Inilah saat terakhirku melihat kamu...
Jatuh air mataku, menangis pilu…
(Saat Terakhir-ST 12)
Ketenangan di Senin pagi terusik oleh dering telepon yang masuk. Keasyikanku membaca novel Maryamah Karpov harus ditahan dulu.
“Halo, ada apa, Kak?” Sebenarnya yang menelepon adalah Yusuf—sohibku—tapi aku biasa memanggil dia ‘Kakak’ karena dia sudah kuanggap kakak.
“Li, kamu lagi di kampus?” tanya Yusuf.
“Nggak. Kenapa?” aku balik bertanya. Yusuf di seberang sana tidak langsung menjawab, tapi sempat terdiam sejenak.
“Sudah dua kali aku lihat cowokmu ke kampus di hari Senin. Padahal Senin kamu nggak ada kuliah, kan?” Yusuf akhirnya menjawab pertanyaanku diakhiri dengan pertanyaan juga.
Kali ini aku yang terdiam. Ada urusan apa Ikhsan—cowokku—ke kampusku saat aku sedang tidak kuliah? Ikhsan juga tidak pernah cerita kalau dia ke kampusku.
“Lilac!” Ih, Yusuf bikin kaget!
“Rese’ loe! Lagi ngelamun, nih,” protesku.
“Pulsaku jalan terus, nyonya. Eh, ngapain, tuh, cowokmu? Sekarang dia malah lagi di taman kampus,” kata Yusuf.
“Kakak yakin? Kakak sekarang lagi di mana? Bisa ke tempat kostku, nggak? Ceritain semuanya,” pintaku.
“Aku yakin banget. Sekarang masih di kampus, bentar lagi aku masuk ‘coz ada kelas. Ntar pulang kuliah aku ke tempat kostmu. Oke?”
“Oke, deh. Kutunggu. Makasih banget, Kak,” kataku mengakhiri perbincangan.
Selesai menutup telepon dari Yusuf, aku terdiam dan berpikir. Apa benar Ikhsan di kampusku? Untuk apa? Kenapa aku tidak pernah tahu? Terlalu banyak pertanyaan dalam kepalaku. Apapun itu, aku tidak mau berpikir negatif tentang dia.
Tiga jam kemudian Yusuf tiba di tempat kostku. Kami mengobrol di teras. Yusuf dan aku sudah bersahabat selama 2 tahunan sejak kami kelas 2 SMA. Selama itu kami kebetulan selalu sekelas. Tapi sekarang kami berbeda fakultas walau di universitas yang sama. Jadi aku tahu, Yusuf tidak mungkin bohong ke aku. Apalagi dia juga kenal dengan Ikhsan.
Saat itu juga, Yusuf menceritakan semua yang dia lihat. Sudah dua minggu ini—setiap Senin—Yusuf melihat Ikhsan di kampusku. Padahal Ikhsan dan Yusuf sama-sama tahu kalau aku tidak ada kuliah di hari Senin. Biasanya Ikhsan terlihat sedang menunggu seseorang di taman.
“Pernah satu kali aku nanya ke Ikhsan, ‘San, kamu ngapain di sini? Lilac, kan, nggak ada kuliah hari ini.’ Tapi dia jawab, “Nggak, kok. Lilac tadi ada urusan sama dosen, jadi aku antarin dia.’ Gitu jawabnya. Padahal seharian aku nggak ngeliat kamu di kampus,” cerita Yusuf.
“Kamu Senin minggu lalu ke kampus? Atau kamu pernah pas Senin ketemu dosen dan diantar Ikhsan?” tanya Yusuf.
Ya Tuhan, apa Ikhsan bohong ke Yusuf? Bawa namaku? Kenapa? Ya, Tuhan…
“Nggak. Aku paling malas ke kampus pas Senin. Ya Tuhan, ada apa ini?” Erangku sambil memegang kepala yang terasa berat.
