September 25, 2010

Hari Kedua GERIGI'10 ITS

Hari ini rasanya panjang.... Tapi nggak melelahkan...
He he he...
Tapi ngantuk sih iya...
XD

Hari Pertama Jadi OC GERIGI'10 ITS

GERIGI ITS --> Generasi Integralistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Sebuah ajang Pengaderan Massal untuk mahasiswa baru 2010 yg LEGAL di ITS. Gabungan dari hampir seluruh jurusan di ITS.
Di sini, gk ada yg namanya arogansi jurusan atau fakultas. Semua jurusan di ITS bersatu, mengINTEGRAL.
Gak ada identitas jurusan atau fakultas. Hanya ada 1 identitas.
Jas almamater biru, wujud kebanggaan sebagai mahasiswa ITS yg bersatu.
GERIGI diadakan dari hari Jumat (24 Sept) sampai hari Minggu (26 Sept).

Well, itu pengertian singkat tentang GERIGI'10..

Aq pengennya cerita tentang peran dan kegiatanku di GERIGI'10.



Di kegiatan ini, aku dapat peran sebagai OC Acara.
Yah, istilah gampangnya panitia, lah...

Langsung aja dh... Aq gk ahli merangkai kata..



GERIGI hari pertama dimulai pukul 15.30. Lokasinya di Taman Alumni.
Acara ini diikuti sekitar 28 jurusan se-ITS. Tapi ada beberapa jurusan yang memang tidak bisa mengikutsertakan mabanya.
Seluruh peserta digabung dan dibagi menjadi 8 teritori, lalu masing-masing teritori di bagi menjadi 10 suku. Contoh: Teritori NTT (8), suku Nyama Selam (2).

September 24, 2010

Blooming and Blushing

Hmm..
Sebenarnya sih bingung mw nulis apa dan gimana..

Yg jelas sekarang nie aq lagi seneng banget..
Tadi Abie nelpon aq..
Yah, yg aq SENGAJA inget sih dy bilang kangen ama aq..
Hwaa..
Bahagia..
XD..

Aq juga kangen dy..
Juga sayang dy..
Tapi begitulah..
=)

September 21, 2010

BULAN DAN SERIGALA

Di suatu tempat..
Tinggallah seekor serigala yang selalu sendirian.
Di siang hari, sang serigala selalu dihajati mereka yang membencinya.
Karena itu, sang serigala lebih menyukai malam yang gelap.
Karena sang rembulan yang muncul di malam hari itu lah satu-satunya yang bersikap lembut padanya.
Walaupun ingin bersama sang rembulan, sang serigala tak bisa mencapainya, sekuat apapun ia menggapaikan tangan.
Lalu, sang serigala pun memulai perjalanan yang panjang.

Hari berganti hari..
Setiap pagi menjelang, sang serigala pun pergi bersembunyi.
Saat malam tiba, sekuat tenaga dia berusaha mengejar sang rembulan.
Meskipun demikian, tetap saja dia tak mampu mendekati sang rembulan.
Akhirnya, sang serigala pun jatuh tersungkur.

Lalu..
Dia pun berpikir.
Jangan-jangan sang rembulan akan kerepotan bila dirinya yang selalu dijahati datang mendekat..

Dengan penuh tekad, ia kembali berjalan tetapi kaki-kakinya sudah kelelahan.
Kakinya yang terluka di tengah jalan akibat dia bertubrukan dengan seseorang, yang lalu melemparinya dengan batu, terasa sakit.
Dari kedua belah mata sang serigala keluarlah linangan air mata.
Karena sang rembulan nun di atas sana tetap bersikap lembut seperti biasanya.
"Terima kasih," ucap sang serigala.
Di tengah kegelapan hari-hariku, hanya cahayamu sajalah yang selalu dan terus menerangi dan membimbing jalanku...

September 16, 2010

I can't hate you

Kamu memang pernah menyakitiku dengan sangat. Membuatku terluka begitu dalam.
Aku pun terpuruk karenanya.
Dan aku kecewa serta marah. Aku tak pernah menyangka hal itu akan terjadi.
Kamu yang sangat aku cintai sepenuh hati. Tega menyakitiku.

Tapi semarah apa pun aku padamu, bagaimana pun aku kecewa, sedalam apa pun kamu melukaiku.
Aku tak pernah mampu membencimu. Tak sedikit pun.

Semua tertutupi dengan dalamnya cintaku padamu.

September 15, 2010

Sebuah Kisah

by: Hablimul Tenri Gangka





Q rindukan sebuah kisah di masa lalu,

sebuah kisah indah yang tak kan pernah terlupakan

Q ingin melangkah ke depan dengan masa lalu itu tetap di pelukku

Dia tak memintaku untuk berubah, dan aku pun berharap itu padanya

Q ingin menceritakan kisah ini kembali, di suatu saat,,,

di mana para pendengarnya ialah bocah-bocah yang haus akan sebuah kisah klasik

tentang cinta dan kerinduan. . .

Masa-masa bersamanya kan tetap setia Q jaga kapan pun. . .

karena aku gak mau menceritakan kisah ini sendiri,,

Q ingin menceritakan kisah masa lalu ini dengannya,,yang rindu akan Q. .

September 14, 2010

Untitled

Lagi-lagi tentang aku dan Abie..
Well.. Kali ini agak sedih.. Atau paling tidak, tak menyenangkan bagiku..


Hmm..
Aku ditolak.. Bahkan sebelum menyatakan apa sebenarnya perasaanku..

Abie.. My first love.. My first boyfriend..
Dan mungkin satu"nya orang yg pernah kucintai dengan sangat dalam dan tulus..
Dan aku baru bisa berhenti m'cintainya 3 tahun lalu..
Selama 5 tahun aku terus m'cintainya.. Walau ia menyakiti hatiku..

Perasaanku padanya tak lagi seperti dulu. Tapi bukan b'arti aku tak punya perasaan apa" ke dy..
Well.. Aku sayang dy.. Melebihi rasa sayang ke teman.. Tapi bukan dalam konteks lawan jenis..
Mungkin karena aku pernah sangat m'cintainya. Ada perasaan khusus yg t'tinggal di relung hatiku..
Yg m'buatnya istimewa di hatiku..

Maaf.. Aku tak pernah mengerti mengapa aku masih menyimpan harap padamu..
Mungkin karena bagiku masih ada hal yg belum t'selesaikan dalam hubungan kita yg lalu..
Sebelumnya aku tak pernah memikirkanmu sedalam ini. Tapi semenjak kita bertemu lagi di acara itu. Aku tak mampu berhenti memikirkanmu..
Aku sendiri tak mengerti mengapa begitu..
Maaf..

Maafkan karena akhirnya kamu tahu bahwa aku memikirkanmu..
Sungguh aku b'harap kau tak pernah tahu hal itu..

Aku tak sedih, tak kecewa, tak sakit hati dengan apa yg kamu tulis..
Aku mengerti..
Aku pun tak berani b'harap terlalu jauh padamu..

Sekali lagi..
Aku hanya bahagia bisa kembali dekat denganmu.. Melihatmu tertawa.. Berada di sisimu..
Tanpa harus m'cintaimu lagi.. Dicintai lagi olehmu..
Dan kembali t'hempas karena lagi-lagi kau menyakitiku..
Aku tak mau hal itu terjadi lagi..

Karena itulah..
Sepertinya apa yang kamu tuliskan adalah salah sangka, bang..
:)

INDAHNYA PERSAHABATAN

“Yah, ini ada paket untuk Ayah.”
Aku langsung melipat koran pagi yang sedang kubaca dan menerima paket dari istriku. Kubolak-balik paket tersebut, mencari nama pengirim. Hanya ada nama dan alamatku di bagian depan dan selembar kertas yang ditempel di bagian belakang paket. Sebaris kalimat tertulis di situ, ‘Jangan lupa shalat’ serta dua coretan tanda tangan yang nampak tak asing bagiku. Aku membuka bungkusan paket itu. Dan kulihat di dalamnya terdapat sehelai sarung tenun dan baju koko. Ingatanku langsung melayang ke masa 30 tahun lalu.

Aku berdiri di pintu gubuk reyotku. Menatap Emak dengan pandangan penuh kesal. Sementara Emak asyik menjahit sarung kumalku yang sudah penuh tambalan. Setelah selesai, Emak mengulurkan sarung yang kini sudah bertambah tambalannya itu kepadaku. Aku yang sedari tadi memendam kesal langsung melampiaskannya.
“Ah!” tolakku dan langsung lari keluar rumah. Tak kusadari Emak yang berteriak-teriak memanggil namaku sambil meneteskan air mata.
Aku terus berjalan menjauh dari gubukku. Gubuk yang kutinggali hanya berdua dengan Emak semenjak Bapak meninggal karena sakit lima tahun lalu. Tanpa kusadari, Emak menangis sambil menciumi sarung kumalku. Aku tak menyadarinya karena emosi yang membungkusku. Tanpa kusadari, aku sudah tiba di masjid kampungku. Tampak masjid sudah ramai dengan para jamaah yang hendak shalat Jumat. Aku tidak berani masuk masjid, aku hanya melihat dari serambi utara. Kulihat di saf paling belakang duduklah dua orang sahabatku, Habli dan Ikhsan. Tiba-tiba terbersit rasa iri di hatiku melihat mereka. Orangtua mereka terhitung keluarga yang mampu, berbeda denganku yang berasal dari keluarga miskin. Emak hanya buruh cuci dan setrika.
Penuh amarah aku berlari pulang kembali ke gubukku. Kuraih celengan keramik berbentuk ayam yang baru terisi setengah dan kubanting ke lantai tanah gubukku. Koin-koin dan beberapa lembar uang berhamburan. Kupungut semua dan kuhitung jumlahnya yang tak seberapa.
“Kok dipecah celengannya, nak? Katamu itu untuk biaya sekolahmu nanti kalau sudah SMA,” tanya Emak sambil mengelus kepalaku.
“Amir mau beli sarung baru, Mak. Amir malu sama teman-teman, sarung Amir sudah kumal dan penuh tambalan,” jelasku sambil menunduk. Tak kuasa menatap wajah Emak yang dipenuhi gurat keletihan.
Emak menarik napas panjang. Nampak berat beban yang dipanggulnya. Perlahan Emak merogohkan tangannya ke balik kain yang melilit di pinggangnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang. Aku tahu, itu pasti uang hasil Emak memeras keringat.
“Ini tadi Emak dapat rezeki lebih. Ambil, nak,” Emak mengulurkan uangnya kepadaku.
“Tapi ini, kan, uang hasil kerja Emak,” tolakku.
“Nggak apa-apa, sayang. Hari ini Emak dapat lebih dari biasanya, Emak masih ada simpanan, kok. Sudah, kamu pakai saja,” Emak terus mendesakku. Akhirnya kuambil juga uang itu karena memang sebenarnya uangku masih kurang untuk membeli sarung.
“Makasih, Mak. Amir ke pasar dulu,” pamitku pada Emak.

