kasian.ternyata bener tuh,Om Crisye wafat di tahun 2007.
innalilahi wainnalillahi roji'un.
Waktu beberapa bulan yang lalu,dia juga sempat meramalkan bahwa setengah dari pulau Jawa nih akan tenggelam,pertama kali denger mungkin rada surprais juga,tapi ramalan ya tetap ramalan,kita ngga' boleh harus mempercayainya begitu saja.Bagaimanapun juga Allah SWT lah yang berkuasa sepenuhnya,apabila Allah sudah mengatakan terjadi maka terjadilah.

Biasanya orang-orang yang memiliki kekuatan Supernormal, sangat peka terhadap penerimaan energi-energi dari luar.
Jika seandainya dia mempunyai gambaran akan hal buruk yang akan menimpanya dimasa depan,maka dengan sesegera mungkin menghindarinya sebelum benar-benar kejadian,seperti misalnya kecelakaan kendaraan,dll,kecuali kematian.
Lalu bagaimana melatih kepekaan Clairvoyance atau De Javu yang terdapat pada diri kita?Sebenarnya,bagi yang sudah berbakat dan sudah ditakdirkan,tanpa belajarpun kepekaan Calirvoyance/De Javu sudah muncul dengan sendirinya.
Misalnya pada bocah-bocah Indigo seperti si Mama Louren.Sudah jadi bakat alam nampaknya.Tapi bagi manusia normal yang terlahir bukan sebagai Indigo juga bisa dilatih kok kepekaan Clairvoyancenya,misalnya dengan berlatih pernapasan dan konsentrasi (istilah umumnya meditasi).

Sewaktu mulai ikutan pelatihan Tenaga Dalam singkat di Bioenergi Center Jogja tahun 2006 kemarin Salah satu koordinatornya,yaitu DR.HM.Syaiful M Maghsri,Beliau sempat menuturkan,bahwa latihan meditasi yang baik adalah dengan melakukan pernapasan segitiga.Artinya kita menghirup udara dalam 10 hitungan,lalu menahannya 10 hitungan lagi,kemudian mengeluarkan dalam 10 hitungan,semanya dalam tempo hitungan yang seirama.Tentunya dengan konsentrasi dimata ketiga,yaitu sebuah titik diantara kedua mata kita.Klo yang mau tinggian dikit,belajar pernapasan Rajawali,dll.
Jika itu kita lakukan setiap hari sekitar 10 menit,maka kemampuan mata batin bisa terasah.Pada Seni Pernapasan Yoga,banyak wanita yang sedang hamil,para lansia,dan orang yang mengalami tekanan batin berlatih meditasi dengan cara ini.Selain baik untuk kesehatan,berlatih meditasi juga sebagai penghilang rasa was-was,ketakutan,trauma,dll.
tapi hati2 dengan metode pernapasan ini ... waspadalah2... kalo salah napas nya ga bisa balikgimana?.. atau ga bisa kentut gimana hayo?...
dan konon pada saat proses pernapas2an itu berlangsung banyak sekali kolaborasi jin2 yang ikutan nongkrong di situ.. jadi sangat2 tidak di sarankan...
dont try this at home..

Yuk,test kepekaan De Javu kalianMenurut seorang psikolog kondang Amerika, Dokter Alfred W Munzert,dengan menjawab serangkaian test berikut ini,Anda akan mengetahui seberapa besarnya potensi De Javu dan Clairvoyance (kekuatan supernormal) yang anda miliki.
Nilai : Semakin banyak anda menjawab "ya" maka kepekaan supernormal kalian semakin besar,ataupun sebaliknya.Selamat mencoba
(a) Suatu saat,anda merasa,bahwa apa yang telah terjadi telah anda alami sebelumnya! Sehingga anda bertanya dalam hati, rasanya peristiwa ini pernah saya alami,tapi kapan?".
(b) Anda pernah bermimpi,tenyata mimpi itu menjadi kenyataan?
(c) Pernahkah anda mengalami mimpi yang "benar-benar realistik?" Segala yang ada pada mimpi itu, orangnya,benda-bendanya,gerak-geriknya,seperti benar-benar hidup?
(d) Ketika mengunjungi suatu tempat,tiba-tiba anda merasa sudah melihat sebelumnya.Padahal anda baru tiba untuk pertama kalinya ketempat tersebut?
(e) Anda sering sudah tahu apa yang akan dikatakan seseorang sebelum dia berbicara?
(f) Seringkali anda merasakan kehadiran "sesuatu" yang tak terlihat namun terasa "ada"?
(g) Anda sering merasa tahu akan kedatangan seorang tamu,padahal si tamu belum tiba?
(h) Apakah anda sering mengambil tindakan berdasarkan intuisi?
(i) Ketika telpon berdering,dan ada orang lain yang telah mengangkat gagang telpon,anda tahu pasti bahwa telpon itu untuk anda?
(j) Pernahkah anda melihat cahaya-cahaya aneh sewaktu-waktu,misalnya cahaya seperti kilat yang putih cemerlang?
(k) Seringkah anda melihat ada kilasan gerak disekeliling anda,padahal setelah ditengok tak ada "apa-apa?"
(l) Ketika anda teringat seseorang,tak lama kemudian orang yang anda ingat tersebut benar-benar muncul?
(m) Apakah anda merasa dapat melihat cahaya-cahaya (aura) pada wajah seseorang?Misalnya cahaya cahaya cemerlang pada orang-orang tertentu?
(n) Anda masih ingat pada pengalaman ketika masih berusia 2-3 tahun?
(o) Suatu ketika anda bermimpi melihat seseorang.Keesokan harinya anda bertemu orang tersebut dalam mimpi?
(p) Anda sering menguasai pengetahuan/keterampilan padahal anda tidak pernah sama sekali mempelajarinya?
(q) Ada suatu pengalaman bahwa "perasaan anda tiba-tiba tidak enak ". Beberpa hari kemudian ternyata memang terjadi hal yang tidak menggembirakan?
(r) Anda pernah merasa "keluar" dari tubuh?
(s) Anda sering terbayang wajah seseorang,kemudian orang tsb muncul?

DiriQ Meggila

Sama sekali 'g ada hubungannya dgn band Bro yg px single DiriQ Menggila.
Tapi nie ttg aku. Yg jd gila gara" TO MTK tadi.
Selama ngerjain, aku B. L. A. N. K. alias DISCONNECT alias G' MUDENG... STRESS...
Mw 'g mw gawe lagi jd SNIPER. Tapi 'g tw y tembakanku tepat sasaran apa 'g...

Hmm...
Besok masih ada Fisika..
Trus Kimia...

Oh my goodness..!!
DiriQ benar" MENGGILA...

Januari 19, 2009

Try Out

Hari ini skulQ TO perdana dr yg rencanax 7 TO.
Jadwalx d'sesuaikan ama UN ntar.
Jadi td th pelajarannya Bahasa Indonesia ama Biologi.
Besok English, trus... apa ya... Lupa...
Yah, pokokx 5 hari, lah..

Tapi yg bkin 'g enak. Abis TO d'lnjt ama pelajaran.
So, pulangx tetep z kayak biasa pas 'g TO...

Huh... Kan pengen tidur...

Januari 09, 2009

Resolusi 2009

Tigabelas menit lagi menuju tahun 2009…

Aku mencoba realistis, tidak membuat target macam-macam…

Targetku:

1. Nilai-nilai ulangan harianku lulus semua;

2. Aku tabah menjalani tambahan pelajaran dan banyak Try Out;

3. Lulus UAS/UAN dengan nilai tinggi;

4. Diterima di Teknik Arsitektur, atau Desain Interior (atau juga Desain Periklanan atau Desain Komunikasi Visual), atau Keguruan Akuntansi dari jalur Ujian Tulis atau SNMPT-N;

5. Jadi mahasiswi semester 1 yang tabah menjalani siksaan dari senior dan gempuran tugas-tugas kuliah. Serta menghadapi transisi dari pelajar berseragam menjadi pelajar dengan pakaian bebas-sopan dengan baik;

6. Punya KTP Nasional (syukur kalau bisa sekalian dapat SIM A dan C);

7. Mencoba nggak egois, lebih sabar, lebih dewasa, lebih baik daripada kemarin.

Sepuluh menit lagi…

Ya Allah, aku ingin lebih dekat denganMu. Aku ingin sekali mencintaiMu seperti Engkau mencintaku. Aku ingin sekali merasakan rindu padaMu, rindu yang begitu dalam. Aku iri pada mereka yang bisa begitu dekat padaMu…

Ya Allah, doaku…

Sembuhkanlah Kochi. Yakinkanlah dia bahwa dia akan sembuh. Aku yakin, Engkau sangat mencintainya, makanya Engkau mengujinya. Dan aku juga yakin, bahwa Engkau percaya dia mampu melewatinya. Kalau tidak, Engkau tidak akan mungkin memberi ujian seberat ini. Tapi kini cukupkanlah ujian itu. Berilah kesembuhan baginya. Dia sudah cukup lemah. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Biarkanlah dia bahagia dan tertawa seperti dulu. Dia masih muda, jangan berikan beban terlalu berat. Jangan sampai keceriaan masa remajanya hilang…

Tiga menit lagi…

Kabulkanlah semuanya, Ya Allah… Kabulkanlah… Kabulkanlah… Bimbinglah hambaMu ini menghadapi hari-hari esok… Jangan pernah biarkan aku tersesat dalam kegelapan sendirian… Amin… Amin… Allahumma amin…

Ini saatnya…

Happy New Year… Tomorrow have to better than yesterday…

Ya Allah, aku hampir lupa…

Kuatkanlah hamba-hambaMu di Palestina sana. Bukakanlah pintu hati mereka yang di Israel. Berikanlah hamba rezeki yang mulia, agar hamba bisa memberikannya pada saudara-saudara hamba di sana yang lebih membutuhkan…

Sampaikanlah salam hamba kepada para syuhada di surga… Bilang ke mereka, hamba bangga punya saudara seperti mereka… Bilang juga, hamba ingin ketemu mereka suatu hari nanti…

Tabahkanlah dan kuatkanlah hati ibu para syuhada. Hamba ingin seperti mereka yang begitu tegar. Mereka hebat banget…Hamba iri dan kagum…

Dan juga, kuatkanlah hamba-hambaMu yang dizalimi. Hamba yakin bahwa mereka pasti kuat menjalani ujian ini. Dan juga buat para mujahidin-mujahidah… SEMANGAT…!!! ALLAHU AKBAR…!!!

Kutatap lagi tulisan yang telah tertempel di dinding kamar tidurku dengan perasaan puas. Semoga saja target-targetku bisa terpenuhi. Tahun depan, tepatnya 364 hari lagi, aku akan mengecek lagi target-targetku. Tapi target utamaku adalah memenuhi semua target yang telah kutulis.


Januari 03, 2009

Sangata, 2 Januari 2009

Tadi pagi, dari jam 8an sampai jam 11an, aku & keluarga ke Teluk Lombok. Tuh nama pantai di daerah Kutai Timur. Pantainya, tuh, luas banget, pasirnya juga bagus banget. Tapi sayang, sekarang di pinggirnya udah banyak warung. Udah gitu, banyak sapi! Ugh, bau banget kotorannya! Nggak asri kayak dulu…
Anyway, ini pertama kalinya sejak 3 tahun terakhir aku ke sana. Yup, 3 tahun lalu aku memang pernah ke sana. Sama sohibku, cowoknya sohibku, dan … cowok yang sekarang jadi mantanku. Indah banget kenangan di sana. Kalau ngebayangin lagi, lucu juga. Tapi sekaligus tragis…
Pas aku balik ke sana lagi tadi, semua kenangan itu seolah hilang. Entah terbawa angin, dihanyutkan ombak, atau apalah… Aku coba untuk mengingat semua. Terutama, about him… Tapi semua samar... Aku coba untuk jalan sendiri—menjauh dari keluargaku yang pada sibuk cari kelomang—mencari makna. Sambil jalan, sesekali aku menatap tempat dulu kami berempat main. Sesekali menatap air laut yang menghapus jejak kakiku. Aku juga lagi dengerin MP3—yang kebetulan lagunya D’Masiv, “Merindukanmu” dan “Tak Bisa Hidup Tanpamu” —dan lagu-lagu itu punya makna sendiri di hatiku. Aku ngebayangin dia…
Aku tulis namanya di pasir. Aku coba menatap tulisanku. Mencoba memahami apa yang kurasakan. Hampa… Itu yang kurasakan… Trus, kuhapus tulisan itu… Aku juga memandang langit dan berbisik dalam hati. Aku bilang ke dia, aku kembali. Tapi aku terlambat 3 tahun. Karena aku ke tempat itu sendiri. Bukan hanya tanpa dia, tapi benar-benar tanpa dia… Seandainya dulu aku sempat ke tempat itu pas dia masih jadi milikku…
Padahal, dulu aku udah punya rencana. Di hari jadi kami yang ke-2 tahun, aku mau ajak dia ke sana. Tapi 2 minggu sebelum hari jadi, semua cerita antara kami harus selesai… Aku iri karena dia sempat ke sana lagi saat kami masih pacaran, walau nggak sama aku…
Sebenarnya, aku pengen banget ke semua tempat yang pernah aku lewati bareng dia selama di tempat itu. Tapi itu nggak mungkin untuk saat ini. Tapi aku berharap, suatu hari nanti aku bisa ke sana lagi. Mungkin sama dia… Sebenarnya aku juga pengen banget teriakin nama dia sekeras mungkin. Tapi itu kan ‘g mungkin banget. Ada ortuku, bisa dicincang abis…
Betewe, tentang perasaan hampa yang aku rasakan… apa itu berarti aku udah bisa mulai melupakan dia? Tapi kenapa kadang aku masih mikirin dia? Aku setuju kalau ada yang bilang, “bukan waktu yang bisa menyembuhkan luka, tapi diri kita sendiri.”

Teman Makan Teman

Inilah saat terakhirku melihat kamu...
Jatuh air mataku, menangis pilu…
(Saat Terakhir-ST 12)

Ketenangan di Senin pagi terusik oleh dering telepon yang masuk. Keasyikanku membaca novel Maryamah Karpov harus ditahan dulu.
“Halo, ada apa, Kak?” Sebenarnya yang menelepon adalah Yusuf—sohibku—tapi aku biasa memanggil dia ‘Kakak’ karena dia sudah kuanggap kakak.
“Li, kamu lagi di kampus?” tanya Yusuf.
“Nggak. Kenapa?” aku balik bertanya. Yusuf di seberang sana tidak langsung menjawab, tapi sempat terdiam sejenak.
“Sudah dua kali aku lihat cowokmu ke kampus di hari Senin. Padahal Senin kamu nggak ada kuliah, kan?” Yusuf akhirnya menjawab pertanyaanku diakhiri dengan pertanyaan juga.
Kali ini aku yang terdiam. Ada urusan apa Ikhsan—cowokku—ke kampusku saat aku sedang tidak kuliah? Ikhsan juga tidak pernah cerita kalau dia ke kampusku.
“Lilac!” Ih, Yusuf bikin kaget!
“Rese’ loe! Lagi ngelamun, nih,” protesku.
“Pulsaku jalan terus, nyonya. Eh, ngapain, tuh, cowokmu? Sekarang dia malah lagi di taman kampus,” kata Yusuf.
“Kakak yakin? Kakak sekarang lagi di mana? Bisa ke tempat kostku, nggak? Ceritain semuanya,” pintaku.
“Aku yakin banget. Sekarang masih di kampus, bentar lagi aku masuk ‘coz ada kelas. Ntar pulang kuliah aku ke tempat kostmu. Oke?”
“Oke, deh. Kutunggu. Makasih banget, Kak,” kataku mengakhiri perbincangan.
Selesai menutup telepon dari Yusuf, aku terdiam dan berpikir. Apa benar Ikhsan di kampusku? Untuk apa? Kenapa aku tidak pernah tahu? Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalaku. Apapun itu, aku tidak mau berpikir negatif tentang dia.

Tiga jam kemudian Yusuf tiba di tempat kostku. Kami mengobrol di teras. Yusuf dan aku sudah bersahabat selama 2 tahunan sejak kami kelas 2 SMA. Selama itu kami kebetulan selalu sekelas. Tapi sekarang kami berbeda fakultas walau di universitas yang sama. Jadi aku tahu, Yusuf tidak mungkin bohong ke aku. Apalagi dia juga kenal dengan Ikhsan.
Saat itu juga, Yusuf menceritakan semua yang dia lihat. Sudah dua minggu ini—setiap Senin—Yusuf melihat Ikhsan di kampusku. Padahal Ikhsan dan Yusuf sama-sama tahu kalau aku tidak ada kuliah di hari Senin. Biasanya Ikhsan terlihat sedang menunggu seseorang di taman.
“Pernah satu kali aku nanya ke Ikhsan, ‘San, kamu ngapain di sini? Lilac, kan, nggak ada kuliah hari ini.’ Tapi dia jawab, “Nggak, kok. Lilac tadi ada urusan sama dosen, jadi aku antarin dia.’ Gitu jawabnya. Padahal seharian aku nggak ngeliat kamu di kampus,” cerita Yusuf.
“Kamu Senin minggu lalu ke kampus? Atau kamu pernah pas Senin ketemu dosen dan diantar Ikhsan?” tanya Yusuf.
Ya Tuhan, apa Ikhsan bohong ke Yusuf? Bawa namaku? Kenapa? Ya, Tuhan…
“Nggak. Aku paling malas ke kampus pas Senin. Ya Tuhan, ada apa ini?” Erangku sambil memegang kepala yang terasa berat.
“Gimana kalau Senin depan kamu ke kampus aja? Sekalian kamu cari tahu sendiri. Ini urusan kamu sama Ikhsan. Aku cuma bisa kasih tahu hal ini. Selanjutnya terserah kamu,” hiburnya sambil mengusap kepalaku seperti biasa.
Yusuf benar. Aku harus cari tahu sendiri.
“Senin depan temani aku nyelidiki Ikhsan, ya,” pintaku sambil tiba-tiba menoleh ke Yusuf—yang langsung membuatnya kaget.
“Dasar bocah edan! Kaget, nih! Nggak usah kamu minta, aku juga pasti ke kampus. Yah, kutemaninya pas aku lagi jam kosong, ya.” Walaupun awalnya dia bentak aku, dia tetap baik mau menemani aku.

Senin satu minggu kemudian…
Sekarang aku sedang di tempat parkir. Sengaja aku tidak bawa mobilku, tapi pinjam mobil Sasha—teman satu kostku—supaya tidak ketahuan. Di mobil sendirian, aku sangat gugup. Kegugupanku tidak bertahan lama karena dari sebelah kiri kulihat mobil yang kukenal tampak mendekat. Itu mobilnya Ikhsan. Hanya dia yang mobilnya dicat dengan motif langit dan awan-awan kelabu.
Untungnya, dia parkir mobilnya di seberang mobil Sasha yang kubawa. Dia tidak tahu mobil Sasha karena Sasha selalu pas lagi bawa mobilnya saat Ikhsan ke tempat kostku. Begitu turun dari mobil, Ikhsan langsung duduk di bangku tidak jauh dari tempat parkir. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Tapi siapa? Tidak lama kemudian dia tampak menelepon seseorang. Dan kemudian aku melihat Yusuf sedang jalan ke tempat parkir dan menuju mobil Sasha. Sebelumnya aku sudah memberi tahu Yusuf posisi parkirku dan mobil apa yang aku pakai.
Begitu Yusuf masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang, aku langsung menanyainya tentang Ikhsan.
“Kak, pernah lihat Ikhsan ketemu seseorang di sini?” tanyaku
“Nggak, tuh. Pas sekali aja aku nanya ke dia, pas aku balik lagi dia udah nggak ada,” jawab Yusuf.
“Kakak ada kelas nggak abis ini?” tanyaku.
“Sebenarnya ada. Tapi dosennya lagi nggak masuk, jadi aku cabut aja. Gimana kalau aku temani kamu aja?” tawarnya. Dasar, menghapus perbuatan jelek! Aku hanya mengangguk. Paling tidak, aku tidak menunggu sendirian.
Dari mobil aku melihat Rina—teman satu fakultas sekaligus teman nongkrongku—mengampiri Ikhsan. Awalnya kupikir itu bukan hal yang aneh. Tapi yang membuat aku kaget, mereka cipika-cipiki! Biasanya kalau aku sedang mengobrol dengan Rina dan Ikhsan jemput aku, mereka tidak pernah cipika-cipiki. Mereka ngobrol sebentar setelah itu Rina masuk ke kampus lagi. Oh, mungkin Ikhsan bukan mau ketemu Rina. Sekarang Ikhsan duduk sendiri.
Lagi-lagi aku berpikir, siapa yang ditunggu Ikhsan?
“Li, mending kamu coba telepon Ikhsan,” usul Yusuf akhirnya. Aku segera melaksanakan usul Yusuf. Langsung kutekan angka 2 sebagai speed dials nomornya Ikhsan di ponselku. Tak lama setelah tersambung, Ikhsan segera menjawab. Kutekan option loudspeaker agar Yusuf juga bisa dengar.
“Lagi di mana?” tanyaku langsung sambil mengawasi Ikhsan yang sedang duduk sendiri.
“Lagi di kampus,” lama Ikhsan baru menjawab.
“Kampus kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, lah, kampusku. Ada apa?” elaknya. Sudah jelas bohong, masih mengelak.
Aku memandang bingung ke Yusuf.
“Coba kamu ajak dia jalan,” bisik Yusuf. Aku menuruti saran Yusuf.
“Aduh, sori. Ntar aku ada acara sama anak-anak basket. Udah janjian dari kemarin” tolaknya. Aku terus berusaha membujuk tapi Ikhsan terus menolak. Akhirnya aku menyudahi perbincangan karena bosan mendengar kebohongan Ikhsan.
Setelah itu aku melihat Rina keluar lagi dan duduk di sebelah Ikhsan. Mereka ngobrol-ngobrol dan sesekali Ikhsan mengelus rambut Rina. Apa maksudnya, coba?!
“Li, kok mereka gitu? Kamu nggak curiga?” tanya Yusuf
“Mereka nggak mungkin ada hubungan apa-apa,” jawabku pasti.
Aku sangat menyayangi Ikhsan, dan Ikhsan pasti juga sangat menyayangiku. Apalagi Rina temanku. Kami sering nongkrong bareng. Tidak mungkin Ikhsan dan Rina ada hubungan apa-apa.
“Ya ampun, Li! Kamu lihat sendiri mereka tadi cipika-cipiki. Ikhsan juga bohong ke kamu pas kamu telepon dia. Dia juga ngelus rambut Rina. Apa kamu nggak curiga?” tanya Yusuf lagi.
Yusuf hanya menghela nafas sambil membuang pandang ke arah kirinya.
“Kamu tahu nggak teman-temannya Rina yang nggak kenal aku?” tanya Yusuf tiba-tiba. Kenapa Yusuf tanya seperti itu?
“Aku mau nanya ke teman-temannya tentang hubungan dia ama Ikhsan. Kalau mereka tahu aku temanmu, mereka pasti nggak mau jawab. Kalau mereka nggak kenal aku, paling nggak aku bisa bujuk-bujuk mereka. Gimana?” Usul Yusuf. Yah, boleh juga idenya. Aku setuju.
Kucari-cari teman Rina yang biasa nongkrong dengannya. Kutoleh-toleh kepalaku ke segala arah. Dari jauh, aku melihat 3 cewek dan 1 cowok yang biasa kulihat selalu bersama Rina. Mereka pasti tahu hubungan Ikhsan dan Rina
“Kak, lihat nggak tiga cewek dan satu cowok itu? Aku sering ngeliat mereka nongkrong bareng Rina. Pasti mereka tahu banget tentang Rina,” tunjukku ke arah segerombolan mahasiswa di belakang satu unit mobil berwarna silver.
“Oh, yang itu. Aku tanya ke sana dulu, ya.” Yusuf segera turun dari mobil dan menuju segerombolan mahasiswa yang kumaksud.
Dari jauh kuperhatikan Yusuf berlari kecil mendekati gerombolan temannya Rina. Untung saja di pinggir tempat parkiran terdapat gerombolan pohon yang cukup rapat, jadinya Yusuf bisa terlindung dari pandangan Ikhsan dan Rina. Lama setelah bertanya-bertanya ke gerombolan itu, Yusuf kembali ke mobil.
Begitu berhasil masuk ke mobil tanpa ketahuan Ikhsan atau pun Rina, Yusuf langsung menghembuskan nafas lega.
“Gimana, Kak?” tanyaku langsung.
“Bentar, sayang. Ada minum nggak?” pintanya. Dasar! Kuangsurkan sebotol air mineral yang kebetulan tadi kubeli di kantin. Oh ya, kadang Yusuf memanggilku ‘Sayang’. Tapi itu sama seperti panggilan ‘Kakak’ dari aku buat dia.
Selesai menghabiskan setengah botol air mineral—yang segelnya bahkan belum kubuka,Yusuf memaparkan hasil penyelidikannya.
“Tadi awalnya aku tanya ke mereka, apa kenal Rina dan Lilac? Mereka bilang kenal dan nggak curiga sama sekali. Pas aku nanya apa mereka tahu tentang hubungan Ikhsan—yang jelas-jelas adalah cowok kamu—dan Rina, mereka langsung kayak ngehindar. Pas aku desak, mereka bilang nggak tahu. Tapi dari bahasa tubuh mereka, aku curiga mereka tahu sesuatu. Pas aku tanya lagi apakah Ikhsan dan Rina pacaran, mereka tetap ngelak. Dan dari situ aku tahu banget bahasa tubuh mereka menjawab ‘iya’. Trus tiga cewek itu langsung cabut, ninggalin satu cowok yang langsung kutahan. Pas aku tanya dengan bahasa cowok, dia dengan gamblangnya bilang, iya Ikhsan dan Rina pacaran.
Jujur, Li. Aku kaget banget dengar cowok itu jawab begitu. Aku berharap mereka dengan tegasnya bilang, kalau Ikhsan dan Rina cuma teman biasa. Maaf karena ternyata hal ini yang aku kasih tahu ke kamu.”
Ikhsan dan Rina pacaran? Tanpa berkata apa pun, Yusuf menarikku ke dalam pelukannya. Dibiarkannya aku menumpahkan segala sakit hatiku atas pengkhianatan pacar dan temanku sendiri.
“Sayang, jangan kamu tahan luka kamu. Kamu keluarin aja biar lega,” sambil berkata seperti itu, Yusuf mengusap kepalaku dengan lembut dan membiarkan bajunya basah oleh air mataku.
Setelah mulai tenang, baru aku menguatkan diri untuk melihat ke arah Ikhsan dan Rina. Astaga, mereka ke arah lapangan parkir! Secepat kilat Yusuf keluar mobil dan masuk lagi dari pintu tengah. Sementara aku langsung bergeser ke kursi penumpang dan segera menunduk. Rencananya, Yusuf akan langsung pindah ke kursi sopir setelah Ikhsan menjalankan mobil dan agak jauh dari posisi kami. Karena Yusuf yang akan bawa mobil untuk membuntuti Ikhsan dan Rina. Untung saja Ikhsan dan Rina tidak menyadari kalau kami memata-matai mereka.
Setelah mereka masuk mobil, Ikhsan langsung menjalankan mobilnya. Dan setelah agak jauh tapi masih cukup dekat untuk kami pantau, kami langsung menjalankan rencana kami. Sepanjang jalan ketika kami membuntuti mereka, perasaanku gelisah dan tidak tenang.
“Yang, kamu ngeliat nggak bayangan dari mobilnya Ikhsan?” tunjuk Yusuf ke arah mobil Ikhsan yang berada tepat di depan kami.
Astaga! Apa itu bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan?
“Kok kayak bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan, ya?” Pertanyaan Yusuf sama seperti pertanyaan dalam kepalaku.
“Eh, kayaknya Ikhsan juga nyandarin kepalanya di atas kepalanya Rina!” Ugh, Yusuf malah membuat aku jadi panas!
“Aku nggak buta! Kamu nggak usah bikin aku jadi tambah panas, deh!” Entah kenapa, aku jadi emosi ke Yusuf.
Yusuf langsung terdiam dan tampak bersalah.
“Maaf, kak. Aku marah ke mereka,” ujarku.
“Yang, coba kamu telpon Rina. Ajakin dia ketemu atau apa gitu,” usul Yusuf seolah tidak ada kejadian buruk tadi. Aku segera menelepon Rina yang agak lama diangkatnya.
“Halo?” sapa suara Rina di ujung sana.
“Rin, lagi di kampus ya?” tanyaku mengetes.
“Iya, aku lagi di kampus. Ada apa, Li?” tanya Rina.
Kali ini aku baru benar-benar yakin kalau Ikhsan dan Rina ada apa-apa. Kalau tidak, kenapa mereka berdua bohong?
“Rin, aku ke sana, ya? Aku pengen ngobrol-ngobrol sama kamu. Kita, kan, udah lama nggak ngobrol,” pintaku.
“Aduh, sori. Aku habis ini masih ada kelas. Sekarang aja lagi nunggu dosen. Eh, dosenku masuk! Udah dulu, ya. Bye!” Tiba-tiba saja Rina menutup telpon dari aku. Yusuf yang juga mendengar perbincangan aku dan Rina—karena telepon dalam mode loudspeaker—menepuk bahuku perlahan tanda simpati.
Aku terlalu lelah untuk berkomentar apapun. Sekarang aku dan Yusuf terus mengikuti Ikhsan dan Rina dari jarak aman. Tetap terlihat tapi tidak mencurigakan. Dan setelah setengah jam berjalan, Ikhsan membelokkan mobilnya ke arah rumah makan tempat aku dan Ikhsan biasa makan. Begitu turun dari mobil, Ikhsan dan Rina langsung masuk ke rumah makan dan duduk di meja dekat pintu masuk. Yusuf segera memarkir mobil di dekat pintu masuk. Jadi aku dan Yusuf bisa mengawasi Ikhsan dan Rina dari kejauhan. Tapi namanya mengawasi dari jauh, aku tetap tidak bisa bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat mereka saling berpegangan tangan.
Yusuf mengusulkan agar aku menelepon Rina lagi. Aku segera melaksanakan usul itu.
“Halo?” Nada suara Rina ketika menjawab telepon dariku terdengar malas.
“Rin, lagi di mana?”
“Lagi di kantin. Tapi kayaknya bentar lagi mau jalan ama anak-anak,” dustanya.
“Eh, aku sekarang udah mandi dan siap-siap mau ke sana. Kamu tunggu bentar, ya. Aku ikut jalan, dong,” pintaku sambil menunggu reaksi Rina. Rina lagi-lagi menolak permintaanku.
“Aku tadi ditelepon Tiani, katanya di kampus ada cowokku,” ujarku lagi.
“Hah, cowok kamu?! Mau apa dia ke kampus? Nggak mungkin,” elak Rina. Karena Rina terus menolak ‘permintaan jalan’ dari aku, aku menyudahi pembicaraan.
Cukup sudah yang kulihat dan kudengar hari ini. Saatnya decision making. Aku turun dari mobil dan menghampiri meja Ikhsan dan Rina diikuti Yusuf.
“Ini yang kalian bilang di kampus?” tanyaku sesinis mungkin. Ikhsan dan Rina yang tak menduga kedatanganku tampak terkejut. Mereka langsung berdiri dan berlomba menjelaskan padaku.
“Yang, aku bisa jelaskan.” Orang bodoh manapun bisa langsung menebak dari kata-kata yang diucapkan Ikhsan bahwa ada sesuatu yang ingin dia tutupi.
“Li, aku dan Ikhsan cuma makan bareng aja. Nggak lebih,” kali ini Rina yang mengelak.
“Kalian berdua pengkhianat! Damn you!” bentakku sambil menampar mereka berdua. Untuk Ikhsan, dua kali tamparan dengan punggung tanganku plus siraman jus mangga yang baru dia minum seperempat gelas. Dan Rina, tamparan plus dorongan di bahu yang membuatnya jatuh tersungkur.
Ikhsan tampak marah, tapi itu sebenarnya masih kurang dari pengkhianatan mereka.
“Aku tahu kamu adalah seorang pengecut. Kamu nggak berani, kan, untuk mutusin aku? Karena itu, sekarang kita putus!” ujarku ke Ikhsan.
“Dan kamu, Rin! Tunggu aja episode baru dalam hidupmu!” Aku bukan sekedar membentak. Tapi aku tahu bahwa karma selalu berlaku. Aku menarik tangan Yusuf dan meninggalkan tempat itu. Cukup sudah untuk hari ini.

Teman Makan Teman

Inilah saat terakhirku melihat kamu...
Jatuh air mataku, menangis pilu…
(Saat Terakhir-ST 12)

Ketenangan di Senin pagi terusik oleh dering telepon yang masuk. Keasyikanku membaca novel Maryamah Karpov harus ditahan dulu.
“Halo, ada apa, Kak?” Sebenarnya yang menelepon adalah Yusuf—sohibku—tapi aku biasa memanggil dia ‘Kakak’ karena dia sudah kuanggap kakak.
“Li, kamu lagi di kampus?” tanya Yusuf.
“Nggak. Kenapa?” aku balik bertanya. Yusuf di seberang sana tidak langsung menjawab, tapi sempat terdiam sejenak.
“Sudah dua kali aku lihat cowokmu ke kampus di hari Senin. Padahal Senin kamu nggak ada kuliah, kan?” Yusuf akhirnya menjawab pertanyaanku diakhiri dengan pertanyaan juga.
Kali ini aku yang terdiam. Ada urusan apa Ikhsan—cowokku—ke kampusku saat aku sedang tidak kuliah? Ikhsan juga tidak pernah cerita kalau dia ke kampusku.
“Lilac!” Ih, Yusuf bikin kaget!
“Rese’ loe! Lagi ngelamun, nih,” protesku.
“Pulsaku jalan terus, nyonya. Eh, ngapain, tuh, cowokmu? Sekarang dia malah lagi di taman kampus,” kata Yusuf.
“Kakak yakin? Kakak sekarang lagi di mana? Bisa ke tempat kostku, nggak? Ceritain semuanya,” pintaku.
“Aku yakin banget. Sekarang masih di kampus, bentar lagi aku masuk ‘coz ada kelas. Ntar pulang kuliah aku ke tempat kostmu. Oke?”
“Oke, deh. Kutunggu. Makasih banget, Kak,” kataku mengakhiri perbincangan.
Selesai menutup telepon dari Yusuf, aku terdiam dan berpikir. Apa benar Ikhsan di kampusku? Untuk apa? Kenapa aku tidak pernah tahu? Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalaku. Apapun itu, aku tidak mau berpikir negatif tentang dia.

Tiga jam kemudian Yusuf tiba di tempat kostku. Kami mengobrol di teras. Yusuf dan aku sudah bersahabat selama 2 tahunan sejak kami kelas 2 SMA. Selama itu kami kebetulan selalu sekelas. Tapi sekarang kami berbeda fakultas walau di universitas yang sama. Jadi aku tahu, Yusuf tidak mungkin bohong ke aku. Apalagi dia juga kenal dengan Ikhsan.
Saat itu juga, Yusuf menceritakan semua yang dia lihat. Sudah dua minggu ini—setiap Senin—Yusuf melihat Ikhsan di kampusku. Padahal Ikhsan dan Yusuf sama-sama tahu kalau aku tidak ada kuliah di hari Senin. Biasanya Ikhsan terlihat sedang menunggu seseorang di taman.
“Pernah satu kali aku nanya ke Ikhsan, ‘San, kamu ngapain di sini? Lilac, kan, nggak ada kuliah hari ini.’ Tapi dia jawab, “Nggak, kok. Lilac tadi ada urusan sama dosen, jadi aku antarin dia.’ Gitu jawabnya. Padahal seharian aku nggak ngeliat kamu di kampus,” cerita Yusuf.
“Kamu Senin minggu lalu ke kampus? Atau kamu pernah pas Senin ketemu dosen dan diantar Ikhsan?” tanya Yusuf.
Ya Tuhan, apa Ikhsan bohong ke Yusuf? Bawa namaku? Kenapa? Ya, Tuhan…
“Nggak. Aku paling malas ke kampus pas Senin. Ya Tuhan, ada apa ini?” Erangku sambil memegang kepala yang terasa berat.
“Gimana kalau Senin depan kamu ke kampus aja? Sekalian kamu cari tahu sendiri. Ini urusan kamu sama Ikhsan. Aku cuma bisa kasih tahu hal ini. Selanjutnya terserah kamu,” hiburnya sambil mengusap kepalaku seperti biasa.
Yusuf benar. Aku harus cari tahu sendiri.
“Senin depan temani aku nyelidiki Ikhsan, ya,” pintaku sambil tiba-tiba menoleh ke Yusuf—yang langsung membuatnya kaget.
“Dasar bocah edan! Kaget, nih! Nggak usah kamu minta, aku juga pasti ke kampus. Yah, kutemaninya pas aku lagi jam kosong, ya.” Walaupun awalnya dia bentak aku, dia tetap baik mau menemani aku.

Senin satu minggu kemudian…
Sekarang aku sedang di tempat parkir. Sengaja aku tidak bawa mobilku, tapi pinjam mobil Sasha—teman satu kostku—supaya tidak ketahuan. Di mobil sendirian, aku sangat gugup. Kegugupanku tidak bertahan lama karena dari sebelah kiri kulihat mobil yang kukenal tampak mendekat. Itu mobilnya Ikhsan. Hanya dia yang mobilnya dicat dengan motif langit dan awan-awan kelabu.
Untungnya, dia parkir mobilnya di seberang mobil Sasha yang kubawa. Dia tidak tahu mobil Sasha karena Sasha selalu pas lagi bawa mobilnya saat Ikhsan ke tempat kostku. Begitu turun dari mobil, Ikhsan langsung duduk di bangku tidak jauh dari tempat parkir. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Tapi siapa? Tidak lama kemudian dia tampak menelepon seseorang. Dan kemudian aku melihat Yusuf sedang jalan ke tempat parkir dan menuju mobil Sasha. Sebelumnya aku sudah memberi tahu Yusuf posisi parkirku dan mobil apa yang aku pakai.
Begitu Yusuf masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang, aku langsung menanyainya tentang Ikhsan.
“Kak, pernah lihat Ikhsan ketemu seseorang di sini?” tanyaku
“Nggak, tuh. Pas sekali aja aku nanya ke dia, pas aku balik lagi dia udah nggak ada,” jawab Yusuf.
“Kakak ada kelas nggak abis ini?” tanyaku.
“Sebenarnya ada. Tapi dosennya lagi nggak masuk, jadi aku cabut aja. Gimana kalau aku temani kamu aja?” tawarnya. Dasar, menghapus perbuatan jelek! Aku hanya mengangguk. Paling tidak, aku tidak menunggu sendirian.
Dari mobil aku melihat Rina—teman satu fakultas sekaligus teman nongkrongku—mengampiri Ikhsan. Awalnya kupikir itu bukan hal yang aneh. Tapi yang membuat aku kaget, mereka cipika-cipiki! Biasanya kalau aku sedang mengobrol dengan Rina dan Ikhsan jemput aku, mereka tidak pernah cipika-cipiki. Mereka ngobrol sebentar setelah itu Rina masuk ke kampus lagi. Oh, mungkin Ikhsan bukan mau ketemu Rina. Sekarang Ikhsan duduk sendiri.
Lagi-lagi aku berpikir, siapa yang ditunggu Ikhsan?
“Li, mending kamu coba telepon Ikhsan,” usul Yusuf akhirnya. Aku segera melaksanakan usul Yusuf. Langsung kutekan angka 2 sebagai speed dials nomornya Ikhsan di ponselku. Tak lama setelah tersambung, Ikhsan segera menjawab. Kutekan option loudspeaker agar Yusuf juga bisa dengar.
“Lagi di mana?” tanyaku langsung sambil mengawasi Ikhsan yang sedang duduk sendiri.
“Lagi di kampus,” lama Ikhsan baru menjawab.
“Kampus kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, lah, kampusku. Ada apa?” elaknya. Sudah jelas bohong, masih mengelak.
Aku memandang bingung ke Yusuf.
“Coba kamu ajak dia jalan,” bisik Yusuf. Aku menuruti saran Yusuf.
“Aduh, sori. Ntar aku ada acara sama anak-anak basket. Udah janjian dari kemarin” tolaknya. Aku terus berusaha membujuk tapi Ikhsan terus menolak. Akhirnya aku menyudahi perbincangan karena bosan mendengar kebohongan Ikhsan.
Setelah itu aku melihat Rina keluar lagi dan duduk di sebelah Ikhsan. Mereka ngobrol-ngobrol dan sesekali Ikhsan mengelus rambut Rina. Apa maksudnya, coba?!
“Li, kok mereka gitu? Kamu nggak curiga?” tanya Yusuf
“Mereka nggak mungkin ada hubungan apa-apa,” jawabku pasti.
Aku sangat menyayangi Ikhsan, dan Ikhsan pasti juga sangat menyayangiku. Apalagi Rina temanku. Kami sering nongkrong bareng. Tidak mungkin Ikhsan dan Rina ada hubungan apa-apa.
“Ya ampun, Li! Kamu lihat sendiri mereka tadi cipika-cipiki. Ikhsan juga bohong ke kamu pas kamu telepon dia. Dia juga ngelus rambut Rina. Apa kamu nggak curiga?” tanya Yusuf lagi.
Yusuf hanya menghela nafas sambil membuang pandang ke arah kirinya.
“Kamu tahu nggak teman-temannya Rina yang nggak kenal aku?” tanya Yusuf tiba-tiba. Kenapa Yusuf tanya seperti itu?
“Aku mau nanya ke teman-temannya tentang hubungan dia ama Ikhsan. Kalau mereka tahu aku temanmu, mereka pasti nggak mau jawab. Kalau mereka nggak kenal aku, paling nggak aku bisa bujuk-bujuk mereka. Gimana?” Usul Yusuf. Yah, boleh juga idenya. Aku setuju.
Kucari-cari teman Rina yang biasa nongkrong dengannya. Kutoleh-toleh kepalaku ke segala arah. Dari jauh, aku melihat 3 cewek dan 1 cowok yang biasa kulihat selalu bersama Rina. Mereka pasti tahu hubungan Ikhsan dan Rina
“Kak, lihat nggak tiga cewek dan satu cowok itu? Aku sering ngeliat mereka nongkrong bareng Rina. Pasti mereka tahu banget tentang Rina,” tunjukku ke arah segerombolan mahasiswa di belakang satu unit mobil berwarna silver.
“Oh, yang itu. Aku tanya ke sana dulu, ya.” Yusuf segera turun dari mobil dan menuju segerombolan mahasiswa yang kumaksud.
Dari jauh kuperhatikan Yusuf berlari kecil mendekati gerombolan temannya Rina. Untung saja di pinggir tempat parkiran terdapat gerombolan pohon yang cukup rapat, jadinya Yusuf bisa terlindung dari pandangan Ikhsan dan Rina. Lama setelah bertanya-bertanya ke gerombolan itu, Yusuf kembali ke mobil.
Begitu berhasil masuk ke mobil tanpa ketahuan Ikhsan atau pun Rina, Yusuf langsung menghembuskan nafas lega.
“Gimana, Kak?” tanyaku langsung.
“Bentar, sayang. Ada minum nggak?” pintanya. Dasar! Kuangsurkan sebotol air mineral yang kebetulan tadi kubeli di kantin. Oh ya, kadang Yusuf memanggilku ‘Sayang’. Tapi itu sama seperti panggilan ‘Kakak’ dari aku buat dia.
Selesai menghabiskan setengah botol air mineral—yang segelnya bahkan belum kubuka,Yusuf memaparkan hasil penyelidikannya.
“Tadi awalnya aku tanya ke mereka, apa kenal Rina dan Lilac? Mereka bilang kenal dan nggak curiga sama sekali. Pas aku nanya apa mereka tahu tentang hubungan Ikhsan—yang jelas-jelas adalah cowok kamu—dan Rina, mereka langsung kayak ngehindar. Pas aku desak, mereka bilang nggak tahu. Tapi dari bahasa tubuh mereka, aku curiga mereka tahu sesuatu. Pas aku tanya lagi apakah Ikhsan dan Rina pacaran, mereka tetap ngelak. Dan dari situ aku tahu banget bahasa tubuh mereka menjawab ‘iya’. Trus tiga cewek itu langsung cabut, ninggalin satu cowok yang langsung kutahan. Pas aku tanya dengan bahasa cowok, dia dengan gamblangnya bilang, iya Ikhsan dan Rina pacaran.
Jujur, Li. Aku kaget banget dengar cowok itu jawab begitu. Aku berharap mereka dengan tegasnya bilang, kalau Ikhsan dan Rina cuma teman biasa. Maaf karena ternyata hal ini yang aku kasih tahu ke kamu.”
Ikhsan dan Rina pacaran? Tanpa berkata apa pun, Yusuf menarikku ke dalam pelukannya. Dibiarkannya aku menumpahkan segala sakit hatiku atas pengkhianatan pacar dan temanku sendiri.
“Sayang, jangan kamu tahan luka kamu. Kamu keluarin aja biar lega,” sambil berkata seperti itu, Yusuf mengusap kepalaku dengan lembut dan membiarkan bajunya basah oleh air mataku.
Setelah mulai tenang, baru aku menguatkan diri untuk melihat ke arah Ikhsan dan Rina. Astaga, mereka ke arah lapangan parkir! Secepat kilat Yusuf keluar mobil dan masuk lagi dari pintu tengah. Sementara aku langsung bergeser ke kursi penumpang dan segera menunduk. Rencananya, Yusuf akan langsung pindah ke kursi sopir setelah Ikhsan menjalankan mobil dan agak jauh dari posisi kami. Karena Yusuf yang akan bawa mobil untuk membuntuti Ikhsan dan Rina. Untung saja Ikhsan dan Rina tidak menyadari kalau kami memata-matai mereka.
Setelah mereka masuk mobil, Ikhsan langsung menjalankan mobilnya. Dan setelah agak jauh tapi masih cukup dekat untuk kami pantau, kami langsung menjalankan rencana kami. Sepanjang jalan ketika kami membuntuti mereka, perasaanku gelisah dan tidak tenang.
“Yang, kamu ngeliat nggak bayangan dari mobilnya Ikhsan?” tunjuk Yusuf ke arah mobil Ikhsan yang berada tepat di depan kami.
Astaga! Apa itu bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan?
“Kok kayak bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan, ya?” Pertanyaan Yusuf sama seperti pertanyaan dalam kepalaku.
“Eh, kayaknya Ikhsan juga nyandarin kepalanya di atas kepalanya Rina!” Ugh, Yusuf malah membuat aku jadi panas!
“Aku nggak buta! Kamu nggak usah bikin aku jadi tambah panas, deh!” Entah kenapa, aku jadi emosi ke Yusuf.
Yusuf langsung terdiam dan tampak bersalah.
“Maaf, kak. Aku marah ke mereka,” ujarku.
“Yang, coba kamu telpon Rina. Ajakin dia ketemu atau apa gitu,” usul Yusuf seolah tidak ada kejadian buruk tadi. Aku segera menelepon Rina yang agak lama diangkatnya.
“Halo?” sapa suara Rina di ujung sana.
“Rin, lagi di kampus ya?” tanyaku mengetes.
“Iya, aku lagi di kampus. Ada apa, Li?” tanya Rina.
Kali ini aku baru benar-benar yakin kalau Ikhsan dan Rina ada apa-apa. Kalau tidak, kenapa mereka berdua bohong?
“Rin, aku ke sana, ya? Aku pengen ngobrol-ngobrol sama kamu. Kita, kan, udah lama nggak ngobrol,” pintaku.
“Aduh, sori. Aku habis ini masih ada kelas. Sekarang aja lagi nunggu dosen. Eh, dosenku masuk! Udah dulu, ya. Bye!” Tiba-tiba saja Rina menutup telpon dari aku. Yusuf yang juga mendengar perbincangan aku dan Rina—karena telepon dalam mode loudspeaker—menepuk bahuku perlahan tanda simpati.
Aku terlalu lelah untuk berkomentar apapun. Sekarang aku dan Yusuf terus mengikuti Ikhsan dan Rina dari jarak aman. Tetap terlihat tapi tidak mencurigakan. Dan setelah setengah jam berjalan, Ikhsan membelokkan mobilnya ke arah rumah makan tempat aku dan Ikhsan biasa makan. Begitu turun dari mobil, Ikhsan dan Rina langsung masuk ke rumah makan dan duduk di meja dekat pintu masuk. Yusuf segera memarkir mobil di dekat pintu masuk. Jadi aku dan Yusuf bisa mengawasi Ikhsan dan Rina dari kejauhan. Tapi namanya mengawasi dari jauh, aku tetap tidak bisa bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat mereka saling berpegangan tangan.
Yusuf mengusulkan agar aku menelepon Rina lagi. Aku segera melaksanakan usul itu.
“Halo?” Nada suara Rina ketika menjawab telepon dariku terdengar malas.
“Rin, lagi di mana?”
“Lagi di kantin. Tapi kayaknya bentar lagi mau jalan ama anak-anak,” dustanya.
“Eh, aku sekarang udah mandi dan siap-siap mau ke sana. Kamu tunggu bentar, ya. Aku ikut jalan, dong,” pintaku sambil menunggu reaksi Rina. Rina lagi-lagi menolak permintaanku.
“Aku tadi ditelepon Tiani, katanya di kampus ada cowokku,” ujarku lagi.
“Hah, cowok kamu?! Mau apa dia ke kampus? Nggak mungkin,” elak Rina. Karena Rina terus menolak ‘permintaan jalan’ dari aku, aku menyudahi pembicaraan.
Cukup sudah yang kulihat dan kudengar hari ini. Saatnya decision making. Aku turun dari mobil dan menghampiri meja Ikhsan dan Rina diikuti Yusuf.
“Ini yang kalian bilang di kampus?” tanyaku sesinis mungkin. Ikhsan dan Rina yang tak menduga kedatanganku tampak terkejut. Mereka langsung berdiri dan berlomba menjelaskan padaku.
“Yang, aku bisa jelaskan.” Orang bodoh manapun bisa langsung menebak dari kata-kata yang diucapkan Ikhsan bahwa ada sesuatu yang ingin dia tutupi.
“Li, aku dan Ikhsan cuma makan bareng aja. Nggak lebih,” kali ini Rina yang mengelak.
“Kalian berdua pengkhianat! Damn you!” bentakku sambil menampar mereka berdua. Untuk Ikhsan, dua kali tamparan dengan punggung tanganku plus siraman jus mangga yang baru dia minum seperempat gelas. Dan Rina, tamparan plus dorongan di bahu yang membuatnya jatuh tersungkur.
Ikhsan tampak marah, tapi itu sebenarnya masih kurang dari pengkhianatan mereka.
“Aku tahu kamu adalah seorang pengecut. Kamu nggak berani, kan, untuk mutusin aku? Karena itu, sekarang kita putus!” ujarku ke Ikhsan.
“Dan kamu, Rin! Tunggu aja episode baru dalam hidupmu!” Aku bukan sekedar membentak. Tapi aku tahu bahwa karma selalu berlaku. Aku menarik tangan Yusuf dan meninggalkan tempat itu. Cukup sudah untuk hari ini.
Aku dan Kak Sakura

Percayakah kamu, bahwa hubungan darah atau persaudaraan itu sampai kapan pun takkan pernah terputus? Karena kini aku merasakannya. Aku merasa, aku memiliki hubungan batin dengannya. Dan aku yakin, bahwa ia pasti saudaraku. Saudara yang selama ini aku impikan. Oh ya, namaku Hime. Hime dalam bahasa Cina artinya Putri. Di keluargaku aku anak tunggal. Padahal aku ingin sekali punya saudara. Aku selalu kesepian.
Dua minggu yang lalu aku dan keluargaku makan malam di kafe langganan kami. Saat kami sedang makan, ada satu band yang tampil. Aku memerhatikan vokalisnya, entah mengapa aku merasakan sesuatu di dalam dadaku. Kuperhatikan lagi gadis yang kutahu namanya adalah Sakura itu lekat-lekat. Tatapanku mengarah ke kalung yang tergantung manis di lehernya. Liontin itu, liontin yang sama dengan liontin yang tergantung di leherku.
Liontin kami yang kembar itu, aku yakin bukan kebetulan belaka. Liontin berbentuk bintang jatuh itu adalah milik keluarga kami. Tepatnya milik setiap anak gadis pertama dalam keluarga ayah dan saudara-saudaranya. Karena aku adalah anak pertama ayah, nenek memberiku liontin ini. Dan kutahu, liontin ini adalah liontin keluarga. Makanya aku heran, kenapa Sakura bisa memiliki liontin itu. Di rumah aku menanyakan hal itu kepada ayah. Awalnya ayah tak mau menjawab pertanyaanku. Setelah kudesak, akhirnya ayah mau juga menjawab pertanyaanku. Ayah menjawab pertanyaanku di ruang kerjanya, karena katanya ini hal yang sangat pribadi.
Ternyata, Sakura adalah anak kandung pertama ayah. Aku anak keduanya. Dulu ayah pernah menikah, dan dari pernikahan itu lahirlah Sakura. Sayangnya pernikahan mereka tak bertahan lama. Setelah tiga tahun menikah, mereka memutuskan bercerai. Sakura tentu saja ikut ibunya. Dan lima tahun kemudian, ayah menikah dengan bunda. Sebelum menikah dengan bunda, ayah berjanji untuk melupakan semua masa lalunya. Tak lama kemudian aku lahir. Dan di ulangtahun pertamaku, nenek memberiku liontin ini.
Aku sama sekali tak mengira sama sekali tentang Sakura. Tapi seperti apapun dia, dia tetap kakakku. Kakak kandungku. Walau kami lahir dari rahim yang berbeda, tapi dalam tubuh kami mengalir darah yang sama. Sejak saat itu aku merasakan kerinduan yang dalam ke Kak Sakura. Walau aku belum pernah bertemu dia sebelumnya, aku yakin bahwa aku menyayanginya. Aku ingin sekali memeluknya. Aku ingin sekali merasakan memiliki seorang kakak dalam hidupku.

***

Siang ini seperti biasa aku dan kedua sahabatku—Arion dan Chevy—sedang hunting buku di Gramedia.
“Hime, kamu yakin dia itu kakak kamu? Siapa namanya tadi?” Arion menanyakan keyakinanku.
“Yakin, lah. Aku bisa ngerasain. Ada getar aneh di hatiku. Liontin kami juga sama. Lagipula, ayah juga sudah cerita kalau Kak Sakura memang benar kakakku,” jawabku sambil menunjukkan liontin kembarku dan Kak Sakura.
Arion dan Chevy hanya saling berpandangan. Aku tahu, mereka nggak percaya begtu saja.
“Kamu sudah coba ngomong sama Kak Sakura?” kali ini Chevy yang bertanya.
“Dua hari setelah aku ngeliat dia di kafe, aku ke sana lagi. Aku udah coba ngomong sama dia, tapi dia seperti menghindar—apalagi setelah ngeliat liontinku. Aku sudah hubungi ke hapenya. Tapi semua telepon dan smsku nggak pernah ditanggapi,” jawabku dengan mata mulai berkaca-kaca.
Melihat kondisiku yang mulai kacau, Arion membimbingku ke sofa terdekat di dekat rak bagian Psikologi.
“Aku kangen sama Kak Sakura. Aku tahu, sebelumnya aku nggak pernah ketemu dia. Tapi aku tahu kalau aku sayang banget sama dia. Aku ingin banget ketemu dia,” curhatku begitu duduk di sofa.
“Sekarang kamu maunya gimana?” tanya Chevy.
“Aku mau ketemu Kak Sakura,” jawabku mantap. Lagi-lagi Arion dan Chevy hanya terlongo menatapku.
“Yang benar, Him?” tanya Arion tidak percaya.
“Iya. Kalian temani aku ketemu Kak Sakura ya?” pintaku ke mereka berdua. Mereka berdua mengangguk dan tersenyum tulus
Aku bahagia banget berada di antara mereka berdua.
“Trus rencana kamu sekarang gimana?” tanya Chevy lagi. Aku segera menjelaskan rencanaku ke mereka berdua. Sesekali mereka menganguk-angguk dan memberi saran. Akhirnya kami mencapai rencana final. Besok kami akan ke kafe tempat Kak Sakura kerja.

***

Pagi ini aku merasa sangat deg-degan. Sebentar lagi Arion dan Chevy menjemput aku, setelah itu kami akan ke Pearl cafÉ—tempat kerja Kak Sakura.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di Pearl cafÉ. Kami segera turun dari mobil Arion dan memasuki kafe yang tampak sepi di siang hari.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” seorang karyawan kafe berpakaian cokelat menghentikan langkah kami.
“Begini, pak. Apa kami bisa ketemu dengan orang yang biasa mengurusi penyanyi di kafe ini?” tanyaku sopan.
“Oh, kalian bisa temui bagian humas. Silakan kalian tunggu di sini sebentar, saya panggilkan. Bagaimana?” tawarnya ramah. Kami mengangguk, karyawan itu segera masuk dan tak lama keluar dengan seorang wanita paruh baya.
Wanita itu tersenyum ramah dan menghampiri kami.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sapanya ramah seraya menjabat tangan kami.
“Selamat siang. Maaf, apa benar Sakura bekerja di kafe ini sebagai penyanyi?” tanyaku.
“Oh, Sakura. Iya dia memang penyanyi di kafe ini. Tapi sudah dua minggu ini dia nggak kerja,” jawabnya.
“Boleh kami minta alamatnya? Kebetulan kami ada sedikit keperluan dengan Sakura,” Arion menanyakan apa yang ada di pikiranku.
Aku tak sempat bertanya karena dalam hatiku berkecamuk pertanyaan, kenapa Kak Sakura nggak kerja?
“Silakan kalian tanyakan ke Ria. Dia vokalis baru di kafe ini. Siapa tahu dia bisa bantu. Rumahnya nggak jauh dari sini. Masih di jalan ini, nomor 23,” jawab Kepala Humas yang bernama Ika sambil menunjuk sebuah rumah berwarna hijau yang terletak tak jauh dari kafe. Kami bertiga berterimakasih dan segera pamit. Kemudian kami segera menuju ke rumah yang tadi ditunjukkan.
Begitu sampai, Artion langsung mengetuk pintu rumah Ria. Aku menunggu dengan gugup.
“Maaf, Ria?” tanya Arion kepada seorang gadis yang baru keluar dari dalam rumah.
“Iya, kalian siapa?” tanyanya dengan nada bingung.
“Kami diberitahu Ibu Ika, kalau kamu kenal dengan Sakura. Apa kamu tahu di mana Sakura tinggal?” kali ini Chevy angkat bicara.
Wajah Ria langsung tampak tidak suka begitu nama Kak Sakura terucap.
“Waduh, maaf. Saya nggak tahu apa-apa tentang Sakura. Saya nggak kenal dia,” jawabnya dan segera masuk ke dalam rumah. Aku segera menahan tangannya.
“Tolong, mbak. Saya butuh banget ketemu Kak Sakura. Tolong,” aku menahan tangis yang akan tumpah. Arion dan Chevy juga berusaha membujuk Ria. Tapi Ria seperti tak mau tahu dengan Sakura. Aku tak mengerti ada masalah apa sebenarnya.
Melihat gelagat Ria yang bersikeras tak ingin ikut campur dengan segala hal tentang Kak Sakura, Arion menahanku yang masih berusaha membujukku. Chevy mengusap-usap punggungku dan menghiburku.
“Kayaknya nggak ada cara lain. Satu-satunya cara kita harus tanya langsung ke ayah kamu,” putus Arion. Yah, mau tak mau memang kami harus menanyakan hal ini langsung ke ayah.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kita ke rumahku. Yuk,” aku menyetujui saran Arion. Bertiga kami menaiki Mercy C 200 Compressor Arion menuju rumahku. Di bangku belakang, Chevy menghiburku yang sedang gugup. Aku menebak-nebak apa reaksi ayah nanti saat aku bertanya tentang Kak Sakura? Menjawab dengan gamblang? Atau justru menghindar?
Tak terasa kami akhirnya tiba di rumahku. Arion dan Chevy menggenggam masing-masing tanganku, merasakan betapa dinginnya tanganku. Begitu sampai di depan pintu, kuketuk pintu dan kutunggu ayah membuka pintu.
“Eh, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” sapa ayah tanpa curiga.
“Baik, oom. Saya dan Chevy ke sini mau nemenin Hime. Hime mau nanya tentang Kak Sakura,” jawab Arion terbata-bata.
Ayah langsung menatapku tajam.
“Buat apa kamu tanya-tanya tentang Sakura?” tanya ayah. Tak ada nada marah dalam suaranya.
“Hime ingin ngerasain punya kakak, Yah. Dan Kak Sakura itu biar gimana pun juga kakak Hime. Tolong, Yah, Hime ingin ketemu Kak Sakura,” bujukku dengan mata berkaca-kaca.
Ayah yang tak pernah tega melihat mataku yang berkaca-kaca langsung menunduk. Ada mendung tebal di wajahnya. Aku tahu, baginya ini sama dengan membuka luka masa lalunya.
“Baik, ayak akan cerita semuanya. Kita cerita di dalam saja.” Baru saja ayah akan merangkulku, bunda keluar.
“Lho, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” bunda juga menyapa tanpa curiga.
“Ini, Hime ingin tahu tentang Sakura,” jawab ayah.
Wajah bunda langsung mengeras begitu mendengar nama Kak Sakura.
“Kamu itu apa-apaan, sih?! Itu aib masa lalu ayah kamu. Buat apa kamu tanya-tanya lagi?!” bentak bunda. Aku tahu, bunda tidak suka sama Kak Sakura.
“Tapi bunda, aku pengen ngerasain punya kakak,” rengekku.
“Pokoknya nggak! Sekarang juga kamu masuk rumah!” bunda membentakku lagi. Air mataku mulai menetes. Aku tetap mencoba membujuk bunda, tapi bunda tetap tak setuju.
Arion dan Chevy saling melemparkan pandangan prihatin. Tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf, Arion, Chevy. Ini masalah pribadi keluarga kami. Jadi pihak luar tidak bisa ikut campur urusan kami,” ayah mengusir Arion dan Chevy dengan halus. Sayup-sayup masih kudengar Arion dan Chevy pamit ke ayah.
Di dalam bunda terus mengomeliku.
“Kamu tahu sendiri kalau keluarga kita sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga mereka! Buat apa kamu ungkit lagi masa lalu ayah kamu?! Sekarang itu keluarga ayah kamu cuma bunda dan kamu! Bunda nggak mau dengar kamu sebut-sebut nama Sakura lagi!” selesai berkata seperti itu, bunda langsung masuk ke kamarnya.
“Ayah..” aku menangis dalam pelukan ayah. Ayah tidak ikut membentakku. Aku tahu perasaan dilema ayah. Satu sisi ayah sudah memutuskan untuk mengubur masa lalunya. Tapi di sisi lain ayah tidak ingin melupakan Kak Sakura yang darah dagingnya sendiri. Biar bagaimanapun juga, hubungan ayah dan anak tak akan pernah terputus.

***

Baru tiga hari kemudian aku bisa keluar rumah. Sejak pertengkaran dengan bunda, aku tidak diijinkan keluar rumah. Dan sudah tiga hari aku dan bunda perang dingin. Kami tidak saling tegur sapa. Ayah juga tidak mau menceritakan tentang Kak Sakura walau telah kubujuk-bujuk.
Hari ini aku ada di dalam taksi, menuju eXIsT cafÉ—tempat aku janjian dengan Arion dan Chevy. Begitu aku melihat mereka, aku segera duduk di kursi di antara mereka berdua. Syukurlah mereka memilih tempat di pojok.
“Gimana, Hime? Ayahmu udah cerita? Bunda kamu gimana?” pertanyaan-pertanyaan Chevy tak langsung kujawab. Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan mataku yang mulai berair.
“Hime?” tepukan lembut Arion menyadarkanku. Aku mengangkat kepalaku dan langsung menumpahkan tangis di dadanya.
Mereka berdua langsung mengerti. Mereka membiarkanku menangis sampai aku merasa lega. Saat akhirnya aku mulai merasa lega dan siap bercerita, aku mengangkat kepalaku dan kulihat di meja sudah ada segelas coklat hangat.
“Minum dulu, biar kamu merasa baikan. Kalau udah, kamu bisa cerita,” kata Chevy. Aku menyeruput sedikit minuman favoritku kemudian kuletakkan kembali ke meja.
Kupandangi wajah mereka berdua sebelum mulai bercerita.
“Ayah tetap nggak mau cerita tentang Kak Sakura. Jujur aja, aku nggak tahu sekarang mau ngapain. Aku bingung,” aku memang tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua jalan menjadi buntu.
“Nggak ada jalan lain. Satu-satunya cara kita harus tanya lagi ke Ria,” usul Chevy.
“Iya. Selain ayah kamu, cuma dia yang tahu tentang kakak kamu,” Arion menyetujui usul Chevy. Yah, memang tidak ada cara lain. Satu-satunya cara kami harus menemui Ria lagi.
“Oke, kalau gitu sekarang kita ke rumah Ria,” putusku akhirnya. Kami segera menghabiskan minuman kami dan membayar. Kemudian menuju rumah Ria dengan Toyota Camry milik Chevy.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di rumah Ria. Aku segera turun dan mengetuk pintu rumah Ria. Tak lama kemudian Ria sendiri yang membuka pintu.
“Kalian mau apa lagi?” tanyanya ketus begitu melihat kami bertiga.
“Mbak, kami tahu. Mbak pasti kenal sama Kak Sakura. Tolong, mbak. Kami butuh banget alamat Kak Sakura,” pintaku ke Ria.
“Maaf, saya nggak kenal sama yang namanya Sakura. Saya nggak bisa bantu kalian,” Ria kembali menolak memberitahu alamat Kak Sakura. Ria bahkan berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. Aku menarik tangannya dan terus membujuk Ria. Aku tahu kalau Ria pasti punya alamat Kak Sakura.
Aku terus membujuk Ria. Bahkan airmataku mulai menetes. Aku kangen sekali sama Kak Sakura. Aku tidak ingin semua usahaku sia-sia.
“Mbak, tolong kami. Teman saya, Hime, butuh banget untuk ketemu kakaknya. Apa mbak tega ngeliat dia nangis kayak gitu? Tolong, mbak,” kali ini Arion yang mencoba untuk membujuk Ria. Melihatku menangis, Ria tampaknya jadi iba. Ia mengangguk.
“Oke, saya kasih alamat Sakura,” akhirnya Ria mau memberi alamat Kak Sakura.
“Terima kasih, mbak. Terima kasih,” saking senangnya aku memeluk Ria. Ria tersenyum dan mengusap-usap punggungku.
Setelah mendapat alamat Kak Sakura, kami bertiga segera menuju alamat yang dimaksud. Dua puluh menit kemudian kami tiba di alamat itu.
Aku segera mengetuk pintu rumah yang bercat cokelat itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua keluar dari rumah itu.
“Maaf, apa benar ini rumah Kak Sakura?” tanyaku memastikan. Wanita itu tampak kebingungan.
“Iya,” jawabnya singkat. Ternyata beliau adalah omanya Kak Sakura. Atau dengan kata lain, mantan mertua ayah.
“Oma, saya anak Pak Ardeth,” ujarku lagi. Beliau langsung menepiskan tanganku begitu tahu siapa aku sebenarnya.
Pasti berat baginya untuk berhubungan lagi dengan anak mantan menantunya.
“Mau apa lagi kamu ke sini?! Disuruh ayah kamu?!” beliau bertanya dengan nada dingin.
“Hime datang sendiri karena keinginannya pribadi. Hime ingin ketemu Kak Sakura. Karena biar bagaimanapun juga, Kak Sakura dan Hime memiliki hubungan darah,” Arion yang menjawab pertanyaan oma.
“Enak saja! Ayah kamu itu sudah meninggalkan Sakura dan sekarang kamu datang! Hati saya sakit!” bentak oma.
“Oma, tolong. Saya ingin sekali ketemu Kak Sakura,” aku memeluk kaki oma. Oma mendorongku sampai terjatuh. Tak menyerah, aku kembali memeluk kaki oma.
Tak lama kemudian keluar seorang pria tua mendorong kursi rodanya sendiri.
“Ada apa, bu?” tanyanya ke oma. Beliau pasti opa.
“Opa, saya Hime. Anak Pak Ardeth. Saya ingin ketemu Kak Sakura. Tolong, opa,” kini aku memeluk kaki opa. Tampaknya opa bisa menerimaku. Beliau menepuk bahuku lembut.
“Baik. Opa akan cerita,” jawabnya. Aku bahagia sekali mendengarnya.
“Benar, opa? Terimakasih,” aku mencium tangan keriput opa.
Oma tampaknya tidak senang mendengar opa berbeda pendapat dengan beliau.
“Bapak ini apa-apaan, sih?” oma protes ke opa.
“Sudahlah, bu. Hime ini nggak ada hubungannya dengan masa lalu Ardeth. Kalau dia mau ketemu Sakura, itu wajar. Sakura tetap kakaknya,” terang opa.
“Opa akan cerita ke kamu, Hime. Tapi ini masalah pribadi. Jadi mohon maaf, yang bukan keluarga kami mohon tunggu di luar,” lanjut opa. Arion dan Chevy tampak maklum dengan permintaan opa. Aku segera mendorong kursi roda opa ke dalam rumah. Oma masih tampak keberatan dengan keputusan opa. Di dalam, opa menjelaskan semuanya. Beliau menceritakan masa lalu ayah. Bagaimana dulu pernikahan pertama ayah, mengapa ayah bercerai, dan tentu saja tentang Kak Sakura.
Ternyata sudah setengah jam aku di dalam. Begitu opa selesai bercerita, aku segera pamit ke opa dan oma. Tak lupa kucium tangan mereka berdua. Begitu aku keluar, Arion dan Chevy langsung bertanya apa saja yang terjadi di dalam.
“Kak Sakura masih kerja di kafe. Nanti malam kita ke sana,” jawabku. Mereka berdua menyetujui.

***

Malam ini aku merasa sangat deg-degan. Aku akan ketemu Kak Sakura lagi! Dalam benakku terus terbayang bagaimana kira-kira reaksi Kak Sakura nanti. Sementara aku mengendarai Lexus IS 300 milikku, pikiranku telah tiba lebih dulu di Pearl CafÉ. Untung saja aku masih bisa konsentrasi dan tidak terjadi kecelakaan.
Kulihat Kak Sakura sedang bernyanyi di panggung tempat bandnya biasa tampil. Selama berjalan menuju meja pesanan kami, mataku tak lepas dari sosok Kak Sakura yang malam itu tampak cantik sekali dengan gaun berwarna putih gading. Bahkan ketika sudah duduk di kursi pun aku masih terus memandang Kak Sakura. Sambil menggenggam liontin kembarku dan Kak Sakura, aku berbisik, “Kak, aku datang untuk menemui kakak. Aku kangen kakak.”.
Begitu Kak Sakura selesai menyanyikan lagunya, aku, Arion, serta Chevy langsung menuju panggung. Kak Sakura tampak terkejut melihatku. Aku langsung menggenggam tangannya.
“Kak, aku Hime. Adik Kak Sakura. Aku tahu kita beda ibu. Tapi dalam tubuh kakak mengalir darah yang sama denganku. Aku ini adikmu,” terus menangis aku menggenggam tangannya.
“Aku nggak yakin,” kata Kak Sakura sambil menggeleng.
“Aku tahu kakak nggak gampang untuk yakin. Tapi ini nggak bisa dibohongi, kak.” Aku menegluarkan liontin yang tersembunyi di balik blusku. Kak Sakura terdiam menatap liontin yang kukenakan. Kemudian tangannya juga mengeluarkan liontin di balik gaunnya.
Wajahnya tampak melembut.
“Tapi kakak harus percaya kalau aku sayang Kak Sakura. Kalau nggak, nggak mungkin aku ke sini untuk nemui kakak. Aku sayang kakak. Aku kangen kakak,” isakku. Aku tak sanggup berkata-kata lagi dan hanya mampu terdiam. Tiba-tiba Kak Sakura memelukku erat.
“Kakak tahu kalau kamu adikku. Dari pertama kamu nemui kakak, kakak udah curiga. Tapi kakak masih belum yakin. Sekarang kakak yakin kalau kamu memang benar adikku. Kakak senang banget karena kakak ternyata punya kamu. Dik,” bisiknya di tengah tangisnya. Ternyata Kak Sakura juga menangis.
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku juga senang akhirnya bisa memeluk kakakku. Aku berharap, keluargaku dan keluarga Kak Sakura bisa akur. Dan juga bisa menerima aku dan Kak Sakura.
Aku dan Kak Sakura

Percayakah kamu, bahwa hubungan darah atau persaudaraan itu sampai kapan pun takkan pernah terputus? Karena kini aku merasakannya. Aku merasa, aku memiliki hubungan batin dengannya. Dan aku yakin, bahwa ia pasti saudaraku. Saudara yang selama ini aku impikan. Oh ya, namaku Hime. Hime dalam bahasa Cina artinya Putri. Di keluargaku aku anak tunggal. Padahal aku ingin sekali punya saudara. Aku selalu kesepian.
Dua minggu yang lalu aku dan keluargaku makan malam di kafe langganan kami. Saat kami sedang makan, ada satu band yang tampil. Aku memerhatikan vokalisnya, entah mengapa aku merasakan sesuatu di dalam dadaku. Kuperhatikan lagi gadis yang kutahu namanya adalah Sakura itu lekat-lekat. Tatapanku mengarah ke kalung yang tergantung manis di lehernya. Liontin itu, liontin yang sama dengan liontin yang tergantung di leherku.
Liontin kami yang kembar itu, aku yakin bukan kebetulan belaka. Liontin berbentuk bintang jatuh itu adalah milik keluarga kami. Tepatnya milik setiap anak gadis pertama dalam keluarga ayah dan saudara-saudaranya. Karena aku adalah anak pertama ayah, nenek memberiku liontin ini. Dan kutahu, liontin ini adalah liontin keluarga. Makanya aku heran, kenapa Sakura bisa memiliki liontin itu. Di rumah aku menanyakan hal itu kepada ayah. Awalnya ayah tak mau menjawab pertanyaanku. Setelah kudesak, akhirnya ayah mau juga menjawab pertanyaanku. Ayah menjawab pertanyaanku di ruang kerjanya, karena katanya ini hal yang sangat pribadi.
Ternyata, Sakura adalah anak kandung pertama ayah. Aku anak keduanya. Dulu ayah pernah menikah, dan dari pernikahan itu lahirlah Sakura. Sayangnya pernikahan mereka tak bertahan lama. Setelah tiga tahun menikah, mereka memutuskan bercerai. Sakura tentu saja ikut ibunya. Dan lima tahun kemudian, ayah menikah dengan bunda. Sebelum menikah dengan bunda, ayah berjanji untuk melupakan semua masa lalunya. Tak lama kemudian aku lahir. Dan di ulangtahun pertamaku, nenek memberiku liontin ini.
Aku sama sekali tak mengira sama sekali tentang Sakura. Tapi seperti apapun dia, dia tetap kakakku. Kakak kandungku. Walau kami lahir dari rahim yang berbeda, tapi dalam tubuh kami mengalir darah yang sama. Sejak saat itu aku merasakan kerinduan yang dalam ke Kak Sakura. Walau aku belum pernah bertemu dia sebelumnya, aku yakin bahwa aku menyayanginya. Aku ingin sekali memeluknya. Aku ingin sekali merasakan memiliki seorang kakak dalam hidupku.

***

Siang ini seperti biasa aku dan kedua sahabatku—Arion dan Chevy—sedang hunting buku di Gramedia.
“Hime, kamu yakin dia itu kakak kamu? Siapa namanya tadi?” Arion menanyakan keyakinanku.
“Yakin, lah. Aku bisa ngerasain. Ada getar aneh di hatiku. Liontin kami juga sama. Lagipula, ayah juga sudah cerita kalau Kak Sakura memang benar kakakku,” jawabku sambil menunjukkan liontin kembarku dan Kak Sakura.
Arion dan Chevy hanya saling berpandangan. Aku tahu, mereka nggak percaya begtu saja.
“Kamu sudah coba ngomong sama Kak Sakura?” kali ini Chevy yang bertanya.
“Dua hari setelah aku ngeliat dia di kafe, aku ke sana lagi. Aku udah coba ngomong sama dia, tapi dia seperti menghindar—apalagi setelah ngeliat liontinku. Aku sudah hubungi ke hapenya. Tapi semua telepon dan smsku nggak pernah ditanggapi,” jawabku dengan mata mulai berkaca-kaca.
Melihat kondisiku yang mulai kacau, Arion membimbingku ke sofa terdekat di dekat rak bagian Psikologi.
“Aku kangen sama Kak Sakura. Aku tahu, sebelumnya aku nggak pernah ketemu dia. Tapi aku tahu kalau aku sayang banget sama dia. Aku ingin banget ketemu dia,” curhatku begitu duduk di sofa.
“Sekarang kamu maunya gimana?” tanya Chevy.
“Aku mau ketemu Kak Sakura,” jawabku mantap. Lagi-lagi Arion dan Chevy hanya terlongo menatapku.
“Yang benar, Him?” tanya Arion tidak percaya.
“Iya. Kalian temani aku ketemu Kak Sakura ya?” pintaku ke mereka berdua. Mereka berdua mengangguk dan tersenyum tulus
Aku bahagia banget berada di antara mereka berdua.
“Trus rencana kamu sekarang gimana?” tanya Chevy lagi. Aku segera menjelaskan rencanaku ke mereka berdua. Sesekali mereka menganguk-angguk dan memberi saran. Akhirnya kami mencapai rencana final. Besok kami akan ke kafe tempat Kak Sakura kerja.

***

Pagi ini aku merasa sangat deg-degan. Sebentar lagi Arion dan Chevy menjemput aku, setelah itu kami akan ke Pearl cafÉ—tempat kerja Kak Sakura.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di Pearl cafÉ. Kami segera turun dari mobil Arion dan memasuki kafe yang tampak sepi di siang hari.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” seorang karyawan kafe berpakaian cokelat menghentikan langkah kami.
“Begini, pak. Apa kami bisa ketemu dengan orang yang biasa mengurusi penyanyi di kafe ini?” tanyaku sopan.
“Oh, kalian bisa temui bagian humas. Silakan kalian tunggu di sini sebentar, saya panggilkan. Bagaimana?” tawarnya ramah. Kami mengangguk, karyawan itu segera masuk dan tak lama keluar dengan seorang wanita paruh baya.
Wanita itu tersenyum ramah dan menghampiri kami.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sapanya ramah seraya menjabat tangan kami.
“Selamat siang. Maaf, apa benar Sakura bekerja di kafe ini sebagai penyanyi?” tanyaku.
“Oh, Sakura. Iya dia memang penyanyi di kafe ini. Tapi sudah dua minggu ini dia nggak kerja,” jawabnya.
“Boleh kami minta alamatnya? Kebetulan kami ada sedikit keperluan dengan Sakura,” Arion menanyakan apa yang ada di pikiranku.
Aku tak sempat bertanya karena dalam hatiku berkecamuk pertanyaan, kenapa Kak Sakura nggak kerja?
“Silakan kalian tanyakan ke Ria. Dia vokalis baru di kafe ini. Siapa tahu dia bisa bantu. Rumahnya nggak jauh dari sini. Masih di jalan ini, nomor 23,” jawab Kepala Humas yang bernama Ika sambil menunjuk sebuah rumah berwarna hijau yang terletak tak jauh dari kafe. Kami bertiga berterimakasih dan segera pamit. Kemudian kami segera menuju ke rumah yang tadi ditunjukkan.
Begitu sampai, Artion langsung mengetuk pintu rumah Ria. Aku menunggu dengan gugup.
“Maaf, Ria?” tanya Arion kepada seorang gadis yang baru keluar dari dalam rumah.
“Iya, kalian siapa?” tanyanya dengan nada bingung.
“Kami diberitahu Ibu Ika, kalau kamu kenal dengan Sakura. Apa kamu tahu di mana Sakura tinggal?” kali ini Chevy angkat bicara.
Wajah Ria langsung tampak tidak suka begitu nama Kak Sakura terucap.
“Waduh, maaf. Saya nggak tahu apa-apa tentang Sakura. Saya nggak kenal dia,” jawabnya dan segera masuk ke dalam rumah. Aku segera menahan tangannya.
“Tolong, mbak. Saya butuh banget ketemu Kak Sakura. Tolong,” aku menahan tangis yang akan tumpah. Arion dan Chevy juga berusaha membujuk Ria. Tapi Ria seperti tak mau tahu dengan Sakura. Aku tak mengerti ada masalah apa sebenarnya.
Melihat gelagat Ria yang bersikeras tak ingin ikut campur dengan segala hal tentang Kak Sakura, Arion menahanku yang masih berusaha membujukku. Chevy mengusap-usap punggungku dan menghiburku.
“Kayaknya nggak ada cara lain. Satu-satunya cara kita harus tanya langsung ke ayah kamu,” putus Arion. Yah, mau tak mau memang kami harus menanyakan hal ini langsung ke ayah.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kita ke rumahku. Yuk,” aku menyetujui saran Arion. Bertiga kami menaiki Mercy C 200 Compressor Arion menuju rumahku. Di bangku belakang, Chevy menghiburku yang sedang gugup. Aku menebak-nebak apa reaksi ayah nanti saat aku bertanya tentang Kak Sakura? Menjawab dengan gamblang? Atau justru menghindar?
Tak terasa kami akhirnya tiba di rumahku. Arion dan Chevy menggenggam masing-masing tanganku, merasakan betapa dinginnya tanganku. Begitu sampai di depan pintu, kuketuk pintu dan kutunggu ayah membuka pintu.
“Eh, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” sapa ayah tanpa curiga.
“Baik, oom. Saya dan Chevy ke sini mau nemenin Hime. Hime mau nanya tentang Kak Sakura,” jawab Arion terbata-bata.
Ayah langsung menatapku tajam.
“Buat apa kamu tanya-tanya tentang Sakura?” tanya ayah. Tak ada nada marah dalam suaranya.
“Hime ingin ngerasain punya kakak, Yah. Dan Kak Sakura itu biar gimana pun juga kakak Hime. Tolong, Yah, Hime ingin ketemu Kak Sakura,” bujukku dengan mata berkaca-kaca.
Ayah yang tak pernah tega melihat mataku yang berkaca-kaca langsung menunduk. Ada mendung tebal di wajahnya. Aku tahu, baginya ini sama dengan membuka luka masa lalunya.
“Baik, ayak akan cerita semuanya. Kita cerita di dalam saja.” Baru saja ayah akan merangkulku, bunda keluar.
“Lho, ada Arion dan Chevy! Apa kabar?” bunda juga menyapa tanpa curiga.
“Ini, Hime ingin tahu tentang Sakura,” jawab ayah.
Wajah bunda langsung mengeras begitu mendengar nama Kak Sakura.
“Kamu itu apa-apaan, sih?! Itu aib masa lalu ayah kamu. Buat apa kamu tanya-tanya lagi?!” bentak bunda. Aku tahu, bunda tidak suka sama Kak Sakura.
“Tapi bunda, aku pengen ngerasain punya kakak,” rengekku.
“Pokoknya nggak! Sekarang juga kamu masuk rumah!” bunda membentakku lagi. Air mataku mulai menetes. Aku tetap mencoba membujuk bunda, tapi bunda tetap tak setuju.
Arion dan Chevy saling melemparkan pandangan prihatin. Tak tahu harus berbuat apa.
“Maaf, Arion, Chevy. Ini masalah pribadi keluarga kami. Jadi pihak luar tidak bisa ikut campur urusan kami,” ayah mengusir Arion dan Chevy dengan halus. Sayup-sayup masih kudengar Arion dan Chevy pamit ke ayah.
Di dalam bunda terus mengomeliku.
“Kamu tahu sendiri kalau keluarga kita sudah lama tidak berhubungan dengan keluarga mereka! Buat apa kamu ungkit lagi masa lalu ayah kamu?! Sekarang itu keluarga ayah kamu cuma bunda dan kamu! Bunda nggak mau dengar kamu sebut-sebut nama Sakura lagi!” selesai berkata seperti itu, bunda langsung masuk ke kamarnya.
“Ayah..” aku menangis dalam pelukan ayah. Ayah tidak ikut membentakku. Aku tahu perasaan dilema ayah. Satu sisi ayah sudah memutuskan untuk mengubur masa lalunya. Tapi di sisi lain ayah tidak ingin melupakan Kak Sakura yang darah dagingnya sendiri. Biar bagaimanapun juga, hubungan ayah dan anak tak akan pernah terputus.

***

Baru tiga hari kemudian aku bisa keluar rumah. Sejak pertengkaran dengan bunda, aku tidak diijinkan keluar rumah. Dan sudah tiga hari aku dan bunda perang dingin. Kami tidak saling tegur sapa. Ayah juga tidak mau menceritakan tentang Kak Sakura walau telah kubujuk-bujuk.
Hari ini aku ada di dalam taksi, menuju eXIsT cafÉ—tempat aku janjian dengan Arion dan Chevy. Begitu aku melihat mereka, aku segera duduk di kursi di antara mereka berdua. Syukurlah mereka memilih tempat di pojok.
“Gimana, Hime? Ayahmu udah cerita? Bunda kamu gimana?” pertanyaan-pertanyaan Chevy tak langsung kujawab. Aku menundukkan kepalaku, menyembunyikan mataku yang mulai berair.
“Hime?” tepukan lembut Arion menyadarkanku. Aku mengangkat kepalaku dan langsung menumpahkan tangis di dadanya.
Mereka berdua langsung mengerti. Mereka membiarkanku menangis sampai aku merasa lega. Saat akhirnya aku mulai merasa lega dan siap bercerita, aku mengangkat kepalaku dan kulihat di meja sudah ada segelas coklat hangat.
“Minum dulu, biar kamu merasa baikan. Kalau udah, kamu bisa cerita,” kata Chevy. Aku menyeruput sedikit minuman favoritku kemudian kuletakkan kembali ke meja.
Kupandangi wajah mereka berdua sebelum mulai bercerita.
“Ayah tetap nggak mau cerita tentang Kak Sakura. Jujur aja, aku nggak tahu sekarang mau ngapain. Aku bingung,” aku memang tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua jalan menjadi buntu.
“Nggak ada jalan lain. Satu-satunya cara kita harus tanya lagi ke Ria,” usul Chevy.
“Iya. Selain ayah kamu, cuma dia yang tahu tentang kakak kamu,” Arion menyetujui usul Chevy. Yah, memang tidak ada cara lain. Satu-satunya cara kami harus menemui Ria lagi.
“Oke, kalau gitu sekarang kita ke rumah Ria,” putusku akhirnya. Kami segera menghabiskan minuman kami dan membayar. Kemudian menuju rumah Ria dengan Toyota Camry milik Chevy.
Limabelas menit kemudian kami sudah tiba di rumah Ria. Aku segera turun dan mengetuk pintu rumah Ria. Tak lama kemudian Ria sendiri yang membuka pintu.
“Kalian mau apa lagi?” tanyanya ketus begitu melihat kami bertiga.
“Mbak, kami tahu. Mbak pasti kenal sama Kak Sakura. Tolong, mbak. Kami butuh banget alamat Kak Sakura,” pintaku ke Ria.
“Maaf, saya nggak kenal sama yang namanya Sakura. Saya nggak bisa bantu kalian,” Ria kembali menolak memberitahu alamat Kak Sakura. Ria bahkan berusaha untuk masuk ke dalam rumahnya. Aku menarik tangannya dan terus membujuk Ria. Aku tahu kalau Ria pasti punya alamat Kak Sakura.
Aku terus membujuk Ria. Bahkan airmataku mulai menetes. Aku kangen sekali sama Kak Sakura. Aku tidak ingin semua usahaku sia-sia.
“Mbak, tolong kami. Teman saya, Hime, butuh banget untuk ketemu kakaknya. Apa mbak tega ngeliat dia nangis kayak gitu? Tolong, mbak,” kali ini Arion yang mencoba untuk membujuk Ria. Melihatku menangis, Ria tampaknya jadi iba. Ia mengangguk.
“Oke, saya kasih alamat Sakura,” akhirnya Ria mau memberi alamat Kak Sakura.
“Terima kasih, mbak. Terima kasih,” saking senangnya aku memeluk Ria. Ria tersenyum dan mengusap-usap punggungku.
Setelah mendapat alamat Kak Sakura, kami bertiga segera menuju alamat yang dimaksud. Dua puluh menit kemudian kami tiba di alamat itu.
Aku segera mengetuk pintu rumah yang bercat cokelat itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua keluar dari rumah itu.
“Maaf, apa benar ini rumah Kak Sakura?” tanyaku memastikan. Wanita itu tampak kebingungan.
“Iya,” jawabnya singkat. Ternyata beliau adalah omanya Kak Sakura. Atau dengan kata lain, mantan mertua ayah.
“Oma, saya anak Pak Ardeth,” ujarku lagi. Beliau langsung menepiskan tanganku begitu tahu siapa aku sebenarnya.
Pasti berat baginya untuk berhubungan lagi dengan anak mantan menantunya.
“Mau apa lagi kamu ke sini?! Disuruh ayah kamu?!” beliau bertanya dengan nada dingin.
“Hime datang sendiri karena keinginannya pribadi. Hime ingin ketemu Kak Sakura. Karena biar bagaimanapun juga, Kak Sakura dan Hime memiliki hubungan darah,” Arion yang menjawab pertanyaan oma.
“Enak saja! Ayah kamu itu sudah meninggalkan Sakura dan sekarang kamu datang! Hati saya sakit!” bentak oma.
“Oma, tolong. Saya ingin sekali ketemu Kak Sakura,” aku memeluk kaki oma. Oma mendorongku sampai terjatuh. Tak menyerah, aku kembali memeluk kaki oma.
Tak lama kemudian keluar seorang pria tua mendorong kursi rodanya sendiri.
“Ada apa, bu?” tanyanya ke oma. Beliau pasti opa.
“Opa, saya Hime. Anak Pak Ardeth. Saya ingin ketemu Kak Sakura. Tolong, opa,” kini aku memeluk kaki opa. Tampaknya opa bisa menerimaku. Beliau menepuk bahuku lembut.
“Baik. Opa akan cerita,” jawabnya. Aku bahagia sekali mendengarnya.
“Benar, opa? Terimakasih,” aku mencium tangan keriput opa.
Oma tampaknya tidak senang mendengar opa berbeda pendapat dengan beliau.
“Bapak ini apa-apaan, sih?” oma protes ke opa.
“Sudahlah, bu. Hime ini nggak ada hubungannya dengan masa lalu Ardeth. Kalau dia mau ketemu Sakura, itu wajar. Sakura tetap kakaknya,” terang opa.
“Opa akan cerita ke kamu, Hime. Tapi ini masalah pribadi. Jadi mohon maaf, yang bukan keluarga kami mohon tunggu di luar,” lanjut opa. Arion dan Chevy tampak maklum dengan permintaan opa. Aku segera mendorong kursi roda opa ke dalam rumah. Oma masih tampak keberatan dengan keputusan opa. Di dalam, opa menjelaskan semuanya. Beliau menceritakan masa lalu ayah. Bagaimana dulu pernikahan pertama ayah, mengapa ayah bercerai, dan tentu saja tentang Kak Sakura.
Ternyata sudah setengah jam aku di dalam. Begitu opa selesai bercerita, aku segera pamit ke opa dan oma. Tak lupa kucium tangan mereka berdua. Begitu aku keluar, Arion dan Chevy langsung bertanya apa saja yang terjadi di dalam.
“Kak Sakura masih kerja di kafe. Nanti malam kita ke sana,” jawabku. Mereka berdua menyetujui.

***

Malam ini aku merasa sangat deg-degan. Aku akan ketemu Kak Sakura lagi! Dalam benakku terus terbayang bagaimana kira-kira reaksi Kak Sakura nanti. Sementara aku mengendarai Lexus IS 300 milikku, pikiranku telah tiba lebih dulu di Pearl CafÉ. Untung saja aku masih bisa konsentrasi dan tidak terjadi kecelakaan.
Kulihat Kak Sakura sedang bernyanyi di panggung tempat bandnya biasa tampil. Selama berjalan menuju meja pesanan kami, mataku tak lepas dari sosok Kak Sakura yang malam itu tampak cantik sekali dengan gaun berwarna putih gading. Bahkan ketika sudah duduk di kursi pun aku masih terus memandang Kak Sakura. Sambil menggenggam liontin kembarku dan Kak Sakura, aku berbisik, “Kak, aku datang untuk menemui kakak. Aku kangen kakak.”.
Begitu Kak Sakura selesai menyanyikan lagunya, aku, Arion, serta Chevy langsung menuju panggung. Kak Sakura tampak terkejut melihatku. Aku langsung menggenggam tangannya.
“Kak, aku Hime. Adik Kak Sakura. Aku tahu kita beda ibu. Tapi dalam tubuh kakak mengalir darah yang sama denganku. Aku ini adikmu,” terus menangis aku menggenggam tangannya.
“Aku nggak yakin,” kata Kak Sakura sambil menggeleng.
“Aku tahu kakak nggak gampang untuk yakin. Tapi ini nggak bisa dibohongi, kak.” Aku menegluarkan liontin yang tersembunyi di balik blusku. Kak Sakura terdiam menatap liontin yang kukenakan. Kemudian tangannya juga mengeluarkan liontin di balik gaunnya.
Wajahnya tampak melembut.
“Tapi kakak harus percaya kalau aku sayang Kak Sakura. Kalau nggak, nggak mungkin aku ke sini untuk nemui kakak. Aku sayang kakak. Aku kangen kakak,” isakku. Aku tak sanggup berkata-kata lagi dan hanya mampu terdiam. Tiba-tiba Kak Sakura memelukku erat.
“Kakak tahu kalau kamu adikku. Dari pertama kamu nemui kakak, kakak udah curiga. Tapi kakak masih belum yakin. Sekarang kakak yakin kalau kamu memang benar adikku. Kakak senang banget karena kakak ternyata punya kamu. Dik,” bisiknya di tengah tangisnya. Ternyata Kak Sakura juga menangis.
Aku semakin mengeratkan pelukanku. Aku juga senang akhirnya bisa memeluk kakakku. Aku berharap, keluargaku dan keluarga Kak Sakura bisa akur. Dan juga bisa menerima aku dan Kak Sakura.