“Gimana kalau Senin depan kamu ke kampus aja? Sekalian kamu cari tahu sendiri. Ini urusan kamu sama Ikhsan. Aku cuma bisa kasih tahu hal ini. Selanjutnya terserah kamu,” hiburnya sambil mengusap kepalaku seperti biasa.
Yusuf benar. Aku harus cari tahu sendiri.
“Senin depan temani aku nyelidiki Ikhsan, ya,” pintaku sambil tiba-tiba menoleh ke Yusuf—yang langsung membuatnya kaget.
“Dasar bocah edan! Kaget, nih! Nggak usah kamu minta, aku juga pasti ke kampus. Yah, kutemaninya pas aku lagi jam kosong, ya.” Walaupun awalnya dia bentak aku, dia tetap baik mau menemani aku.
Senin satu minggu kemudian…
Sekarang aku sedang di tempat parkir. Sengaja aku tidak bawa mobilku, tapi pinjam mobil Sasha—teman satu kostku—supaya tidak ketahuan. Di mobil sendirian, aku sangat gugup. Kegugupanku tidak bertahan lama karena dari sebelah kiri kulihat mobil yang kukenal tampak mendekat. Itu mobilnya Ikhsan. Hanya dia yang mobilnya dicat dengan motif langit dan awan-awan kelabu.
Untungnya, dia parkir mobilnya di seberang mobil Sasha yang kubawa. Dia tidak tahu mobil Sasha karena Sasha selalu pas lagi bawa mobilnya saat Ikhsan ke tempat kostku. Begitu turun dari mobil, Ikhsan langsung duduk di bangku tidak jauh dari tempat parkir. Sepertinya dia sedang menunggu seseorang. Tapi siapa? Tidak lama kemudian dia tampak menelepon seseorang. Dan kemudian aku melihat Yusuf sedang jalan ke tempat parkir dan menuju mobil Sasha. Sebelumnya aku sudah memberi tahu Yusuf posisi parkirku dan mobil apa yang aku pakai.
Begitu Yusuf masuk ke mobil dan duduk di kursi penumpang, aku langsung menanyainya tentang Ikhsan.
“Kak, pernah lihat Ikhsan ketemu seseorang di sini?” tanyaku
“Nggak, tuh. Pas sekali aja aku nanya ke dia, pas aku balik lagi dia udah nggak ada,” jawab Yusuf.
“Kakak ada kelas nggak abis ini?” tanyaku.
“Sebenarnya ada. Tapi dosennya lagi nggak masuk, jadi aku cabut aja. Gimana kalau aku temani kamu aja?” tawarnya. Dasar, menghapus perbuatan jelek! Aku hanya mengangguk. Paling tidak, aku tidak menunggu sendirian.
Dari mobil aku melihat Rina—teman satu fakultas sekaligus teman nongkrongku—mengampiri Ikhsan. Awalnya kupikir itu bukan hal yang aneh. Tapi yang membuat aku kaget, mereka cipika-cipiki! Biasanya kalau aku sedang mengobrol dengan Rina dan Ikhsan jemput aku, mereka tidak pernah cipika-cipiki. Mereka ngobrol sebentar setelah itu Rina masuk ke kampus lagi. Oh, mungkin Ikhsan bukan mau ketemu Rina. Sekarang Ikhsan duduk sendiri.
Lagi-lagi aku berpikir, siapa yang ditunggu Ikhsan?
“Li, mending kamu coba telepon Ikhsan,” usul Yusuf akhirnya. Aku segera melaksanakan usul Yusuf. Langsung kutekan angka 2 sebagai speed dials nomornya Ikhsan di ponselku. Tak lama setelah tersambung, Ikhsan segera menjawab. Kutekan option loudspeaker agar Yusuf juga bisa dengar.
“Lagi di mana?” tanyaku langsung sambil mengawasi Ikhsan yang sedang duduk sendiri.
“Lagi di kampus,” lama Ikhsan baru menjawab.