Di pasar aku langsung menuju lapak penjual sarung. Kupilih sarung yang harganya paling murah, sesuai uang yang kupunya.
“Pak, saya beli sarungnya satu.” Baru saja aku hendak menyerahkan uangku, datang dua orang pengemis. Seorang nenek yang dipapah cucunya.
“Cu, tolonglah. Kami sudah dua hari nggak makan,” airmata meleleh di pipinya yang keriput. Kupandangi uang yang tak seberapa jumlahnya di tanganku.
Kuserahkan semua uang logam yang kumiliki kepada pengemis itu.
“Terima kasih, cu. Terima kasih banyak,” penuh keharuan pengemis tua itu berterima kasih kepadaku. Kupandangi uang yang tersisa di tanganku. Aku sadar, sisa uang yang kupunya tak lagi cukup untuk membeli sarung, yang termurah sekalipun.
“Maaf, Pak. Saya nggak jadi beli sarungnya.” Kuletakkan lagi sarung baru itu dengan perasaan berat.
Lesu kulangkahkan kaki kembali pulang ke gubuk. Kulihat Emak sedang menyetrika sarung kumalku. Kuhampiri Emak dan kuserahkan kembali uang yang tadi diberikan kepadaku.
“Mak, ini uang yang tadi Emak kasih ke Amir. Amir nggak jadi beli sarung baru,” kusampirkan di bahu sarung yang baru selesai disetrika Emak lalu kuraih kopiah yang tergantung di gedhek gubuk kami. Aku bersiap menunaikan shalat Ashar.
Dengan langkah mantap aku menuju masjid. Sesampainya di masjid, aku langsung menuju tempat wudhu. Aku tak tahu kalau saat aku sedang berwudhu, Habli dan Ikhsan memperhatikanku. Dan akhirnya aku pun shalat dengan satu-satunya sarung yang aku punya. Selesai shalat aku langsung pulang dan membantu Emak memberi makan seekor kambing peninggalan Bapak.
Beberapa saat sebelum azan Maghrib berkumandang, ada yang mengetuk pintu gubukku. Aku membuka pintu dan kulihat Habli dan Ikhsan berdiri di depan pintu. Kupersilakan mereka masuk.
“Ada apa, Bli, San?”
“Ini buat kamu,” Habli menyerahkan satu bungkusan kepadaku. Aku menerima dengan bingung.
“Apa ini?”
“Buka saja,” jawab Ikhsan.
Begitu kubuka, tampaklah sepasang sarung dan baju koko berwarna biru yang masih baru. Kualitasnya pun bagus. Jauh di atas sarung yang ingin aku beli siang tadi.
“Ini…” aku tak mampu berkata-kata.
“Sebelumnya maaf, Mir. Tadi sore pas kamu wudhu, aku dan Habli perhatiin sarung dan baju koko kamu. Sarung kamu sudah penuh tambalan. Dan baju koko kamu juga warnanya sudah pudar. Makanya kami memberikan kamu sarung baru itu. Dan biar lengkap, sekalian aja kami belikan juga baju koko itu,” jelas Ikhsan.
“Iya, Mir. Selama ini kamu adalah sahabat yang selalu baik ke aku dan Ikhsan. Kami ingin membalas kebaikan kamu. Tadi sore habis shalat Ashar, aku dan Ikhsan patungan beli sarung dan baju koko itu buat kamu,” ujar Habli menambahkan.
Penuh rasa terima kasih aku memeluk dua orang sahabatku itu. Aku malu mengingat sempat terbersit rasa iriku pada mereka berdua. Aku malu, Ya Allah.
“Terima kasih banyak, sahabatku. Kalian benar-benar sahabat yang mengerti aku,” kueratkan pelukanku pada mereka. Mereka membalas dengan tepukan hangat di punggungku.
Diiringi kumandang azan Maghrib yang syahdu, air mataku menetes.
“Eh, sudah Maghrib, tuh. Kita ke masjid bareng, yuk,” ajak Ikhsan.
“Boleh, tuh. Mir, sarung ama baju koko barunya dipakai, ya. Biar kompak kita,” tambah Habli. Aku baru menyadari kalau Ikhsan dan Habli juga memakai baju koko berwarna biru. Hanya beda corak dan modelnya.
“Iya. Sebentar aku ganti baju dulu,” aku bergegas ke kamar untuk ganti baju.
Ternyata di dalam kamar kulihat Emak sedang duduk di dipan. Sepertinya sedang menangis.
“Mak, Emak kenapa nangis?” aku menyentuh pundak beliau perlahan dan duduk di sebelahnya.
“Emak terharu dengan kebaikan sahabat-sahabat kamu, Nak. Kamu patut bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Mereka orang-orang yang bersahabat karena Allah, bukan karena harta. Karena kita ini orang miskin, sementara mereka orang kaya. Selama ini kamu selalu berbuat baik kepada sesama, itu yang membuat mereka senang bersahabat denganmu. Kalau bukan karena kalian sama-sama umat Rasulullah yang begitu memuliakan persaudaraan antar kaum Muslim, mustahil kalian bisa bersahabat dengan tulus seperti sekarang.
Jaga selalu persahabatan kalian. Sahabat yang baik itu susah dicari. Sahabat yang baik itu bukan yang selalu mendukung agar mendapat pujian. Tapi yang berani menegur jika kita berbuat salah,” dengan suara serak menahan tangis, Emak memberi nasihat kepadaku.
Aku kembali meneteskan air mata.
“Iya, Mak. Amir janji akan menjaga persahabatan kami. Amir bersyukur banget dikaruniai Allah sahabat seperti mereka. Ini, mereka ngasih Amir sarung dan baju koko baru. Sekarang Amir dan mereka mau ke masjid dulu, Mak.”
“Iya, Mir. Emak mau nyiapin makanan untuk nanti malam. Selesai shalat ajak mereka makan di sini, ya. Walau sederhana dan apa adanya, tapi kita sudah berniat baik dengan menjamu mereka,” ujar Emak seraya beranjak ke dapur. Begitu Emak keluar dan menutup pintu kamar, aku langsung berganti baju dengan sarung dan baju koko pemberian Ikhsan dan Habli.
Begitu aku keluar dari kamar, kulihat Habli dan Ikhsan sedang duduk di dipan besar di ruang tamu. Mengobrol sambil menungguku.
“Maaf aku lama. Ayo, kita berangkat sekarang,” aku mengajak mereka untuk segera berangkat ke masjid.
“Nah, sekarang kita sudah kompak, nih,” sahut Ikhsan.
“Sudah, mengobrolnya nanti saja. Mak, kami berangkat ke masjid dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Habli pada Emak yang berdiri tak jauh dari kami.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan. Habis shalat kalian ikut makan di sini, ya. Emak masak enak, nih,” undang Emak.
“Oke, Mak. Kami berangkat, ya,” pamit Ikhsan.
Langkah kami berderap cepat seiring malam yang terus semakin pekat. Masjid sudah tampak di depan mata ketika iqamat berkumandang.
“Astaghfirullah, kita belum wudhu! Lari!” satu komando dariku dan akhirnya kami berlari menuju tempat wudhu. Terpaksa kami tertinggal satu rakaat. Ini karena kami kesyikan mengobrol saat di perjalanan.

Selesai shalat kami bergegas pulang ke gubukku. Emak pasti sudah menunggu kami dengan masakannya yang lezat. Kami berjalan dengan saling merangkul bahu. Aku di tengah, Ikhsan di sebelah kananku, dan Habli di sebelah kiriku. Kami saling tertawa dan melempar lelucon. Saat sedang ayik becanda, kami melihat seorang kakek yang nampak kerepotan mendorong gerobak berisi kayu bakar.
“Eh, ayo kota tolong kakek itu! Kasihan, beliau sepertinya kesulitan,” ajakku kepada Ikhsan dan Habli. Mereka langsung membantuku yang lebih dulu menolong kakek tua itu.
Bersama-sama kami bertiga membantu kakek tua. Aku memunguti kayu bakarnya yang berjatuhan. Sementara Ihsan dan Habli membantu mendorong gerobak. Kami membantu kakek tua itu sampai di rumahnya. Saat kami tiba di rumah kakek tua itu, hari sudah genap malam. Kami pun bersiap pamit.
“Kek, kami permisi pulang dulu karena sudah malam,” pamitku.
“Terima kasih sekali kalian sudah menolong kakek. Kalian semua memang anak yang baik,” ujar kakek itu.
“Sebenarnya yang punya inisiatif membantu adalah Amir, kek. Dia memang orang yang baik hati dan suka menolong sesame,” ujar Ikhsan sambil menunjukku.
“Terima kasih banyak, nak Amir. Semoga kamu bisa jadi orang yang sukses nantinya.”
“Amin. Terima kasih, kek. Ya sudah, kami pamit dulu, kek. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

“Mas, kok ngelamun?”
“Eh…” aku tersadarkan dari lamunanku oleh teguran istriku. Aku berdiri dan melangkah ke arah lemari pajangan lalu meraih satu pigura berisi foto lama. Kupandangi foto lama itu lekat-lekat. Dalam foto itu nampak tiga orang pemuda dalam balutan seragam SMA yang penuh coretan wujud kegembiraan kelulusan.
Hingga saat ini kami bertiga masih bersahabat. Anak-anak kami juga bersahabat. Mereka masuk di sekolah yang sama, bahkan anak-anak kami sekelas sejak kelas 5 SD hingga sekarang kelas 1 SMP. Selepas SMA kami memang melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda, Ikhsan bahkan melanjutkan di Australia. Jauhnya jarak yang memisahkan kami tak pernah mampu meruntuhkan kokohnya persahabatan kami. Kami saling berjanji untuk selalu menjaga indahnya persahabatan kami. Persahabatan karena kami adalah saudara sesama Muslim.



Surabaya, Ja-Tim / 30 Agustus 2010
10:58 pm

MENCINTAI SAUDARA SENDIRI

“Weitz, sumringah banget mukanya Iskan. Bersinar, kayak habis nelan bohlam.”
“Iya, nih. Cengirannya menjijikkan.”
“Kayaknya ada yang bakal traktiran, nih.” Baru saja aku masuk ke ruang kelas, berbagai macam sindiran sudah langsung dilontarkan sahabat-sahabatku.
“Yoi, brothers. Aku lagi bahagia. Tapi aku tak ada niat sedikit pun untuk menraktir kalian,” ujarku sambil mencari-cari tempat duduk strategis. Barisan belakang, lebih bagus kalau bisa dapat di pojokan.
Galih, Abiel, dan Fajar langsung bersiap menyidangku. Masing-masing berperan sebagai hakim, penuntut umum, dan anggota tim sidang. Dan aku sendirian tanpa bantuan pengacara.
“Saudara Sinathrya Iskandar Elian, silakan jelaskan mengapa begitu masuk kelas Anda langsung tersenyum-senyum menjijikan? Padahal mata kuliah saat ini adalah Fisika Dasar-II, mata kuliah yang selalu membuat Anda berniat TA (Titip Absen) dengan sepenuh hati. Bahkan sekarang Anda masuk sepuluh menit sebelum kelas dimulai,” Abiel yang membuka sidang.
“Begini, Saudara Penuntut Umum. Saya sedang bahagia. Ba-ha-gi-a…. Sangat bahagia,” aku kembali tersenyum-senyum sendiri.
“Apa yang membuat Anda bahagia? Jelaskan!” Fajar kembali menuntut.
“Baiklah, akan saya jelaskan. Saya sedang bahagia karena nanti malam saya akan kencan dengan pujaan hati saya,” kali ini cengiranku semakin melebar.
“Mustika?” Ketiganya bertanya bersamaan.
“Tepat sekali, saudara-saudara,” kali ini aku berhasil mengontrol otot-otot wajahku agar ekspresiku tidak menyerupai The Joker, musuh bebuyutan Batman.
Ketiga sahabatku lantas berunding. Membiarkan aku senyum-senyum sendiri, membayangkan kencan nanti malam.
“Saudara Iskan, sebelumnya saya ingin bertanya. Sebenarnya apa status hubungan Anda dan Mustika?” Kali ini Fajar angkat bicara.
“Sebenarnya hubungan kami tidak jelas. Dibilang pacaran, saya belum nembak dia. Dibilang cuma teman, kedekatan kami lebih dari teman. Tapi yang jelas, saya sangat menyayanginya,” jawabku, kali ini tanpa senyum.
“Jadi itu yang menjadi alasan Anda memutuskan hubungan dengan Alyya?” lanjut Fajar.
“Iya. Sejak aku menyadari kalau aku lebih mencintai Mustika, aku putusin Alyya. Aku nggak mau ngejalani cinta segitiga yang sangat menyiksa ini,” kali ini aku tak bisa mengikuti permainan mereka bertiga. Aku menjawab dengan lesu.
Ketiga sahabatku terdiam dan saling berpandangan. Seolah mereka saling memiliki ilmu telepati, sesekali mereka mengangguk, terkadang menggeleng, dahi berkerut. Tapi bibir mereka tak terbuka sedikit pun. Aku jadi bingung sendiri. Baru saja aku ingin bertanya ke mereka, Pak Jaka—dosen Fisika Dasar-II sudah keburu masuk kelas. On-time seperti biasa. Persidangan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Karena hari ini jadwal mata kuliah yang kami berempat ikuti hanya Fisika Dasar-II. Dan hari ini aku berencana langsung pulang ke rumah Setelah kuliah, tidak nongkrong seperti biasa. Mempersiapkan kencan nanti malam.
Sepanjang kuliah, aku tidak terlalu memperhatikan penjelasan Pak Jaka sepenuhnya. Hanya mendengarkan sekilas. Padahal biasanya aku tertidur sejak awal sampai akhir kuliah. Kelas kali ini lebih banyak kuisi dengan semunyi-sembunyi sms-an dengan Mustika. Untung tidak ketahuan Pak Jaka. Dan begitu kelas berakhir, aku langsung cepat-cepat keluar kelas. Sebelum ketiga sahabatku menyadari aku sudah ‘lenyap’. Setengah berlari aku menuju parkiran, untungnya mobilku—Audi R8 merah metalik—kuparkir tak jauh dari pintu keluar. Memudahkanku keluar dari parkiran fakultas yang selalu penuh.

Aku mematut diri di depan cermin setinggi badanku. Sudah hampir 1 jam aku mencoba mencocokkan baju yang akan kupakai kencan nanti. Aku merasa seperti seorang perempuan yang selalu ribet dengan pakaian mereka. Sepertinya aku kualat, karena dulu aku pernah mengejek adik perempuanku yang sibuk mencocokkan baju yang akan dipakainya kencan, setahun yang lalu. Sedang frustasi karena merasa tak ada pakaian yang cocok, Chevy—adikku yang sekarang duduk di kelas 3 SMA—masuk ke kamarku tanpa kusadari. Tanpa banyak bicara, Chevy mengambil sehelai T-Shirt hitam bertuliskan Armor For Sleep dan kemeja biru gelap motif tartan yang tergeletak di pinggir tempat tidurku.
Ekspresi wajahnya datar.
“Loe pakai kaus ini, trus luarnya kemeja ini, ntar lengannya loe gulung sampai bawah siku. Celana jeans hitam loe itu bagus juga. Rambut loe dibikin spike aja. Sepatunya Converse loe yang hitam itu. Parfumnya Glacier Athletic. Good luck for your first date.” Selesai berkata seperti itu, Chevy menyerahkan kaus dan kemeja itu ke tanganku, lalu langsung keluar kamar tanpa pamit. Adik yang ajaib.
“Thank’s, honey. I love you so much!” teriakku sebelum pintu kamarku tertutup rapat.
“You’re welcome, my crazy brother. I love you too although I hate you so much,“ balasnya sambil kembali membuka pintu kamarku lebar-lebar. Dasar setan kecil!
Walau sedikit kesal dengan kata-katanya belakangan, kuturuti saja sarannya. Setengah jam kemudian aku sudah rapi. Seperti sarannya. Cukup santai tapi tidak terlalu formal. Sempat lama kubuang waktu karena mengatur rambut dan mencari sepatuku yang entah kusimpan di mana, untung ketemu. Kulihat jam meja berbentuk bola basket, 15 menit lagi pukul 7 malam. Aku janji menjemput Mustika di tempat kost-nya jam 7. Aku bergegas keluar kamar setelah memastikan semuanya perfect. Dengan iPhone 3GS-ku, aku mengirimi Mustika pesan.

Mus, aQ skrg mw k kost mu. Kmu tggu d dpn y..
To:
Mustika
+6285250495439

Tepat 15 menit kemudian aku tiba di depan kost-nya Mustika. Kulihat dia baru saja keluar dari rumah, aku pun turun dari mobil. Mustika tampak anggun dengan simple dress sebetis motif floral. Kubukakan pintu mobil dan kupersilakan Mustika masuk. Sekilas kulihat Mustika tertunduk dan wajahnya bersemu merah.
“Terima kasih,” ujarnya lirih.
Sepanjang perjalanan menuju café tempat kami akan kencan, kami lebih banyak diam. Sesekali aku melirik ke arah Mustika. Tak habis-habisnya aku mengagumi keanggunannya malam ini. Mustika sendiri lebih sering memandang keluar jendela.
“Ada apa, sih, dari tadi ngeliatin aku terus? Ada yang aneh?” Rupanya Mustika menyadari kalau dari tadi aku memandanginya.
“Oh, itu,” aku tergagap menjawabnya, “kamu terlihat anggun banget malam ini. Cantik. Aku terpesona.”
“Makasih, kamu juga keren banget malam ini. Beda sama biasanya,” balasnya sambil menundukkan kepala.
Mendengar kata-kata itu, rasanya aku ingin terbang sampai ke bulan saking terpesonanya. Demi memecah keheningan, akhirnya aku memutuskan menyalakan CD Player. Langsung terdengar vocal khas Amy Lee yang membawakan lagu Bring Me To Life.

Frozen inside without your touch
Without your love, darling
Only you are the life among the dread

Setengah jam kemudian kami sudah tiba di depan café. Setelah kuparkir mobil tak jauh dari pintu masuk café, kami segera masuk ke café. Di pintu masuk café nampak dua orang karyawan menyambut kami. Setelah kujelaskan bahwa aku sudah memesan meja, salah seorang karyawan langsung mengantar kami ke meja pesananku. Kemudian datanglah waitress menanyakan pesanan kami. Kami memesan satu porsi Cantonese Roast Duck, dua porsi Chicken Cordon Blue, dan satu porsi Fried Hainan Chicken Rice. Untuk minumnya, kami sama-sama pesan Pink Snow Mocktail. Tak lama kemudian pesanan kami tiba.
Sedang asyik-asyiknya makan, iPhone-ku berbunyi. Alyya menelepon, dengan enggan aku menjawab panggilannya.
“Ada apa, Ya?” tanyaku langsung.
“Kamu lagi di mana, Is? Sama siapa?”
“Aku lagi di Chaterbox CafĂ©, sendirian,” jawabku sambil setengah berbisik. Untungnya Mustika tak terlalu memperhatikan.
“Oh, kamu tunggu dulu bentar. Aku mau ke sana sekarang.”
“Eh…” belum sempat aku menjawab, Alyya sudah keburu menutup sambungan. Waduh, bisa gawat kalau Alyya melihat aku kencan dengan Mustika.
Kucoba menghabiskan makananku dengan tenang. Namun tampaknya Mustika memperhatikan sikapku yang terlihat gelisah.
“Ada apa, Is? Kok kayaknya gelisah?”
“Alyya mau ke sini. Dia tadi nelepon aku dan bilang mau nyusul ke sini,” jwabku lirih sambil menunduk. Kulihat Mustika meletakkan sendok dan garpunya.
Ekspresinya tampak sinis. “Mau apa dia ke sini?”
Aku hanya sanggup menggelengkan kepala. Kami menghabiskan sisa makanan dalam suasana tegang. Keromantisan yang sempat menyelimuti kami, kini menguap tanpa bekas. Dan benar, lima belas menit kemudian Alyya tiba. Rumahnya memang terletak tak jauh dari café. Begitu tiba di meja kami, Alyya langsung ngomel-ngomel.
“Ini yang kamu bilang lagi sendiri?! Nih cewek siapa lagi?!” bentaknya sambil menunjuk Mustika.
Mustika langsung berdiri. “Silakan kalian selesaikan masalah kalian. Is, aku pulang dulu. Makasih untuk kencannya. Selamat malam.”
“Apa, kalian kencan?!” Alyya langsung menyambar. Aku tak sempat menahan kepergian Mustika.
“Ya, kamu mau apa lagi?” tanyaku kesal.
“Aku mau kita balikan. Aku masih cinta sama kamu, Is.”
“Maaf, Ya. Aku lebih mencintai Mustika daripada kamu, aku sudah nggak punya perasaan apa-apa ke kamu.”
Sepertinya jawabanku bukan yang diharapkan Alyya. Karena tiba-tiba tangan Alyya melayang ke arah wajahku. Untungnya sempat kutahan. Kutepiskan tangannya keras-keras. Silakan katakan aku kasar pada seorang perempuan. Tapi hei, dia mencoba untuk menamparku di depan umum!
“Kamu jahat, Is! Brengsek!” Hebat, sekarang dia berani mengumpat di tempat umum. Aku tahu, itu untuk menutupi rasa malunya karena tidak berhasil menamparku. Selesai memakiku, Alyya langsung keluar dari cafĂ©
Aku terduduk lemas di kursi. Berantakan sudah kencanku dengan Mustika. Aku memikirkan Mustika yang terpaksa pulang sendiri. Berkali-kali kuhubungi ponselnya, tapi tak pernah diangkat. Gara-gara Alyya, rusak sudah semuanya!

Pagi ini aku sudah di depan tempat kost Mustika. Untungnya hari ini kuliahku masuk siang, jadi aku bisa menyempatkan diri menemui Mustika. Sekarang jam setengah tujuh. Mustika biasanya berangkat jam segini kalau ada kuliah pagi, seperti hari ini. Aku menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian kulihat Mustika keluar dari rumah, aku langsung turun dari mobil dan menunggunya di samping mobil.
“Iskan, kamu ngapain di sini? Nggak kuliah?” tanyanya heran.
Aku tersenyum. “Aku masuk jam 9 nanti. Jadinya sekarang aku bisa ketemu kamu dulu. Aku mau nganterin kamu.”
“Selain mau nganterin aku, ada alasan apa lagi kamu ke sini?” tanyanya sambil menatap mataku lurus.
“Aku mau minta maaf sekalian ngejelasin masalah tadi malam.”
“Tadi malam itu siapa, sih?” tanya Mustika dengan nada tidak suka.
“Alyya. Mantanku.”
Alyya terdiam sejenak. “Jangan-jangan pas dia nelepon, kamu bilang kalau kamu lagi sendiri? Makanya dia marah pas tahu ternyata kita lagi kencan,” tebaknya. Aku menghela napas, aku salah dan kalah.
“Lalu kamu mau jelasin apa lagi ke aku, Is?”
Aku melirik Casio di pergelangan tangan kiriku.
“Sebentar lagi jam tujuh, kamu ada kuliah, kan. Mending sekarang kamu kuantar, sekalian kujelasin di mobil. Dari sini ke kampusmu cuma lima menit naik mobil. Gimana?” tanyaku sambil menunjuk mobilku. Mustika menatapku tajam. Aku tahu jawabannya, aku langsung membuka pintu mobil untuk Mustika. Mustika masuk dengan diam.
Di mobil, aku berusaha menjelaskan masalah semalam ke Mustika.
“Sebelum aku kenal kamu, aku sudah pacaran selama satu bulan dengan Alyya. Dan sejak aku kenal kamu, aku merasa nyaman dekat dengan kamu. Dan lama-lama perasaan nyaman itu berubah menjadi suka, lalu sayang, dan akhirnya cinta. Saat aku sadar aku juga mencintai kamu, aku jadi dilema. Di satu sisi, aku nggak bisa mutusin Alyya gitu aja, saat itu kami sudah pacaran enam bulan lebih. Jelas bukan waktu yang singkat. Tapi aku juga nggak mau terjebak dalam cinta segitiga. Menghianati Alyya, menyakiti kamu, dan menyiksa diriku sendiri. Sampai akhirnya aku benar-benar yakin kalau aku lebih mencintai kamu. Dan seminggu yang lalu aku dan Alyya akhirnya putus. Tapi Alyya sepertinya masih belum bisa menerima kenyataan ini. Dia masih terus meminta aku untuk kembali ke dia. Tapi aku sudah benar-benar nggak bisa. Sekarang yang aku cinta cuma kamu,” jelasku panjang lebar.
Selesai aku menjelaskan masalah semalam, kami tiba di kampus Mustika. Institut Teknologi Dewaruci, jurusan Kelautan. Begitu mobilku berhenti, Mustika langsung membuka pintu dan bersiap keluar. Aku langsung menahan tangannya. Mustika diam saja.
“Kamu kuliah sampai jam berapa?” tanyaku.
“Jam satu siang. Kenapa?”
“Nanti aku jemput kamu. Aku mau ajakin kamu main gokart,” jawabku sambil setengah merayu. Aku tahu, sudah lama Mustika ingin main gokart tapi selalu sibuk dengan kuliah dan organisasi-organisasinya. Mustika tak menjawab, hanya terdiam lalu menarik tangannya. Sebelum pergi, dia masih sempat berterima kasih. Setelah itu aku menuju kampusku, Universitas Nusantara. Menghabiskan waktu di perpustakaan pusat sebelum memulai kuliah daripada pulang dulu ke rumah.

Jam satu siang kurang sepuluh menit aku sudah keluar kelas. Aku langsung menuju lapangan parkir. Lima belas menit kemudian aku sudah sampai di lapangan parkir kampusnya Mustika. Setelah memastikan mobilku aman, aku langsung mencari Mustika ke dalam kampus. Belum lama aku berjalan, di kejauhan aku melihat Mustika sedang berjalan ke arah lapangan parkir. Aku melambai, Mustika membalas lambaianku. Aku mempercepat langkahku dan kuhampiri Mustika.
“Hai, udah lama?” tanya Mustika begitu aku berdiri di hadapannya. Tampaknya dia sudah tidak marah lagi.
“Nggak. Aku juga baru aja sampai. Eh, sebelum main gokart, kita makan siang dulu, yuk!” ajakku. Kebetulan aku sudah kelaparan.
“Boleh. Mau makan di mana?”
“Di cafĂ© yang di tempat main gokart sekalian aja gimana?” usulku sambil berjalan ke lapangan parkir. Mustika tersenyum dan mengangguk.

Setengah jam kemudian kami sudah tiba di GO GO CAR, tempat main gokart favoritku. Kebetulan di dalamnya juga tersedia café. Kami langsung turun dari mobil dan masuk ke café kecil yang langsung menghadap lapangan parkir. Cafénya tidak terlalu besar, bisa dibilang cukup mungil. Karena memang biasanya yang makan di sini hanya orang-orang yang ingin main gokart.
Aku dan Mustika mengambil tempat di pojok belakang, dekat pintu keluar yang langsung menuju area gokart. Sambil menyantap makanan, kami ngobrol-ngobrol santai. Tentang kuliah, dosen, dan kerinduan Mustika kepada keluarganya di Bogor. Setengah jam kemudian kami sudah selesai makan dan menuju area gokart. Aku menghampiri seorang teknisi di sana yang sudah cukup akrab denganku. Karena kebetulan aku sering main di tempat itu dengan Chevy dan para sahabatku. Namanya Aris.
Dari kejauhan kulihat Aris sedang mengobrol santai dengan seorang rekannya. Kupanggil dia dari kejauhan, Aris melambai dan berjalan ke arahku. Kami ngobrol-ngobrol sejenak lalu masuk ke ruang perlengkapan. Aku dan Mustika lantas mengenakan perlengkapan standar keselamatan sebelum main gokart. Sesekali Aris membantu Mustika mengenakan perlengkapannya. Setelah dirasa cukup aman, kami lantas bersiap untuk masuk arena. Mustika tampak bersemangat, aku senang melihatnya.
Berhubung Mustika belum pernah main gokart sebelumnya, jadi Aris memberi pengarahan singkat kepada Mustika. Setelah cukup, aku dan Mustika langsung saling memacu kendaraan masing-masing. Kami mengelilingi sirkuit sebanyak 10 putaran. Saat berhenti di garis finish, posisi Mustika di belakangku. Tapi wajahnya tampak puas dan senang.
“Hai, gimana keadaanmu?” tanyaku pada Mustika. Mustika hanya tersenyum lebar.
Setelah melepas semua peralatan safety, aku mengajak Mustika duduk di taman kecil tepat di smping café.
“Capek?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya yang nampak kemerahan dan berkeringat.
“Lumayan,” jawab Mustika dengan tersenyum manis, “tapi seru.”
“Baguslah kalau kamu senang. Mus, ada hal penting yang mau aku omongin,” nada suaraku berubah menjadi lebih serius. Mustika yang sedang menenggak minuman isotonic langsung menurunkan botolnya dan memandangku tajam.
Batinku bergolak. Jantungku berdetak lebih cepat. Tanganku berkeringat dingin. Aku gugup. Tapi aku tahu pasti. Sekarang atau tidak sama sekali. Perlahan aku mengubah posisi dudukku hingga menatap langsung wajah Mustika. Lalu kugenggam kedua tangannya dengan erat. Mustika terdiam, matanya menyiratkan tanda tanya besar. Perlahan kubuka mulutku.
“Sofia Mustika Aphrodite. Di sini aku akan mengatakan sebuah pengakuan. Bahwa aku, Sinathrya Iskandar Elian, mencintai kamu.”
Mata mungil Mustika kini melebar, mulutnya terbuka sedikit, terkejut.
“Kamu yakin, Is?” matanya menatap langsung ke mataku. Mencoba menilai kejujuranku. Aku mengangguk yakin dan tersenyum. Perlahan kutarik lembut kepalanya ke arahku, kukecup keningnya. Mustika tersentak.
“Is?!” Mustika langsung menarik tangannya.
“Maaf, Mus. Aku benar-benar cinta sama kamu. Aku yakin kamu juga cinta sama aku. Iya, kan?” aku mengulang pernyataanku sambil setengah mendesaknya.
Mustika menundukkan kepala, ekspresinya terlihat bingung dan ragu. Dengan lembut kuangkat dagunya. Aku tersenyum padanya, dan Mustika pun ikut tersenyum.
“Iya, aku juga suka kamu.”
“Apakah kamu menerima aku untuk jadi pacarmu?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada suara dan tatapan penuh harap.
“Is, sebenarnya aku sangat ingin langsung menjawab ‘ya’. Tapi maaf aku nggak bisa,” jawaban Mustika penuh nada penyesalan.
“Kenapa? Kamu nggak yakin sama aku? Kamu masih mikirin Alyya?”
Perlahan Mustika menyentuh pipiku.
“Bukan itu, Iskan. Aku benar-benar sayang sama kamu. Dan aku ingin kamu nggak cuma kenal aku aja, tapi juga keluargaku. Begitu juga aku ingin keluargaku kenal kamu, terutama mamaku. Semenjak papaku meninggal dua tahun lalu, aku cuma punya mama. Aku sayang banget sama mama. Aku ingin mama setuju dengan keputusanku menerima kamu dan merestui hubungan kita.”
“Lalu?” Aku merasa ada yang hilang dari penjelasan Mustika.
“Aku ngajak kamu ketemu mamaku besok. Aku mau kamu dan mamaku saling kenal. Dan nanti mama yang akan memutuskan, apakah sebaiknya aku menerima kamu atau menolak kamu. Kamu bisa terima itu?” Aku tak pernah mendengar Mustika berbicara dengan nada setegas itu. Ada keinginan yang kuat dalam nada suaranya. Tatapannya pun tajam, menusuk tepat ke mataku.
Aku berpikir, ini adalah ide yang bagus. Aku bisa sekalian mengenal keluarga Mustika dan tentunya mengenal Mustika lebih jauh. Aku setuju.
“Aku nggak masalah. Jumat besok kita nggak ada kuliah, aku ketemu mama kamu enaknya kapan dan di mana? Aku, kan, nggak tahu Bogor.”
“Insya Allah nanti malam aku pulang ke Bogor sama sepupuku. Biar aku ngomong dulu ke mama. Paling lambat besok pagi aku kabari kamu kapan dan di mana ketemuannya. Gimana?”
“Oke, gitu juga nggak apa-apa. Tapi kalau bisa tempatnya jangan terlalu jauh masuk Bogor, ya. Ntar aku nyasar lagi,” rajukku. Mustika tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
Saat aku melihat Casio-ku, ternyata sudah pukul empat sore. Aku nggak menyadari lamanya waktu yang aku lewatkan dengan Mustika. Aku pun mengajak Mustika pulang. Dia perlu waktu untuk siap-siap pulang ke Bogor nanti malam.

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya setiap hari Jumat aku bangun jam sembilan karena nggak ada kuliah, sekarang aku bangun jam lima pagi. Bukan mauku. Tapi ada pesan masuk ke iPhone-ku. Setengah kesal dan mengantuk aku mengambilnya di meja lampu di sebelah tempat tidurku. Ternyata dari Mustika. Aku langsung terjaga sepenuhnya.

Iskan, td mLam aQ udH ngomong k mama.
Mama hri ini bs kTmu kamu. Kbtln mama ama aQ mw k sLon jam 11 nTar.
Jd qT kTmu d sLon z y. sLon Rudi Hadisuwarno.
Almt’na d Ekalokasari Plaza lt 1, pas d dpn pr3an Sukasari, gk jauh dr pust kota.
Kl ada apa” d jLan, hbgi aQ aja.
Sender:
Mustika
+6285250495439

Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi di dalam kamarku. Kali ini kusempatkan keramas, dan durasi mandiku yang biasanya cukup lima menit kini mengalami perbaikan menjadi lima belas menit. Selesai mandi aku sempatkan shalat Subuh di sudut kamar, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an dua lembar. Setelah itu aku berdoa, memohon agar dilancarkan rencanaku bertemu dengan calon camer. Semoga semua berjalan lancar. Dan mamanya Mustika merestui hubungan aku dan Mustika. Amin.
Aku berdiri dari sajadah dan melipatnya rapi lalu kuletakkan di atas meja kecil di sudut kamar. Kuletakkan AL-Qur’an di atas sajadah. Lalu aku beranjak ke lemari pakaian dan membukanya lebar-lebar. Aku kembali bingung. Baju apa yang pantas aku kenalkan untuk bertemu dengan mamanya Mustika. Yang jelas saat bertemu dengan calon camer, berikan penampilan yang terbaik. Sesopan mungkin. Dan itu yang akan aku terapkan sekarang. Aku mengambil sehelai kemeja cokelat dengan garis-garis hitam.di bagian belakangnya ada tulisan LUCKY berwarna putih. Kukenakan bersama dengan celana jeans hitam dan Converse hitam.
Kulirik jam dinding di atas meja belajarku. Sudah jam enam. Aku keluar kamar dan menuju dapur. Bunda yang sedang menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Chevy terkejut melihatku yang tidak biasanya sarapan sepagi ini. Karena biasanya kalau tidak ada kuliah, aku bangun jam delapan dan sarapan jam sembilan. Kadang sarapan sekaligus menjadi makan siang.
“Mas, tumben bangun cepat,” sahut Bunda dengan nada penuh keheranan.
“Iya, biasanya Mas Iskan sarapan pas jam makan siang,” celetuk Chevy usil.
“Ada apa tho, Mas?” kali ini Ayah ikut bertanya.
Aku menarik kursi di hadapan Ayah. Meja makan kami hanya terdiri dari 4 kursi, sesuai jumlah anggota keluarga di rumah ini.
“Mas mau ke Bogor, Yah,” jawabku kalem sambil menyendok nasi ke piring.
“Mau ngapain kamu ke Bogor?” tanya Chevy dengan nada heran.
“Mau ketemu mamanya Mustika. Boleh ya, Ayah, Bunda?” izinku dengan wajah memelas.
“Mau ngapain kamu ketemu mamanya Mustika? Mau ngelamar?” tanya Chevy sembarangan.
“Ngawur! Nggak, lah! Mas mau minta izin ke mamanya Mustika, apa boleh Mas pacaran dengan Mustika,” jelasku.
“Maksudnya?” Ayah langsung melipat koran yang sedang dibacanya dan menatapku bingung.
Aku menarik napas panjang. Yah, keluargaku juga harus tahu dengan siapa aku berpacaran. Dan akan berpacaran dengan siapa. Biasanya orangtuaku setuju saja dengan siapa aku berpacaran. Asalkan tidak membawa keburukan bagiku dan orang lain.
“Begini, kemarin mas ‘nembak’ Mustika. Mustika bilang jawabannya terserah mamanya. Mustika nggak mau hubungannya dengan mas nggak direstui. Jadi nanti mas mau ke Bogor untuk nemui mamanya Mustika. Minta izin untuk pacaran sama Mustika. Kalau diizinin, ya Mas dan Mustika pacaran. Kalau nggak diizinin, apa mau dikata,” jelasku panjang lebar.
“Emang Mas ingat jalan ke sana?” tanya bunda. “Terakhir Mas ke sana, kan, semester lalu, itu pun jalannya ditunjukin sama teman SMA Mas yang tinggal di sana.”
“Yah, dikit-dikit. Gimana, boleh ya, Yah, Bun?” izinku lagi dengan nada merajuk.
“Mau berangkat jam berapa? Sama siapa?” tanya Chevy.
“Jam 7. Sendiri. So?” aku memandang Ayah dan Bunda.
Ayah dan Bunda saling melempar pandang. Aku memandang Chevy, tapi yang dipandang justru asyik sarapan.
“Gimana, Bun?” tanya Ayah. Bunda justru bertanya balik ke Ayah.
“Ya sudah. Kalau memang Mas mau ke Bogor, hati-hati. Pulangnya jangan malam-malam,” akhirnya Ayah mengizinkanku untuk pergi ke Bogor.
“Kalau kamu nyasar di Bogor, telepon Tante Fio aja,” tambah Bunda. Tante Fiorettha adalah sepupu Bunda yang tinggal di Bogor.
“Makasih, Yah, Bun,” aku langsung memeluk Ayah dan mengecup kedua pipi Bunda. Saking bahagianya, aku juga mengecup kening Chevy. Akibatnya Chevy mencak-mencak tak karuan.
Penuh semangat aku menghabiskan sarapanku karena memang nggak lama lagi aku harus berangkat. Jam setengah tujuh Chevy pamit berangkat sekolah. Dia berangkat sendiri naik motornya, Honda CBR RR1000 merah. Terkadang juga dia ikut mobil Ayah karena sekolahnya dan kantor Ayah satu arah.
“Moga sukses ya, Mas,” pamitnya sambil mengecup pipiku sekilas. Aneh, dicium nggak mau, tapi maunya mencium.

Jam tujuh kurang lima menit aku naik ke kamar untuk mengambil tas selempang Export-ku yang sudah kuisi dengan ponsel, dompet, dan kado yang nanti akan kuberikan untuk Mustika. Tepat jam tujuh, aku pamit ke Bunda dan Ayah yang belum berangkat kerja karena hari ini Ayah masuk kerja jam delapan. Setelah itu aku langsung berangkat ke Bogor sendirian dengan mobil. Kemarin malam aku bela-belain ke bengkel untuk memastikan mobilku baik-baik saja dibawa untuk perjalanan jauh. Bahan bakar juga sudah terisi penuh. Dan sekarang, saatnya menuju Bogor.

Tiga jam kemudian aku sudah tiba di Bogor. Sekarang saatnya mencari Ekalokasari Plaza yang menurut petunjuk Mustika tempatnya di depan pertigaan Sukasari. Aku mencari-cari papan penunjuk jalan. Mencari papan yang menunjukkan arah ke Sukasari.

Hampir satu jam aku nyasar di tengah kota. Untungnya nggak lama kenudian aku tiba di Ekalokasari Plaza. Aku langsung memarkir mobilku di basement lalu naik ke lantai satu. Mencari Salon Rudi Hadisuwarno. Tepat jam dua belas, aku tiba di salon. Semoga saja Mustika dan mamanya belum pulang dari salon. Karena biasanya bunda dan Chevy kalau ke salon bisa hampir dua jam. Sebelumnya di jalan tadi aku sudah mengirim pesan ke Mustika kalau aku nyasar, jadinya aku datang terlambat. Dan Mustika sudah mengerti itu.
Perlahan kubuka salon yang tampak tidak begitu ramai. Kulihat Mustika sedang asyik membaca majalah di sofa yang terletak di lobi salon. Kupanggil namanya perlahan, ia mendongak dan tersenyum menatapku.
“Maaf ya aku telat banget. Aku tadi sempat nyasar,” ujarku begitu duduk di sebelahnya dan langsung menyerahkan kado yang sudah kusiapkan.
“Wah, makasih. Nggak apa-apa, kok. Kebetulan aku sama mamaku juga baru aja selesai. Mama lagi bayar. Eh, bentar aku ke toilet dulu. Sekalian aku panggilin mama,” Mustika beranjak berdiri dan masuk kembali ke salon. Aku mengangguk dan tersenyum.
Kuambil salah satu majalah yang tergeletak di meja di depanku. Kubuka-buka sekadar untuk mengisi kekosongan. Tanpa kusadari, ada seorang ibu yang duduk di pinggir sofa yang kududuki. Aku merasa ibu itu memandangiku. Aku semakin menunduk. Mungkin aku terlihat seperti cowok yang lagi menunggu pacarnya, atau anak yang lagi menunggu mamanya.
Tiba-tiba ibu itu memanggil namaku dengan ragu. “Mas Elian, bukan?” Elian adalah nama panggilanku oleh keluarga besarku.
Aku langsung menoleh ke ibu itu. “Tante Fio!” Aku langsung mencium tangan beliau. Aku lumayan dekat dengan beliau karena beliau sering main ke Jakarta.
“Mas Iskan ngapain di sini? Nunggu pacarnya, ya?” goda Tante Fio. Aku hanya tersenyum malu. Aku mengoreksi dalam hati, calon pacar.
“Tante ke sini sama siapa? Om Prama?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Sama anak tante. Odiet. Kemarin dia baru pulang dari Jakarta.”
“Odiet yang kata tante seumuran sama Iskan?” aku memastikan. Odiet adalah anak sulung Tante Fio. Tapi setiap Tante Fio ke Jakarta, Odiet nggak pernah mau ikut. Makanya aku nggak pernah tahu seperti apa Odiet.
“Iya. Kalian, kan, nggak pernah ketemu. Kebetulan kamu di sini, Odiet juga di sini. Sekalian nanti tante kenalin. Masa’ saudara nggak saling kenal,” jelas Tante Fio panjang lebar. Aku tersenyum dan mengangguk.
Belum lama aku dan Tante Fio mengobrol, Mustika kembali. Tapi yang membuatku terkejut, dia merangkul Tante Fio.
“Mama. Lho, Mama udah kenal sama Iskan?” Mustika bertanya dengan heran. Dia duduk di antara aku dan Tante Fio.
“Mama?” aku bertanya heran.
“Elian, ini anak tante. Odiet. Diet, ini Elian, anak Tante Amorita yang di Jakarta itu, ” jelas Tante Fiorettha. Aku baru menyadari, nama Odiet diambil dari nama Aphrodite.
“Nggak mungkin! Mama apa-apaan, sih?” Mustika langsung mengubah posisi duduknya menghadap Tante Fio.
Dengan sabar Tante Fio mengelus rambut Mustika.
“Mbak Odiet, Mas Elian ini anaknya Tante Amorita. Tante Amorita itu sepupu mama. Selama ini kalau mama ajak ke Jakarta, kamu nggak pernah mau. Jadinya kamu dan Mas Elian nggak pernah ketemu. Padahal kalian, kan, masih saudara,” jelas Tante Fio. Aku yang tak percaya mendengar penjelasan Tante Fio hanya terdiam dan menunduk.
“Odiet nggak percaya,” Mustika langsung berdiri dan hendak keluar. Aku langsung berdiri dan menarik tangannya.
“Mus, sabar. Tante, saya dan Mustika ngomong di luar bentar, ya,” aku mengajak Mustika untuk berbicara di luar salon.
Aku langsung nenarik tangan Mustika dan mengajaknya keluar salon. Kebetulan tidak jauh dari salon ada lorong kecil menuju toilet umum. Kami berbicara di sana. Aku tak bisa menerima fakta kalau ternyata Mustika adalah Odiet, saudaraku sendiri yang selama ini belum pernah kutemui. Baru kemarin aku menyatakan perasaanku kepadanya. Dan hari ini aku berharap hubungan kami akan direstui mamanya Mustika. Ternyata kenyataan yang ada terlalu menyakitkan untuk bisa kuterima.
“Aku nggak bisa percaya ini, Is,” Mustika terisak dalam pelukanku.
“Aku juga nggak percaya, Mus. Tapi memang inilah faktanya. Kita ini masih ada hubungan saudara. Kita nggak mungkin memaksa untuk pacaran.”
“Tapi aku cinta banget sama kamu. kalau kita ini saudara, kita nggak bisa pacaran. Dan itu bikin aku tersiksa, Is,” Mustika semakin terisak. Aku memeluknya semakin erat.
Mustika, akupun tersiksa dengan kenyataan ini. Mengakui kita saudara, berarti membunuh harapan dari penyatuan perasaan cinta yang begitu besar antara kita. Tapi kita juga tidak mungkin tak mengakui kenyataan yang ada. Betapa tersiksanya batinku hingga aku tak bisa menyuarakan apa yang ada di hatiku.
“Mustika, ini memang berat. Tapi akan lebih berat lagi kalau kita memutuskan untuk pacaran. Tolong kamu dengar aku sekali ini saja. Aku janji akan tetap sayang sama kamu, mencintaimu sepenuh hatiku. Walau kita nggak mungkin pacaran. Biarkan perasaan ini cuma kita berdua yang tahu.” Aku mengangkat wajah Mustika yang sudah bersimbah air mata. Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya dan kukecup keningnya. Kueratkan pelukanku padanya.
Kenyataan ini terlalu sakit untuk aku dan Mustika tanggung. Tapi mungkin memang ini jalan yang terbaik. Kami mengetahuinya sebelum kami terlanjur berpacaran. Mungkin jika kami mengetahuinya setelah kami berpacaran, kami akan merasa lebih sakit hati lagi. akan sulit bagiku dan terutama Mustika untuk mengobati rasa sakit ini. Tapi aku yakin, waktu akan mengobati luka ini. Cepat atau lambat. Tapi waktu tak akan pernah mampu menghilangkan rasa cintaku yang sudah terlanjur dalam kepada Mustika.