“Kampus kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, lah, kampusku. Ada apa?” elaknya. Sudah jelas bohong, masih mengelak.
Aku memandang bingung ke Yusuf.
“Coba kamu ajak dia jalan,” bisik Yusuf. Aku menuruti saran Yusuf.
“Aduh, sori. Ntar aku ada acara sama anak-anak basket. Udah janjian dari kemarin” tolaknya. Aku terus berusaha membujuk tapi Ikhsan terus menolak. Akhirnya aku menyudahi perbincangan karena bosan mendengar kebohongan Ikhsan.
Setelah itu aku melihat Rina keluar lagi dan duduk di sebelah Ikhsan. Mereka ngobrol-ngobrol dan sesekali Ikhsan mengelus rambut Rina. Apa maksudnya, coba?!
“Li, kok mereka gitu? Kamu nggak curiga?” tanya Yusuf
“Mereka nggak mungkin ada hubungan apa-apa,” jawabku pasti.
Aku sangat menyayangi Ikhsan, dan Ikhsan pasti juga sangat menyayangiku. Apalagi Rina temanku. Kami sering nongkrong bareng. Tidak mungkin Ikhsan dan Rina ada hubungan apa-apa.
“Ya ampun, Li! Kamu lihat sendiri mereka tadi cipika-cipiki. Ikhsan juga bohong ke kamu pas kamu telepon dia. Dia juga ngelus rambut Rina. Apa kamu nggak curiga?” tanya Yusuf lagi.
Yusuf hanya menghela nafas sambil membuang pandang ke arah kirinya.
“Kamu tahu nggak teman-temannya Rina yang nggak kenal aku?” tanya Yusuf tiba-tiba. Kenapa Yusuf tanya seperti itu?
“Aku mau nanya ke teman-temannya tentang hubungan dia ama Ikhsan. Kalau mereka tahu aku temanmu, mereka pasti nggak mau jawab. Kalau mereka nggak kenal aku, paling nggak aku bisa bujuk-bujuk mereka. Gimana?” Usul Yusuf. Yah, boleh juga idenya. Aku setuju.
Kucari-cari teman Rina yang biasa nongkrong dengannya. Kutoleh-toleh kepalaku ke segala arah. Dari jauh, aku melihat 3 cewek dan 1 cowok yang biasa kulihat selalu bersama Rina. Mereka pasti tahu hubungan Ikhsan dan Rina
“Kak, lihat nggak tiga cewek dan satu cowok itu? Aku sering ngeliat mereka nongkrong bareng Rina. Pasti mereka tahu banget tentang Rina,” tunjukku ke arah segerombolan mahasiswa di belakang satu unit mobil berwarna silver.
“Oh, yang itu. Aku tanya ke sana dulu, ya.” Yusuf segera turun dari mobil dan menuju segerombolan mahasiswa yang kumaksud.
Dari jauh kuperhatikan Yusuf berlari kecil mendekati gerombolan temannya Rina. Untung saja di pinggir tempat parkiran terdapat gerombolan pohon yang cukup rapat, jadinya Yusuf bisa terlindung dari pandangan Ikhsan dan Rina. Lama setelah bertanya-bertanya ke gerombolan itu, Yusuf kembali ke mobil.
Begitu berhasil masuk ke mobil tanpa ketahuan Ikhsan atau pun Rina, Yusuf langsung menghembuskan nafas lega.
“Gimana, Kak?” tanyaku langsung.
“Bentar, sayang. Ada minum nggak?” pintanya. Dasar! Kuangsurkan sebotol air mineral yang kebetulan tadi kubeli di kantin. Oh ya, kadang Yusuf memanggilku ‘Sayang’. Tapi itu sama seperti panggilan ‘Kakak’ dari aku buat dia.
Selesai menghabiskan setengah botol air mineral—yang segelnya bahkan belum kubuka,Yusuf memaparkan hasil penyelidikannya.
“Tadi awalnya aku tanya ke mereka, apa kenal Rina dan Lilac? Mereka bilang kenal dan nggak curiga sama sekali. Pas aku nanya apa mereka tahu tentang hubungan Ikhsan—yang jelas-jelas adalah cowok kamu—dan Rina, mereka langsung kayak ngehindar. Pas aku desak, mereka bilang nggak tahu. Tapi dari bahasa tubuh mereka, aku curiga mereka tahu sesuatu. Pas aku tanya lagi apakah Ikhsan dan Rina pacaran, mereka tetap ngelak. Dan dari situ aku tahu banget bahasa tubuh mereka menjawab ‘iya’. Trus tiga cewek itu langsung cabut, ninggalin satu cowok yang langsung kutahan. Pas aku tanya dengan bahasa cowok, dia dengan gamblangnya bilang, iya Ikhsan dan Rina pacaran.
Jujur, Li. Aku kaget banget dengar cowok itu jawab begitu. Aku berharap mereka dengan tegasnya bilang, kalau Ikhsan dan Rina cuma teman biasa. Maaf karena ternyata hal ini yang aku kasih tahu ke kamu.”
Ikhsan dan Rina pacaran? Tanpa berkata apa pun, Yusuf menarikku ke dalam pelukannya. Dibiarkannya aku menumpahkan segala sakit hatiku atas pengkhianatan pacar dan temanku sendiri.
“Sayang, jangan kamu tahan luka kamu. Kamu keluarin aja biar lega,” sambil berkata seperti itu, Yusuf mengusap kepalaku dengan lembut dan membiarkan bajunya basah oleh air mataku.
Setelah mulai tenang, baru aku menguatkan diri untuk melihat ke arah Ikhsan dan Rina. Astaga, mereka ke arah lapangan parkir! Secepat kilat Yusuf keluar mobil dan masuk lagi dari pintu tengah. Sementara aku langsung bergeser ke kursi penumpang dan segera menunduk. Rencananya, Yusuf akan langsung pindah ke kursi sopir setelah Ikhsan menjalankan mobil dan agak jauh dari posisi kami. Karena Yusuf yang akan bawa mobil untuk membuntuti Ikhsan dan Rina. Untung saja Ikhsan dan Rina tidak menyadari kalau kami memata-matai mereka.
Setelah mereka masuk mobil, Ikhsan langsung menjalankan mobilnya. Dan setelah agak jauh tapi masih cukup dekat untuk kami pantau, kami langsung menjalankan rencana kami. Sepanjang jalan ketika kami membuntuti mereka, perasaanku gelisah dan tidak tenang.
“Yang, kamu ngeliat nggak bayangan dari mobilnya Ikhsan?” tunjuk Yusuf ke arah mobil Ikhsan yang berada tepat di depan kami.
Astaga! Apa itu bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan?
“Kok kayak bayangan kepala Rina yang bersandar di bahu Ikhsan, ya?” Pertanyaan Yusuf sama seperti pertanyaan dalam kepalaku.
“Eh, kayaknya Ikhsan juga nyandarin kepalanya di atas kepalanya Rina!” Ugh, Yusuf malah membuat aku jadi panas!
“Aku nggak buta! Kamu nggak usah bikin aku jadi tambah panas, deh!” Entah kenapa, aku jadi emosi ke Yusuf.
Yusuf langsung terdiam dan tampak bersalah.
“Maaf, kak. Aku marah ke mereka,” ujarku.
“Yang, coba kamu telpon Rina. Ajakin dia ketemu atau apa gitu,” usul Yusuf seolah tidak ada kejadian buruk tadi. Aku segera menelepon Rina yang agak lama diangkatnya.
“Halo?” sapa suara Rina di ujung sana.
“Rin, lagi di kampus ya?” tanyaku mengetes.
“Iya, aku lagi di kampus. Ada apa, Li?” tanya Rina.
Kali ini aku baru benar-benar yakin kalau Ikhsan dan Rina ada apa-apa. Kalau tidak, kenapa mereka berdua bohong?