Bontang, Kal-Tim / 12 Agustus 2010
10:41 pm

KATA CINTA YANG TAK PERNAH TERUCAP

“Selamat siang, Pak!”
“Selamat siang, anak-anak!” Selesai aku membalas salam, 32 orang murid-murid kelas XI-Science 2 yang baru saja selesai kuajar pelajaran Matematika langsung menuju pintu kelas. Kebetulan giliranku mengajar pada jam terakhir di hari Rabu ini. Kuperhatikan tingkah murid-muridku yang saling berebut keluar dari kelas. Kegeleng-gelengkan kepala dan tersenyum kecil. Kubereskan buku ajarku dan bersiap meninggalkan ruang kelas.
Mendadak kudengar satu suara memanggilku dari ruang kelas.
“Galih? Kamu benar Galih, kan?” Seorang perempuan yang nampaknya sebaya denganku berjalan mendekatiku.
“Iya, saya Galih. Anda siapa ya?” Kuperhatikan sosok itu lekat-lekat. Wajahnya nampak tak asing bagiku. Tapi bukan juga sosok yang sepertinya kukenal beberapa tahun belakangan ini.
“Aku Kinanthi. Kita dulu sekelas terus selama di SMA. Kamu lupa?” jawabnya. Astaga, Kinanthi! Sekarang aku ingat siapa dia.
“Kinan? Yang dulu kita bertiga selalu bareng, sama Yudith juga? Gimana kabarmu dan Yudith sekarang?” Senyum yang sempat tersungging di bibir Kinanthi sontak menghilang begitu mendengar nama Yudith kusebut. Berganti mendung yang begitu tebal yang menggayuti wajahnya.
Keheningan yang mencekam di ruang kelas terasa erat menekan kami. Dan aku bisa merasakan adanya hal buruk yang terjadi. Tapi apa?
“Kinan? Ada apa?” suaraku yang hanya berupa bisikan terasa seperti ledakan yang memecah kesunyian.
“Sebenarnya aku memang sengaja mau ketemu kamu. Aku bahkan sampai ketemu bunda kamu untuk cari tahu di mana kamu tinggal sekarang. Ada yang mau aku kabari tentang Yudith.” Kali ini Kinanthi mulai terisak.
Mengenal Kinanthi sejak sama-sama menjadi murid baru di SMA membuatku sangat memahami karakter Kinanthi. Salah satunya, saat Kinanthi menangis Ia tak membutuhkan pelukan atau tepukan di bahu. Cukup berikan dia waktu untuk mengeluarkan segala bebannya. Dan itu yang kulakukan saat ini. Membiarkannya menghentikan tangisnya sendiri. Jujur saja, saat mendengar Kinanthi menangis aku merasa ada sesuatu yang buruk tengah terjadi pada Yudith.
Setelah beberapa saat, Kinanthi nampaknya mulai tenang. Dihapusnya sisa air mata di pipinya. Perlahan wajahnya diangkat dan menatapku sendu.
“Yudith sakit. Dia sudah 6 bulan ini … koma.”
“Apa?! Koma?!” Aku benar-benar nggak percaya dengan apa yang kudengar dari mulut Kinanthi. Aku langsung terduduk lemas di kursi guru
“Ini nggak mungkin, Kin. Terakhir kali aku ketemu dia, dia baik-baik aja.”
“Kapan terakhir kali kamu ketemu dia, Gal?” tanya Kinanthi dengan dingin.
Aku terdiam. Terakhir aku ketemu Yudith adalah 5 tahun yang lalu. Dan cerita masa lalu pun meluncur dari bibirku.
“Saat kita bertiga sekelas lagi di kelas 2, aku sadar kalau aku jatuh cinta sama Yudith. Dia baik, care, dewasa, agak judes, pintar, cantik. Dan tanpa sadar aku sudah jatuh cinta dengan Yudith.” Kilasan masa lalu hadir saat aku dan Yudith menghabiskan waktu berdua. Sembunyi-sembunyi dari Kinanthi yang pasti ingin ikut ke manapun kami berdua. Kinanthi selalu ngotot bahwa kami harus selalu bertiga.
“Aku nggak pernah sangggup mengutarakan apa yang aku rasakan ke Yudith. Aku sangat menghargai persahabatan kita bertiga. Aku sayang sama Yudith. Aku ingin selalu bersama dia, ketawa bersamanya, ada di sisinya. Aku nggak ingin kehilangan dia. Aku takut kalau seandainya aku sampaikan perasaanku, dia akan menjauh. Aku nggak akan sanggup menghadapi hal itu. Makanya aku memilih untuk diam dan memendam perasaanku. Walaupun aku bisa merasakan, Yudith pun sebenarnya punya perasaan yang sama denganku.”
Aku terdiam sejenak. Mencoba merasakan lagi perasaan indah yang dulu pernah kurasakan. Kutarik napas panjang dan kubenahi posisi dudukku. Kinanthi bersandar pada meja guru di hadapanku.
“Aku terus memendam perasaanku bahkan hingga kita lanjut ke kelas 3. Aku menghargai persahabatan kita. Aku nggak pernah dengan sengaja saat kita lagi bertiga, aku show-off perasaanku ke Yudith. Walau sebenarnya batinku tersiksa karena harus memendam perasaan sukaku. Tapi bisa ada di dekat dia, melihat dia bahagia, mendengar tawanya. Buatku itu sudah lebih dari cukup. Aku menyukainya, dan aku hanya ingin melihat dia bahagia.” Aku tersenyum mengingat masa lalu. Kulihat Kinanthi memalingkan wajahnya.
“Tapi akhirnya aku nggak tahan juga. Sepulang dari pengumuman kelulusan di sekolah, kami ke danau dekat sekolah. Di situ aku ungkapkan semua yang aku pendam selama 2 tahun. Aku bilang ke dia kalau aku cinta sama dia dan aku ingin menjadi pacarnya. Aku juga jelasin ke dia kalau nggak lama lagi aku harus pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di sana.
Aku beri dia waktu seminggu untuk memikirkan pernyataanku. Kalau memang dia menerima perasaanku, seminggu lagi kami ketemu di danau itu lagi. Kuperhatikan, wajah Yudith nampak pucat dan bingung. Aku nggak ngerti apa yang sedang dia rasakan. Dia nggak mau cerita ke aku walau udah kudesak. Akhirnya Yudith kuantar pulang.”
Kali ini aku menundukkan wajah. Sempat kulihat mata Kinanthi berkaca-kaca. Rasanya berat melanjutkan kisahku. Karena Yudith tak pernah menemuiku lagi sejak terakhir kami bertemu saat aku menyampaikan perasaanku. Saat itu waktu seminggu yang aku berikan ke Yudith pun tiba. Sejak pagi hingga malam aku menunggunya di danau. Tak hanya hari itu. Selama dua minggu aku terus menunggunya di danau sejak pagi hingga malam. Tapi Yudith tak pernah datang. Tidak sejenak pun. Aku pun tahu, Yudith menolakku. Tanpa pernah kutahu alasannya. Dua minggu kemudian aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah tanpa pamit ke siapapun. Tidak ke Yudith, tidak pula ke Kinanthi. Aku terlanjur patah hati dan kecewa.
Masa-masa kuliah yang berat mampu mengalihkan pikiranku dari Yudith. Sejak saat itu juga aku berusaha melupakan Yudith. Kami tak pernah sekalipun berkomunikasi. Begitu juga aku dan Kinanthi. Hingga tadi saat Kinanthi datang ke sekolah tempat aku mengajar. Itu pertemuan kami setelah 5 tahun berpisah.
“Gal…. Aku ke sini sengaja jemput kamu untuk menjenguk Yudith. Kita ke rumah sakit bareng-bareng, ya,” dengan nada memohon Kinanthi mengajakku menjenguk Yudith.
Aku mengalihkan pandangan menembus jendela kelas, ke arah lapangan parkir yang mulai sepi.
“Kin, sebenarnya aku ingin sekali menjenguk Yudith. Jujur, aku kangen banget sama dia. Tapi maaf, aku nggak bisa,” tolakku dengan nada menyesal.
“Galih! Kamu gila, ya?! Yudith itu koma, dia butuh kamu,” Kinanthi setengah membentakku.
“Kinan, aku sudah punya tunangan. Sudah setahun kami tunangan. Aku sudah janji dengan tunanganku untuk menutup masa laluku,” jawabku sambil menunjukkan cincin tunangan di jari manis kiriku.
Tiba-tiba Kinanthi berdiri tegak di hadapanku dan menggebrak meja.
“Gal, Yudith koma udah 6 bulan! Sejak awal dia koma dia selalu manggil nama kamu. Cuma kamu yang bisa bikin keadaannya membaik. Terserah kamu udah tunangan dengan siapapun. Aku nggak minta kamu untuk kembali ke Yudith. Aku cuma minta tolong sama kamu untuk bantu Yudith. Itu aja.
Galih, kita bertiga sahabatan sejak SMA. Aku sayang kamu. Aku sayang Yudith. Aku nggak tahu cara apa lagi yang harus dipakai untuk bikin keadaan Yudith membaik. Kumohon, demi persahabatan kita bertiga. Ayo, kita ke rumah sakit sama-sama. Kali ini kuminta kamu memandangnya sebagai sahabat lama yang butuh bantuan. Bukan seseorang di masa lalumu yang pernah kamu cintai,” Kinanthi kembali meneteskan air mata dan memohon. Sejujurnya aku pun tak tega mendengar cerita Kinanthi bahwa Yudith selalu memanggil namaku dalam komanya. Mungkin itu makna mengapa tadi malam aku bermimpi Yudith memanggil-manggilku dari dalam kegelapan di kejauhan.
Seandainya 2 tahun lalu aku tak mengenal Zenilda, mungkin sekarang aku tak bertunangan dengannya. Perjumpaan pertama kami saat reuni akbar SMP kami. Karena ternyata kami satu almamater, hanya saja dia 4 angkatan di bawahku. Zenilda sangat dewasa, pengertian padaku. Aku telah banyak bercerita tentang Yudith pada Zenilda. Dia bisa membuatku percaya untuk membuka lagi hatiku yang sudah kututup rapat dari yang namanya cinta. Aku sangat mencintai Zenilda dan Zenilda pun sangat mencintaiku. Bahkan kami sudah merencanakan untuk menikah tahun depan.
Namun mendengar Yudith dalam keadaan yang kritis, aku pun iba.
“Aku harus gimana, Kin? Aku juga harus menghormati Zenilda.”
“Coba kamu telepon Zenilda. Dia juga sudah tahu tentang Yudith, kan. Masa’ dia nggak mau bantu Yudith,” usul Kinanthi.
“Kamu yakin, Kin?” tanyaku sangsi. Kinanthi tersenyum dan mengangguk. Kupikir, tak ada salahnya mencoba. Zenilda sudah mengetahui tentang Yudith. Ia pun tahu bahwa saat ini yang kucintai hanya dirinya. Zenilda wanita yang penuh pengertian, tak mungkin Zenilda melarangku menjenguk Yudith.
Akhirnya kukeluarkan ponselku dari saku celana. Kuhubungi Zenilda, kuceritakan semua yang terjadi pada Yudith. Dari ujung sana terdengar Zenilda menahan isakannya. Zenilda berjanji untuk segera datang ke sekolah. Sambil menunggu Zenilda datang, kuminta Kinanthi menunggu di taman. Sebentar lagi cleaning service sekolah akan membersihkan setiap kelas dan mengunci kelas. Sementara aku kembali ke ruang guru untuk menyimpan buku-buku ajarku dan bersiap-siap pulang. Sepuluh menit kemudian aku sudah menyusul Kinanthi dengan tas kerjaku tersandang di bahu.
Lima menit kemudian Zenilda tiba. Kukenalkan dia ke Kinanthi, begitu juga sebaliknya. Kali ini Kinanthi yang menjelaskan keadaan Yudith. Kinanthi juga meminta izin Zenilda agar aku boleh menjenguk Yudith.
“Gimana, dik? Mas boleh jenguk Yudith?” Tanyaku langsung ke Zenilda.
“Silakan kalau mas mau jenguk Mbak Yudith. Mbak Yudith butuh mas,” untungnya Zenilda mengizinkan.
“Zen, kalau kamu mau kamu boleh ikut kami ke rumah sakit. Kebetulan aku bawa mobil,” tawar Kinanthi.
“Nggak usah, mbak. Saya percaya sama Mas Galih. Mbak Yudith, kan, sahabatnya Mas Galih. Ada Mbak Kinanthi juga. Dengar keadaan Mbak Yudith dari Mbak Kinanthi, saya jadi iba. Sebenarnya saya juga ingin jenguk Mbak Yudith, tapi saya pikir waktunya belum tepat. Biar sekarang Mas Galih aja dulu yang jenguk Mbak Yudith. Kalau keadaan Mbak Yudith udah baikan, Insya Allah saya akan jenguk Mbak Yudith.” Keikhlasan Zenilda membuatku terharu dan semakin yakin untuk menjadikannya istri.
Kembali kupandangi Zenilda meminta kepastiannya. Ia tersenyum dan mengangguk yakin.
“Berangkatlah, mas. Mbak Yudith udah lama nunggu kamu,” ujarnya. Kupeluk Zenilda erat-erat. Aku bisa merasakan keyakinan dan keikhlasannya mengizinkanku pergi menemui seseorang yang pernah kucintai. Zenilda pun mencium tanganku, kukecup keningnya. Lalu aku dan Kinanthi pamitan ke Zenilda untuk menjenguk Yudith.
“Kamu beruntung punya tunangan seperti Zenilda. Dia dewasa dan pengertian,” ujar Kinanthi saat kami bersama-sama menuju mobilnya di lapangan parkir. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, aku memang sangat bersyukur memiliki calon istri seperti Zenilda.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, aku dan Kinanthi lebih banyak diam. Sesekali kami saling menanyakan masa-masa selepas SMA. Terkadang kami saling mengingat masa lalu. Terkadang tertawa, tapi lebih banyak termenung saat mengenang masa-masa bersama Yudith. Dan empat puluh lima menit kemudian kami tiba di rumah sakit tempat Yudith dirawat. Setelah memarkir mobil, kami langsung menuju ICU Room tempat Yudith dirawat. Di depan kamar kulihat ayah Yudith tengah duduk di kursi pengunjung. Merenung sendirian.
Ayah Yudith, Pak Usman adalah sosok laki-laki yang bersahaja, berwibawa, dan ramah. Semasa SMA dulu aku sering berkunjung ke rumah beliau. Terkadang untuk menemui Yudith, terkadang memang sengaja menemui beliau untuk mengobrol banyak hal. Pak Usman adalah sosok yang tegar, dan ketegaran itu sangat nampak di wajah dan pancaran matanya saat aku menghampiri beliau.
“Pak,” panggilku. Saking dekatnya kami, aku pun memanggil beliau Bapak. Bapak mengangkat wajah dan sejenak memandang wajahku dengan bingung. Sesaat kemudian wajah tuanya tampak terkejut. Beliau langsung berdiri.
“Kamu Galih?” Aku mengangguk sambil tersenyum haru. Mata tua Bapak langsung berkaca-kaca, beliau kemudian memelukku.
Menjadi seorang ayah bagi 3 orang anak perempuan, membuatnya begitu merindukan seorang anak laki-laki. Dan aku yang kebetulan dekat dengan keluarga beliau pun akhirnya dianggap anak sendiri. Bapak mengajakku duduk di kursi kosong di sebelahnya. Kinanthi duduk di sebelahku.
“Bagaimana kabar orangtuamu, nak?”
“Alhamdulillah, ayah dan bunda kabarnya baik. Bagaimana kabar bapak dan ibu?” tanyaku berbasa-basi.
“Yah, beginilah keadaan kami. Ibumu lagi di dalam, menunggui Yudith.”
“Maaf, Pak. Selama ini saya nggak pernah lagi main ke rumah. Sudah lama juga nggak tahu kabar keluarga bapak. Sebenarnya bagaimana ceritanya Yudith bisa sampai koma?” tanyaku hati-hati.
Selasar ICU Room yang sepi dan menebarkan aroma kesakitan terasa semakin mengurung kami bertiga dalam kehampaan. Tanpa sadar aku memeluk kedua lenganku erat. Kinanthi pun tampak tak nyaman dalam duduknya. Bapak menundukkan kepala dalam-dalam.
“Kejadiannya sekitar 6 bulan lalu. Saat itu Yudith akan menjemput Neva (anak kedua bapak) ke sekolah. Di tengah perjalanan, Yudith tertabrak truk dari arah yang berlawanan. Kepalanya terbentur aspal cukup keras dan kaki kanannya terlindas roda truk. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kaki kanan Yudith karena memang kondisinya sudah parah. Selain itu ternyata ada luka dalam pada otaknya. Saat sadar dan mengetahui kaki kanannya diamputasi, Yudith schok berat. Dokter bilang ada kelenjar syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi. Ada pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan yang naik drastis. Akibatnya Yudith koma sampai saat ini.” Bapak mengusap air mata yang menetes di pipinya.
Astaghfirullah! Aku tak menyangka keadaan Yudith separah itu. Tanpa kusadari pipiku basah oleh air mata. Kinanthi menahan isakannya, kugenggam jemarinya untuk menguatkan.
“Setiap malam bapak selalu shalat tahajjud, shalat lail, shalat sunnah pun nggak ketinggalan. Bapak selalu berdoa agar keadaan Yudith membaik. Paling tidak dia bisa merespon rangsangan dari luar. Karena sampai sekarang dokter bilang kalau Yudith tidak bisa merespon rangsangan apapun dari luar. Tapi akhirnya seminggu yang lalu Allah menjawab doa bapak. Awalnya bapak mimpi ngobrol dengan Yudith di halaman belakang rumah seperti biasa. Yudith cerita kalau dia kangen dan masih menyimpan rasa bersalah sama kamu, Gal. Dia ingin sekali ketemu kamu. Besok paginya, Yudith mulai menyebut-nyebut nama kamu dalam keadaan tidak sadarnya. Dia juga mulai meneteskan air mata saat ibu atau bapak mengaji di dekatnya.
Bapak tahu kalau kamu, Yudith, dan Kinanthi adalah sahabat. Awalnya bapak berusaha menghubungi kamu. Tapi bapak kehilangan catatan alamat dan nomor telepon orangtua kamu. Akhirnya bapak minta tolong Kinanthi untuk mencari kamu. Alhamdulillah ketemu. Bapak minta tolong banget sama Galih untuk bantu bapak nyembuhin Yudith,” bapak memohon kepadaku sambil menggenggam erat tanganku.
Yudith, cinta pertamaku. Bahkan sampai saat ini pun dia menempati ruang tersendiri di sudut kecil dalam hatiku. Tanpa mengganggu rasa cintaku ke Zenilda. Bapak dan Ibu yang sudah kuanggap orangtuaku setelah Ayah dan Bundaku. Neva dan Novstantia adik-adik Yudith yang juga kuanggap adik sendiri. Mereka keluargaku yang kedua. Tegakah aku tak menolong saudaraku sendiri? Menyakiti hati bapak, ibu, dan adik-adikku? Membebani sepanjang sisa umurku jika aku tak berbuat apa-apa?
Perlahan aku berdiri dan memasuki kamar tempat Yudith dirawat. Kukenakan pakaian khusus pengunjung. Kuhampiri ibu yang sedang membisiki sesuatu di telinga Yudith. Kupanggil ibu perlahan, beliau menoleh. Ibu terkejut mendapati aku berdiri di belakangnya.
“Astaghfirullah, Galih anak ibu!” Ibu memelukku dan menangis.
“Kamu ke mana aja, nak? Ibu kangen,” diusapnya wajahku penuh haru. Air mataku menetes lagi. Ibu berbalik mengusap rambut Yudith.
“Mbak, ini ada Mas Galih datang. Mbak Yudith bilang ingin ketemu Mas Galih, kan. Sekarang masnya sudah datang,” samar kudengar bisikan ibu yang memberitahu kedatanganku ke Yudith.
Aku pernah membaca. Saat seseorang dalam kedaan koma, rangsangan dari seseorang yang dekat secara emosional umumnya lebih dapat dirasakan. Kulihat kelopak mata Yudith bergerak-gerak. Dan bibirnya memanggil namaku lirih.
“Galih.” Aku langsung mengambil tempat di sisinya. Kugenggam tangannya dengan lembut.
“Dith, ini aku. Galih. Aku sudah datang. Kemarin kamu datang ke mimpiku, memintaku menemuimu. Sekarang aku sudah ada di sisimu. Aku mohon buka matamu,” bisikku di telinga Yudith. Tak lupa tanganku mengelus-elus rambutnya, sesekali pipinya. Kukecup keningnya saat kudengar dia memanggil namaku dan meneteskan air mata.
Ibu mulai terisak di belakangku. Perlahan kudengar ibu beranjak keluar dari kamar untuk bergabung dengan bapak dan Kinanthi di luar kamar. Ingatanku melayang ke masa dimana aku pertama kali memegang tangannya, dengan perasaan cinta seorang lelaki ke perempuan. Ketika pertama kalinya aku mengecup pipinya, saat aku menyatakan perasaanku kepadanya. Aku tersenyum dan membisiki semua kenangan indah ke telinga Yudith. Berharap Yudith membuka matanya dan tersenyum padaku.
Wajah polosnya yang biasanya selalu terlihat ceria, bahkan saat sedang bersedih sekalipun. Kini tak lagi nampak. Tergantikan dengan bayangan segala rasa sakit dan penderitaan. Pipinya cekung, bibirnya kering. Matanya tertutup rapat, tak lagi memancarkan cahaya seperti dulu. Wajahnya kehilangan cahaya kehidupan. Hanya garis patah-patah di monitor kardiogram yang menunjukkan bahwa jantung Yudith masih berdetak. Samar-samar kulihat sesuatu menggantung di leher Yudith. Seutas kalung. Kutarik keluar. Kukenali kalung dengan rantai putih dan liontin berbentuk bintang itu. Itu adalah kalung yang kuberikan saat aku menyatakan perasaanku padanya.
Kutopangkan wajahku ke tangan Yudith yang kugenggam erat. Berpikir, apa maksudnya Yudith mengenakan kalung itu. Karena saat menyatakan perasaanku dulu, yang sesungguhnya kuminta adalah Yudith mengenakan kalung itu jika ia datang membalas perasaanku. Yudith ternyata tidak pernah datang, tapi mengapa Yudith mengenakan kalung dariku? Sayup-sayup kudengar Yudith berbisik.
“Galih, maafin aku. Aku juga cinta sama kamu. Aku kangen sama kamu.” Selesai berkata seperti itu, air mata yang menetes dari matanya semakin deras.
Kutepuk pipinya pelan dan kupanggil namanya. Genggaman tanganku semakin mengerat. Entah mengapa, aku merasa saat-saat kepergiannya akan segera tiba. Aku tak rela melepasnya. Dan saat itu benar-benar tiba. Tangan Yudith terlepas dari genggaman tanganku. Kudengar Yudith menghembuskan napas terakhirnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Monitor kardiogram menunjukkan garis lurus. Sejenak aku terpaku. Sedetik kemudian aku meneriakkan nama Yudith. Bapak, ibu, dan Kinanthi langsung menyerbu masuk kamar. Mendapatiku sedang mengguncang-guncang tubuh Yudith. Memintanya membuka mata dan kembali padaku. Ibu berteriak histeris, bapak memanggil dokter, Kinanthi memeluk tubuh Yudith yang tak lagi bernyawa. Dan aku terduduk lemas bersandar pada dinding, menangis.

Aku masih terdiam memandangi gundukan tanah merah basah di hadapanku. Di hadapanku ibu berada dalam pelukan bapak, memanggil nama Yudith. Ayah merangkulkan tangannya di bahu bapak. Bunda meneteskan air mata. Kinanthi mengusap nisan yang bertuliskan nama Yudith dengan air mata yang tak henti menetes. Zenilda menangis dalam diam, kurangkul bahunya. Pemakaman sudah sepi, para pelayat sudah pulang. Hanya tinggal kami bertujuh. Kepergian Yudith menyisakan kehampaan menyesakkan. Yudith pergi tanpa sempat membuka matanya.
Masih kuingat beberapa saat lalu ketika kami masih di rumah keluarga Yudith sebelum pemakaman. Ibu mengajakku dan Kinanthi ke kamar Yudith. Kamarnya rapi. Di meja lampu tidur kulihat beberapa pigura. Ada foto Yudith, aku, dan Kinanthi ketika SMA. Foto Yudith sendiri. Dan foto Yudith berada dalam pelukanku. Aku memalingkan wajah. Rindu itu hadir lagi, sangat menyesakkan karena kami tak mungkin bertemu lagi.
Ibu menuntunku dan Kinanthi duduk di pinggir tempat tidur Yudith. Diusapnya air matanya dengan ujung kerudung. Masing-masing tangannya menggenggam tanganku dan Kinanthi.
“Ibu berterimakasih karena kalian sudah nemenin ibu. Kalian sahabat Yudith, sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Sekarang Yudith sudah pergi. Tapi ibu mohon kalian jangan biarin ibu sendiri. Terutama kamu, Galih. Kamu bandel. Kuliah di luar kota nggak pamit ke ibu, Balik ke Surabaya juga nggak ngomong sama ibu,” setengah mengomeliku, ibu tersenyum tipis dalam isak tangisnya. Mau tak mau aku ikut tersenyum mendengarnya.
Kali ini wajah ibu mulai serius. Ibu menghela napas.
“Yudith memang nggak sempat membuka matanya. Tapi ibu yakin, Yudith bisa merasakan bahwa kamu datang, Gal. Mendengar suaramu, merasakan sentuhanmu. Buktinya dia tersenyum saat meninggal,” matanya menerawang. Menatap langit-langit kamar yang penuh ditempeli hiasan glow in the dark berbentuk bintang dan bulan.
“Kin, kamu nggak ingin mengatakan sesuatu?” Ibu membuyarkan lamunan Kinanthi. Sejenak Kinanthi tersentak kaget, lalu terdiam.
“Harus sekarang, bu?” Nada suara Kinanthi terdengar ragu. Ibu mengangguk. Dengan tepukan pelan di bahu kami, ibu melangkah keluar kamar. Meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
Keheningan kamar menyelimuti kami, begitu pula rasa canggung. Untuk melepas kecanggungan aku melihat-lihat isi kamar Yudith. Memperhatikan meja belajarnya yang dihiasi beberapa foto lama. Deretan koleksi buku-bukunya, dan beberapa novel pemberian dariku. Tiba-tiba kurasakan Kinanthi menepuk bahuku. Matanya menatap foto kami bertiga saat pengumuman kelulusan, dengan seragam penuh coretan.
“Ada hal penting yang ingin aku ceritain ke kamu. Tentang kamu, aku, dan Yudith. Tentang persahabatan kita. Dan rasa cinta dalam persahabatan kita.” Kinanthi menundukkan kepala dalam-dalam. Ia beranjak duduk di karpet yang digelar di samping tempat tidur Yudith. Aku mengikutinya.
Karpet yang sekarang kududuki bersama Kinanthi masih sama seperti masa kami SMA dulu. Dulu semasa SMA kami bertiga sering menghabiskan waktu di kamar Yudith. Tak heran orangtua Yudith sampai menganggap kami seperti anak sendiri. Kinanthi menelusurkan jemarinya di karpet, perlahan membuka mulut.
“Gal, sebenarnya beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan aku sempat curhat ke Yudith. Aku curhat kalau sebenarnya aku suka sama kamu,” pernyataan Yudith membuatku tersentak.
“Aku curhatin semua perasaanku ke Yudith. Dan sehari sebelum kecelakaan, Yudith cerita kalau kamu nembak dia sepulang dari pengumuman kelulusan. Demi aku, Yudith milih untuk ngalah dan nggak datang menemui kamu. Walau sebenarnya dia juga punya perasaan yang sama ke kamu. Saat itu aku menyesal banget. Karena itu berarti aku sudah menyakiti hati dua orang yang aku sayang, dan juga menyakiti perasaanku sendiri. Aku benar-benar minta maaf ke kamu dan Yudith.
Hari itu juga Yudith bilang kalau dia ingin sekali ketemu kamu. Ingin minta maaf dan menyampaikan perasaannya yang sebenarnya ke kamu. Yudith takut kalau dia nggak pernah sempat untuk minta maaf dan menyampaikan perasaannya ke kamu,” penjelasan panjang Kinanthi membuatku termenung.
Aku tak pernah mengerti apa yang ada dalam pikiran wanita. Demi sahabat, mereka rela mengorbankan perasaannya pada orang yang mereka cintai dan mencintai mereka. Padahal itu justru menyakiti lebih banyak hati manusia. Mereka yang saling mencintai, dan sahabat itu sendiri. Tapi yang aku mengerti, mereka hanya ingin membuat orang yang mereka sayang bahagia, walau harus berkorban apapun.
Aku mencintai Yudith. Aku memaafkannya. Walau kata cinta dari Yudith tak pernah diucapkannya langsung kepadaku. Aku tak ingin membebani langkahnya di alam berikutnya bila aku tak memaafkannya. Aku hanya bisa menyimpan harap, seandainya saja saat itu Yudith dan Kinanthi menjelaskan semuanya padaku. Memang benar, tak semua hal bisa kau bagi dengan orang terdekatmu sekalipun. Aku hanya bisa menjalani hidupku saat ini. Menjadi bagian dari keluarga Yudith, sahabat dari Kinanthi, dan calon suami dari Zenilda.



Sangatta, Kal-Tim / 12 Juli 2010
10:30 pm

September 12, 2010

Sedikit Kecewa di Hari Bahagia

Yah.. Sebenarnya aq sedikit sedih juga hari itu..

Abie b'ubah..

Dy sekarang kenal rokok..
Pertama ngliat, aq langsung syok.. Gk nyangka dy jadi gitu..
Kecewa rasanya..
Kalo diitung", dy udah abis hampir 1 pak hari itu.. Lebih daripada bubuhannya yg juga pada ngrokok..

Aq kangen Abie yg dulu..

A Wonderfull Day

A Wonderfull Day..
Asli.. Ini emang hari yg luar biasa banget..!!

Dari tadi sore jam 5an sampe malam ini jam 9an, aq reunian dan halal bihalal ama bubuhan alumni YPPSB angkatan lulusan 2006.
Yah, gk cuma lulusan SMPnya aja sih. Tapi ada juga yg lulusan SDnya.
Well.. Tadi gk terlalu banyak yg datang. Cuma 30an lebih dikit kayaknya yg bisa datang. Jadi rasanya kurang seru..

Oke.. Aq cerita aja deh dari awal. Jadi kalo aq sendiri udah lupa, aq bisa baca" lagi nih catatan.

Sebenarnya acaranya mulainya jam 4 sore di pengumuman wall group.
Dari kemarinnya aq udah nanya" ke Mbak Qie ama Abie. Mereka datang atau gak. Aq malas kalo datang sendiri, jadi nyari teman gitu.. Yah, mereka bilang Insya Allah bisa..

Akhirnya siangnya ngomongin masalah berangkat sama Mbak Qie dan Abie. Dan jadinya aq ke sananya bareng Abie..
Aq senang..!! ^_^
Dan rencananya sebelum ke tempat acara kami ke rumah Mbak Qie dulu..

Jam 3.15 sore aq udah mandi. Setengah 4 Abie sms aq ngajak bareng. Aq balasnya bilang iya.. Trus kutunggu sampe jam 4 lebih, Abie gak datang juga..
Aq sms dy, q suruh cepat jemput, gk dibalas..
Setengah 5 Mbak Qie nelpon. Ternyata Abie udah di sana.. Ternyata sms ku gk ada yg masuk..
Akhirnya ku suruh Abie jemput aq.. Datanglah dy ke rumah, jemput aq. Terus kami ke rumah Mbak Qie..

Di rumah Mbak Qie, kami nunggu Mbak Qie siap" bentar..
Ealah, pas udah mw berangkat kok ya sempatnya motornya Mbak Qie gk bisa nyala.. Mio..
Katanya sih gk pernah diservis. Trus Abie coba nyalain. Lumayan lama juga. Sampe udah ditelpon bubuhannya.
Akhirnya motor berhasil nyala. Kami jalan ke tempatnya Pradigdo dulu. Aq boncengan ama Abie..
Pas sampai di rumahnya Pradigdo, gk taunya dy udah berangkat..
Akhirnya kami ber3 ke Bumi Etam langsung. Tempat acaranya b'langsung..
Pradigdo nunggu kami di halte Bumi Etam. Ternyata dy pun lupa jalan ke tempat acara.. Ealah Gusti..
Akhirnya ber4 bawa motor pelan" dengan modal ingatan alamat Jl. Kenyah 67..
Untungnya di jalan ketemu ama Niko. Kami pun ngikutin dy.
Dan Alhamdulillah berhasil tiba di tempat acara..

Di sana ceweknya cuma 5 kalo gk salah.. Yg banyak cowoknya..
Pertamanya ya cuma ngobrol" biasa. Kan udah lama gk ketemu..

Trus break shalat Maghrib. Trus makan.
Nah, awalnya kan kami ngumpul di lantai atas. B'hubung hujan, makannya pindah ke bawah..
Trus balik lagi ke atas.. Foto"..
Trus Mbak Qie pamit pulang duluan..
Trus katanya ada yg mw nyanyi.. Eh, gk ada yg maju..
Ealah, tiba" gerimis maneh..
Turun lagi kita..
Di bawah pada bingung mw ngapain..
Majulah Andry.. M'posisikan diri sebagai MC.
Bubuhannya disuruh nyanyi gk ada yg mau. Lama gitu pada ngobrol sendiri"..
B'hubung udah jam setengah 9, majulah Panka Gumilang selalu Ketua Panitia. Mw nyanyi dy..
Yah, awalnya dy ngucapin terima kasih ke yg udah datang dan bla bla bla.. Trus dy nyanyi.. Lagunya Jason Mraz, I'm Yours; Nidji, Laskar Pelangi; penggalan lagunya ST 12, PUSPA..

Finally, hampir jam 9.. Panka menutup acara, dan restonya pun juga udah mw tutup..
Trus kami pun bubar..

Di depan resto, yg cewek peluk"an dulu.. Kan pada mw pulang masing"..
Tapi yo masih aja pada mbulet di depan resto.. Motor ama mobil udah pada nyala.. Tapi belum ada yg jalan..
Pada main tunggu"an tuh bubuhannya..
Abie udah standby tuh di motor, aq berdiri di belakangnya.. Trus Abie narik aq ke sebelahnya.. Aq terkejut dan senang.. ^_^
Yah, dy cuma mw ngobrol biasa sih..
Trus Abie nyuruh aq naik.
Joknya kan basah tuh.. Untung aq bawa tisu, jadi aq lap aja.. Tapi Abie langsung turun dari motor dan ambil lap untung ngelap jok..

Yawdah lah akhirnya aq ama Abie jalan duluan.. Bubuhannya padah di belakang.
Kan kami gk enak kalo di depan, jadi Abie pelanin motornya..
Ealah, bubuhannya malah pada godain kami..
Well, Abie is my ex..

Trus kami jalan biasa.. Di jalan aq ama Abie gk saling ngobrol". Aq gk begitu suka ngobrol" kalo lagi di motor..

Awalnya posisi kami jadi di depan dengan nyalip bubuhannya..
Lama" bubuhannya yg pada nyalip dan kami ada di belakang..
Trus Abie jalannya jadi agak cepat.. Kan udah malam juga..

Dan akhirnya tibalah aq di rumah..
Lha kok 2 adikQ yg terakhir pada duduk di kursi teras, trus ibu keluar nyuruh mereka masuk..
Trus ya aq dan Abie basa-basi bentar.. Trus dy pulang deh..

Ya Allah, aq beneran seneng hari ini..
Ketemu dy lagi, bisa bareng dy lagi.. Ngumpul ama bubuhannya..
Pengen hari ini gk berakhir rasanya..