“Rin, aku ke sana, ya? Aku pengen ngobrol-ngobrol sama kamu. Kita, kan, udah lama nggak ngobrol,” pintaku.
“Aduh, sori. Aku habis ini masih ada kelas. Sekarang aja lagi nunggu dosen. Eh, dosenku masuk! Udah dulu, ya. Bye!” Tiba-tiba saja Rina menutup telpon dari aku. Yusuf yang juga mendengar perbincangan aku dan Rina—karena telepon dalam mode loudspeaker—menepuk bahuku perlahan tanda simpati.
Aku terlalu lelah untuk berkomentar apapun. Sekarang aku dan Yusuf terus mengikuti Ikhsan dan Rina dari jarak aman. Tetap terlihat tapi tidak mencurigakan. Dan setelah setengah jam berjalan, Ikhsan membelokkan mobilnya ke arah rumah makan tempat aku dan Ikhsan biasa makan. Begitu turun dari mobil, Ikhsan dan Rina langsung masuk ke rumah makan dan duduk di meja dekat pintu masuk. Yusuf segera memarkir mobil di dekat pintu masuk. Jadi aku dan Yusuf bisa mengawasi Ikhsan dan Rina dari kejauhan. Tapi namanya mengawasi dari jauh, aku tetap tidak bisa bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melihat mereka saling berpegangan tangan.
Yusuf mengusulkan agar aku menelepon Rina lagi. Aku segera melaksanakan usul itu.
“Halo?” Nada suara Rina ketika menjawab telepon dariku terdengar malas.
“Rin, lagi di mana?”
“Lagi di kantin. Tapi kayaknya bentar lagi mau jalan ama anak-anak,” dustanya.
“Eh, aku sekarang udah mandi dan siap-siap mau ke sana. Kamu tunggu bentar, ya. Aku ikut jalan, dong,” pintaku sambil menunggu reaksi Rina. Rina lagi-lagi menolak permintaanku.
“Aku tadi ditelepon Tiani, katanya di kampus ada cowokku,” ujarku lagi.
“Hah, cowok kamu?! Mau apa dia ke kampus? Nggak mungkin,” elak Rina. Karena Rina terus menolak ‘permintaan jalan’ dari aku, aku menyudahi pembicaraan.
Cukup sudah yang kulihat dan kudengar hari ini. Saatnya decision making. Aku turun dari mobil dan menghampiri meja Ikhsan dan Rina diikuti Yusuf.
“Ini yang kalian bilang di kampus?” tanyaku sesinis mungkin. Ikhsan dan Rina yang tak menduga kedatanganku tampak terkejut. Mereka langsung berdiri dan berlomba menjelaskan padaku.
“Yang, aku bisa jelaskan.” Orang bodoh manapun bisa langsung menebak dari kata-kata yang diucapkan Ikhsan bahwa ada sesuatu yang ingin dia tutupi.
“Li, aku dan Ikhsan cuma makan bareng aja. Nggak lebih,” kali ini Rina yang mengelak.
“Kalian berdua pengkhianat! Damn you!” bentakku sambil menampar mereka berdua. Untuk Ikhsan, dua kali tamparan dengan punggung tanganku plus siraman jus mangga yang baru dia minum seperempat gelas. Dan Rina, tamparan plus dorongan di bahu yang membuatnya jatuh tersungkur.
Ikhsan tampak marah, tapi itu sebenarnya masih kurang dari pengkhianatan mereka.
“Aku tahu kamu adalah seorang pengecut. Kamu nggak berani, kan, untuk mutusin aku? Karena itu, sekarang kita putus!” ujarku ke Ikhsan.
“Dan kamu, Rin! Tunggu aja episode baru dalam hidupmu!” Aku bukan sekedar membentak. Tapi aku tahu bahwa karma selalu berlaku. Aku menarik tangan Yusuf dan meninggalkan tempat itu. Cukup sudah untuk hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar