September 14, 2010

KATA CINTA YANG TAK PERNAH TERUCAP

“Selamat siang, Pak!”
“Selamat siang, anak-anak!” Selesai aku membalas salam, 32 orang murid-murid kelas XI-Science 2 yang baru saja selesai kuajar pelajaran Matematika langsung menuju pintu kelas. Kebetulan giliranku mengajar pada jam terakhir di hari Rabu ini. Kuperhatikan tingkah murid-muridku yang saling berebut keluar dari kelas. Kegeleng-gelengkan kepala dan tersenyum kecil. Kubereskan buku ajarku dan bersiap meninggalkan ruang kelas.
Mendadak kudengar satu suara memanggilku dari ruang kelas.
“Galih? Kamu benar Galih, kan?” Seorang perempuan yang nampaknya sebaya denganku berjalan mendekatiku.
“Iya, saya Galih. Anda siapa ya?” Kuperhatikan sosok itu lekat-lekat. Wajahnya nampak tak asing bagiku. Tapi bukan juga sosok yang sepertinya kukenal beberapa tahun belakangan ini.
“Aku Kinanthi. Kita dulu sekelas terus selama di SMA. Kamu lupa?” jawabnya. Astaga, Kinanthi! Sekarang aku ingat siapa dia.
“Kinan? Yang dulu kita bertiga selalu bareng, sama Yudith juga? Gimana kabarmu dan Yudith sekarang?” Senyum yang sempat tersungging di bibir Kinanthi sontak menghilang begitu mendengar nama Yudith kusebut. Berganti mendung yang begitu tebal yang menggayuti wajahnya.
Keheningan yang mencekam di ruang kelas terasa erat menekan kami. Dan aku bisa merasakan adanya hal buruk yang terjadi. Tapi apa?
“Kinan? Ada apa?” suaraku yang hanya berupa bisikan terasa seperti ledakan yang memecah kesunyian.
“Sebenarnya aku memang sengaja mau ketemu kamu. Aku bahkan sampai ketemu bunda kamu untuk cari tahu di mana kamu tinggal sekarang. Ada yang mau aku kabari tentang Yudith.” Kali ini Kinanthi mulai terisak.
Mengenal Kinanthi sejak sama-sama menjadi murid baru di SMA membuatku sangat memahami karakter Kinanthi. Salah satunya, saat Kinanthi menangis Ia tak membutuhkan pelukan atau tepukan di bahu. Cukup berikan dia waktu untuk mengeluarkan segala bebannya. Dan itu yang kulakukan saat ini. Membiarkannya menghentikan tangisnya sendiri. Jujur saja, saat mendengar Kinanthi menangis aku merasa ada sesuatu yang buruk tengah terjadi pada Yudith.
Setelah beberapa saat, Kinanthi nampaknya mulai tenang. Dihapusnya sisa air mata di pipinya. Perlahan wajahnya diangkat dan menatapku sendu.
“Yudith sakit. Dia sudah 6 bulan ini … koma.”
“Apa?! Koma?!” Aku benar-benar nggak percaya dengan apa yang kudengar dari mulut Kinanthi. Aku langsung terduduk lemas di kursi guru
“Ini nggak mungkin, Kin. Terakhir kali aku ketemu dia, dia baik-baik aja.”
“Kapan terakhir kali kamu ketemu dia, Gal?” tanya Kinanthi dengan dingin.
Aku terdiam. Terakhir aku ketemu Yudith adalah 5 tahun yang lalu. Dan cerita masa lalu pun meluncur dari bibirku.
“Saat kita bertiga sekelas lagi di kelas 2, aku sadar kalau aku jatuh cinta sama Yudith. Dia baik, care, dewasa, agak judes, pintar, cantik. Dan tanpa sadar aku sudah jatuh cinta dengan Yudith.” Kilasan masa lalu hadir saat aku dan Yudith menghabiskan waktu berdua. Sembunyi-sembunyi dari Kinanthi yang pasti ingin ikut ke manapun kami berdua. Kinanthi selalu ngotot bahwa kami harus selalu bertiga.
“Aku nggak pernah sangggup mengutarakan apa yang aku rasakan ke Yudith. Aku sangat menghargai persahabatan kita bertiga. Aku sayang sama Yudith. Aku ingin selalu bersama dia, ketawa bersamanya, ada di sisinya. Aku nggak ingin kehilangan dia. Aku takut kalau seandainya aku sampaikan perasaanku, dia akan menjauh. Aku nggak akan sanggup menghadapi hal itu. Makanya aku memilih untuk diam dan memendam perasaanku. Walaupun aku bisa merasakan, Yudith pun sebenarnya punya perasaan yang sama denganku.”
Aku terdiam sejenak. Mencoba merasakan lagi perasaan indah yang dulu pernah kurasakan. Kutarik napas panjang dan kubenahi posisi dudukku. Kinanthi bersandar pada meja guru di hadapanku.
“Aku terus memendam perasaanku bahkan hingga kita lanjut ke kelas 3. Aku menghargai persahabatan kita. Aku nggak pernah dengan sengaja saat kita lagi bertiga, aku show-off perasaanku ke Yudith. Walau sebenarnya batinku tersiksa karena harus memendam perasaan sukaku. Tapi bisa ada di dekat dia, melihat dia bahagia, mendengar tawanya. Buatku itu sudah lebih dari cukup. Aku menyukainya, dan aku hanya ingin melihat dia bahagia.” Aku tersenyum mengingat masa lalu. Kulihat Kinanthi memalingkan wajahnya.
“Tapi akhirnya aku nggak tahan juga. Sepulang dari pengumuman kelulusan di sekolah, kami ke danau dekat sekolah. Di situ aku ungkapkan semua yang aku pendam selama 2 tahun. Aku bilang ke dia kalau aku cinta sama dia dan aku ingin menjadi pacarnya. Aku juga jelasin ke dia kalau nggak lama lagi aku harus pindah ke Yogyakarta untuk kuliah di sana.
Aku beri dia waktu seminggu untuk memikirkan pernyataanku. Kalau memang dia menerima perasaanku, seminggu lagi kami ketemu di danau itu lagi. Kuperhatikan, wajah Yudith nampak pucat dan bingung. Aku nggak ngerti apa yang sedang dia rasakan. Dia nggak mau cerita ke aku walau udah kudesak. Akhirnya Yudith kuantar pulang.”
Kali ini aku menundukkan wajah. Sempat kulihat mata Kinanthi berkaca-kaca. Rasanya berat melanjutkan kisahku. Karena Yudith tak pernah menemuiku lagi sejak terakhir kami bertemu saat aku menyampaikan perasaanku. Saat itu waktu seminggu yang aku berikan ke Yudith pun tiba. Sejak pagi hingga malam aku menunggunya di danau. Tak hanya hari itu. Selama dua minggu aku terus menunggunya di danau sejak pagi hingga malam. Tapi Yudith tak pernah datang. Tidak sejenak pun. Aku pun tahu, Yudith menolakku. Tanpa pernah kutahu alasannya. Dua minggu kemudian aku berangkat ke Jakarta untuk kuliah tanpa pamit ke siapapun. Tidak ke Yudith, tidak pula ke Kinanthi. Aku terlanjur patah hati dan kecewa.
Masa-masa kuliah yang berat mampu mengalihkan pikiranku dari Yudith. Sejak saat itu juga aku berusaha melupakan Yudith. Kami tak pernah sekalipun berkomunikasi. Begitu juga aku dan Kinanthi. Hingga tadi saat Kinanthi datang ke sekolah tempat aku mengajar. Itu pertemuan kami setelah 5 tahun berpisah.
“Gal…. Aku ke sini sengaja jemput kamu untuk menjenguk Yudith. Kita ke rumah sakit bareng-bareng, ya,” dengan nada memohon Kinanthi mengajakku menjenguk Yudith.
Aku mengalihkan pandangan menembus jendela kelas, ke arah lapangan parkir yang mulai sepi.
“Kin, sebenarnya aku ingin sekali menjenguk Yudith. Jujur, aku kangen banget sama dia. Tapi maaf, aku nggak bisa,” tolakku dengan nada menyesal.
“Galih! Kamu gila, ya?! Yudith itu koma, dia butuh kamu,” Kinanthi setengah membentakku.
“Kinan, aku sudah punya tunangan. Sudah setahun kami tunangan. Aku sudah janji dengan tunanganku untuk menutup masa laluku,” jawabku sambil menunjukkan cincin tunangan di jari manis kiriku.
Tiba-tiba Kinanthi berdiri tegak di hadapanku dan menggebrak meja.
“Gal, Yudith koma udah 6 bulan! Sejak awal dia koma dia selalu manggil nama kamu. Cuma kamu yang bisa bikin keadaannya membaik. Terserah kamu udah tunangan dengan siapapun. Aku nggak minta kamu untuk kembali ke Yudith. Aku cuma minta tolong sama kamu untuk bantu Yudith. Itu aja.
Galih, kita bertiga sahabatan sejak SMA. Aku sayang kamu. Aku sayang Yudith. Aku nggak tahu cara apa lagi yang harus dipakai untuk bikin keadaan Yudith membaik. Kumohon, demi persahabatan kita bertiga. Ayo, kita ke rumah sakit sama-sama. Kali ini kuminta kamu memandangnya sebagai sahabat lama yang butuh bantuan. Bukan seseorang di masa lalumu yang pernah kamu cintai,” Kinanthi kembali meneteskan air mata dan memohon. Sejujurnya aku pun tak tega mendengar cerita Kinanthi bahwa Yudith selalu memanggil namaku dalam komanya. Mungkin itu makna mengapa tadi malam aku bermimpi Yudith memanggil-manggilku dari dalam kegelapan di kejauhan.
Seandainya 2 tahun lalu aku tak mengenal Zenilda, mungkin sekarang aku tak bertunangan dengannya. Perjumpaan pertama kami saat reuni akbar SMP kami. Karena ternyata kami satu almamater, hanya saja dia 4 angkatan di bawahku. Zenilda sangat dewasa, pengertian padaku. Aku telah banyak bercerita tentang Yudith pada Zenilda. Dia bisa membuatku percaya untuk membuka lagi hatiku yang sudah kututup rapat dari yang namanya cinta. Aku sangat mencintai Zenilda dan Zenilda pun sangat mencintaiku. Bahkan kami sudah merencanakan untuk menikah tahun depan.
Namun mendengar Yudith dalam keadaan yang kritis, aku pun iba.
“Aku harus gimana, Kin? Aku juga harus menghormati Zenilda.”
“Coba kamu telepon Zenilda. Dia juga sudah tahu tentang Yudith, kan. Masa’ dia nggak mau bantu Yudith,” usul Kinanthi.
“Kamu yakin, Kin?” tanyaku sangsi. Kinanthi tersenyum dan mengangguk. Kupikir, tak ada salahnya mencoba. Zenilda sudah mengetahui tentang Yudith. Ia pun tahu bahwa saat ini yang kucintai hanya dirinya. Zenilda wanita yang penuh pengertian, tak mungkin Zenilda melarangku menjenguk Yudith.
Akhirnya kukeluarkan ponselku dari saku celana. Kuhubungi Zenilda, kuceritakan semua yang terjadi pada Yudith. Dari ujung sana terdengar Zenilda menahan isakannya. Zenilda berjanji untuk segera datang ke sekolah. Sambil menunggu Zenilda datang, kuminta Kinanthi menunggu di taman. Sebentar lagi cleaning service sekolah akan membersihkan setiap kelas dan mengunci kelas. Sementara aku kembali ke ruang guru untuk menyimpan buku-buku ajarku dan bersiap-siap pulang. Sepuluh menit kemudian aku sudah menyusul Kinanthi dengan tas kerjaku tersandang di bahu.
Lima menit kemudian Zenilda tiba. Kukenalkan dia ke Kinanthi, begitu juga sebaliknya. Kali ini Kinanthi yang menjelaskan keadaan Yudith. Kinanthi juga meminta izin Zenilda agar aku boleh menjenguk Yudith.
“Gimana, dik? Mas boleh jenguk Yudith?” Tanyaku langsung ke Zenilda.
“Silakan kalau mas mau jenguk Mbak Yudith. Mbak Yudith butuh mas,” untungnya Zenilda mengizinkan.
“Zen, kalau kamu mau kamu boleh ikut kami ke rumah sakit. Kebetulan aku bawa mobil,” tawar Kinanthi.
“Nggak usah, mbak. Saya percaya sama Mas Galih. Mbak Yudith, kan, sahabatnya Mas Galih. Ada Mbak Kinanthi juga. Dengar keadaan Mbak Yudith dari Mbak Kinanthi, saya jadi iba. Sebenarnya saya juga ingin jenguk Mbak Yudith, tapi saya pikir waktunya belum tepat. Biar sekarang Mas Galih aja dulu yang jenguk Mbak Yudith. Kalau keadaan Mbak Yudith udah baikan, Insya Allah saya akan jenguk Mbak Yudith.” Keikhlasan Zenilda membuatku terharu dan semakin yakin untuk menjadikannya istri.
Kembali kupandangi Zenilda meminta kepastiannya. Ia tersenyum dan mengangguk yakin.
“Berangkatlah, mas. Mbak Yudith udah lama nunggu kamu,” ujarnya. Kupeluk Zenilda erat-erat. Aku bisa merasakan keyakinan dan keikhlasannya mengizinkanku pergi menemui seseorang yang pernah kucintai. Zenilda pun mencium tanganku, kukecup keningnya. Lalu aku dan Kinanthi pamitan ke Zenilda untuk menjenguk Yudith.
“Kamu beruntung punya tunangan seperti Zenilda. Dia dewasa dan pengertian,” ujar Kinanthi saat kami bersama-sama menuju mobilnya di lapangan parkir. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, aku memang sangat bersyukur memiliki calon istri seperti Zenilda.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, aku dan Kinanthi lebih banyak diam. Sesekali kami saling menanyakan masa-masa selepas SMA. Terkadang kami saling mengingat masa lalu. Terkadang tertawa, tapi lebih banyak termenung saat mengenang masa-masa bersama Yudith. Dan empat puluh lima menit kemudian kami tiba di rumah sakit tempat Yudith dirawat. Setelah memarkir mobil, kami langsung menuju ICU Room tempat Yudith dirawat. Di depan kamar kulihat ayah Yudith tengah duduk di kursi pengunjung. Merenung sendirian.
Ayah Yudith, Pak Usman adalah sosok laki-laki yang bersahaja, berwibawa, dan ramah. Semasa SMA dulu aku sering berkunjung ke rumah beliau. Terkadang untuk menemui Yudith, terkadang memang sengaja menemui beliau untuk mengobrol banyak hal. Pak Usman adalah sosok yang tegar, dan ketegaran itu sangat nampak di wajah dan pancaran matanya saat aku menghampiri beliau.
“Pak,” panggilku. Saking dekatnya kami, aku pun memanggil beliau Bapak. Bapak mengangkat wajah dan sejenak memandang wajahku dengan bingung. Sesaat kemudian wajah tuanya tampak terkejut. Beliau langsung berdiri.
“Kamu Galih?” Aku mengangguk sambil tersenyum haru. Mata tua Bapak langsung berkaca-kaca, beliau kemudian memelukku.
Menjadi seorang ayah bagi 3 orang anak perempuan, membuatnya begitu merindukan seorang anak laki-laki. Dan aku yang kebetulan dekat dengan keluarga beliau pun akhirnya dianggap anak sendiri. Bapak mengajakku duduk di kursi kosong di sebelahnya. Kinanthi duduk di sebelahku.
“Bagaimana kabar orangtuamu, nak?”
“Alhamdulillah, ayah dan bunda kabarnya baik. Bagaimana kabar bapak dan ibu?” tanyaku berbasa-basi.
“Yah, beginilah keadaan kami. Ibumu lagi di dalam, menunggui Yudith.”
“Maaf, Pak. Selama ini saya nggak pernah lagi main ke rumah. Sudah lama juga nggak tahu kabar keluarga bapak. Sebenarnya bagaimana ceritanya Yudith bisa sampai koma?” tanyaku hati-hati.
Selasar ICU Room yang sepi dan menebarkan aroma kesakitan terasa semakin mengurung kami bertiga dalam kehampaan. Tanpa sadar aku memeluk kedua lenganku erat. Kinanthi pun tampak tak nyaman dalam duduknya. Bapak menundukkan kepala dalam-dalam.
“Kejadiannya sekitar 6 bulan lalu. Saat itu Yudith akan menjemput Neva (anak kedua bapak) ke sekolah. Di tengah perjalanan, Yudith tertabrak truk dari arah yang berlawanan. Kepalanya terbentur aspal cukup keras dan kaki kanannya terlindas roda truk. Dokter memutuskan untuk mengamputasi kaki kanan Yudith karena memang kondisinya sudah parah. Selain itu ternyata ada luka dalam pada otaknya. Saat sadar dan mengetahui kaki kanannya diamputasi, Yudith schok berat. Dokter bilang ada kelenjar syaraf di kepalanya yang tak kuat menahan emosi. Ada pembengkakan serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan yang naik drastis. Akibatnya Yudith koma sampai saat ini.” Bapak mengusap air mata yang menetes di pipinya.
Astaghfirullah! Aku tak menyangka keadaan Yudith separah itu. Tanpa kusadari pipiku basah oleh air mata. Kinanthi menahan isakannya, kugenggam jemarinya untuk menguatkan.
“Setiap malam bapak selalu shalat tahajjud, shalat lail, shalat sunnah pun nggak ketinggalan. Bapak selalu berdoa agar keadaan Yudith membaik. Paling tidak dia bisa merespon rangsangan dari luar. Karena sampai sekarang dokter bilang kalau Yudith tidak bisa merespon rangsangan apapun dari luar. Tapi akhirnya seminggu yang lalu Allah menjawab doa bapak. Awalnya bapak mimpi ngobrol dengan Yudith di halaman belakang rumah seperti biasa. Yudith cerita kalau dia kangen dan masih menyimpan rasa bersalah sama kamu, Gal. Dia ingin sekali ketemu kamu. Besok paginya, Yudith mulai menyebut-nyebut nama kamu dalam keadaan tidak sadarnya. Dia juga mulai meneteskan air mata saat ibu atau bapak mengaji di dekatnya.
Bapak tahu kalau kamu, Yudith, dan Kinanthi adalah sahabat. Awalnya bapak berusaha menghubungi kamu. Tapi bapak kehilangan catatan alamat dan nomor telepon orangtua kamu. Akhirnya bapak minta tolong Kinanthi untuk mencari kamu. Alhamdulillah ketemu. Bapak minta tolong banget sama Galih untuk bantu bapak nyembuhin Yudith,” bapak memohon kepadaku sambil menggenggam erat tanganku.
Yudith, cinta pertamaku. Bahkan sampai saat ini pun dia menempati ruang tersendiri di sudut kecil dalam hatiku. Tanpa mengganggu rasa cintaku ke Zenilda. Bapak dan Ibu yang sudah kuanggap orangtuaku setelah Ayah dan Bundaku. Neva dan Novstantia adik-adik Yudith yang juga kuanggap adik sendiri. Mereka keluargaku yang kedua. Tegakah aku tak menolong saudaraku sendiri? Menyakiti hati bapak, ibu, dan adik-adikku? Membebani sepanjang sisa umurku jika aku tak berbuat apa-apa?
Perlahan aku berdiri dan memasuki kamar tempat Yudith dirawat. Kukenakan pakaian khusus pengunjung. Kuhampiri ibu yang sedang membisiki sesuatu di telinga Yudith. Kupanggil ibu perlahan, beliau menoleh. Ibu terkejut mendapati aku berdiri di belakangnya.
“Astaghfirullah, Galih anak ibu!” Ibu memelukku dan menangis.
“Kamu ke mana aja, nak? Ibu kangen,” diusapnya wajahku penuh haru. Air mataku menetes lagi. Ibu berbalik mengusap rambut Yudith.
“Mbak, ini ada Mas Galih datang. Mbak Yudith bilang ingin ketemu Mas Galih, kan. Sekarang masnya sudah datang,” samar kudengar bisikan ibu yang memberitahu kedatanganku ke Yudith.
Aku pernah membaca. Saat seseorang dalam kedaan koma, rangsangan dari seseorang yang dekat secara emosional umumnya lebih dapat dirasakan. Kulihat kelopak mata Yudith bergerak-gerak. Dan bibirnya memanggil namaku lirih.
“Galih.” Aku langsung mengambil tempat di sisinya. Kugenggam tangannya dengan lembut.
“Dith, ini aku. Galih. Aku sudah datang. Kemarin kamu datang ke mimpiku, memintaku menemuimu. Sekarang aku sudah ada di sisimu. Aku mohon buka matamu,” bisikku di telinga Yudith. Tak lupa tanganku mengelus-elus rambutnya, sesekali pipinya. Kukecup keningnya saat kudengar dia memanggil namaku dan meneteskan air mata.
Ibu mulai terisak di belakangku. Perlahan kudengar ibu beranjak keluar dari kamar untuk bergabung dengan bapak dan Kinanthi di luar kamar. Ingatanku melayang ke masa dimana aku pertama kali memegang tangannya, dengan perasaan cinta seorang lelaki ke perempuan. Ketika pertama kalinya aku mengecup pipinya, saat aku menyatakan perasaanku kepadanya. Aku tersenyum dan membisiki semua kenangan indah ke telinga Yudith. Berharap Yudith membuka matanya dan tersenyum padaku.
Wajah polosnya yang biasanya selalu terlihat ceria, bahkan saat sedang bersedih sekalipun. Kini tak lagi nampak. Tergantikan dengan bayangan segala rasa sakit dan penderitaan. Pipinya cekung, bibirnya kering. Matanya tertutup rapat, tak lagi memancarkan cahaya seperti dulu. Wajahnya kehilangan cahaya kehidupan. Hanya garis patah-patah di monitor kardiogram yang menunjukkan bahwa jantung Yudith masih berdetak. Samar-samar kulihat sesuatu menggantung di leher Yudith. Seutas kalung. Kutarik keluar. Kukenali kalung dengan rantai putih dan liontin berbentuk bintang itu. Itu adalah kalung yang kuberikan saat aku menyatakan perasaanku padanya.
Kutopangkan wajahku ke tangan Yudith yang kugenggam erat. Berpikir, apa maksudnya Yudith mengenakan kalung itu. Karena saat menyatakan perasaanku dulu, yang sesungguhnya kuminta adalah Yudith mengenakan kalung itu jika ia datang membalas perasaanku. Yudith ternyata tidak pernah datang, tapi mengapa Yudith mengenakan kalung dariku? Sayup-sayup kudengar Yudith berbisik.
“Galih, maafin aku. Aku juga cinta sama kamu. Aku kangen sama kamu.” Selesai berkata seperti itu, air mata yang menetes dari matanya semakin deras.
Kutepuk pipinya pelan dan kupanggil namanya. Genggaman tanganku semakin mengerat. Entah mengapa, aku merasa saat-saat kepergiannya akan segera tiba. Aku tak rela melepasnya. Dan saat itu benar-benar tiba. Tangan Yudith terlepas dari genggaman tanganku. Kudengar Yudith menghembuskan napas terakhirnya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Monitor kardiogram menunjukkan garis lurus. Sejenak aku terpaku. Sedetik kemudian aku meneriakkan nama Yudith. Bapak, ibu, dan Kinanthi langsung menyerbu masuk kamar. Mendapatiku sedang mengguncang-guncang tubuh Yudith. Memintanya membuka mata dan kembali padaku. Ibu berteriak histeris, bapak memanggil dokter, Kinanthi memeluk tubuh Yudith yang tak lagi bernyawa. Dan aku terduduk lemas bersandar pada dinding, menangis.

Aku masih terdiam memandangi gundukan tanah merah basah di hadapanku. Di hadapanku ibu berada dalam pelukan bapak, memanggil nama Yudith. Ayah merangkulkan tangannya di bahu bapak. Bunda meneteskan air mata. Kinanthi mengusap nisan yang bertuliskan nama Yudith dengan air mata yang tak henti menetes. Zenilda menangis dalam diam, kurangkul bahunya. Pemakaman sudah sepi, para pelayat sudah pulang. Hanya tinggal kami bertujuh. Kepergian Yudith menyisakan kehampaan menyesakkan. Yudith pergi tanpa sempat membuka matanya.
Masih kuingat beberapa saat lalu ketika kami masih di rumah keluarga Yudith sebelum pemakaman. Ibu mengajakku dan Kinanthi ke kamar Yudith. Kamarnya rapi. Di meja lampu tidur kulihat beberapa pigura. Ada foto Yudith, aku, dan Kinanthi ketika SMA. Foto Yudith sendiri. Dan foto Yudith berada dalam pelukanku. Aku memalingkan wajah. Rindu itu hadir lagi, sangat menyesakkan karena kami tak mungkin bertemu lagi.
Ibu menuntunku dan Kinanthi duduk di pinggir tempat tidur Yudith. Diusapnya air matanya dengan ujung kerudung. Masing-masing tangannya menggenggam tanganku dan Kinanthi.
“Ibu berterimakasih karena kalian sudah nemenin ibu. Kalian sahabat Yudith, sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Sekarang Yudith sudah pergi. Tapi ibu mohon kalian jangan biarin ibu sendiri. Terutama kamu, Galih. Kamu bandel. Kuliah di luar kota nggak pamit ke ibu, Balik ke Surabaya juga nggak ngomong sama ibu,” setengah mengomeliku, ibu tersenyum tipis dalam isak tangisnya. Mau tak mau aku ikut tersenyum mendengarnya.
Kali ini wajah ibu mulai serius. Ibu menghela napas.
“Yudith memang nggak sempat membuka matanya. Tapi ibu yakin, Yudith bisa merasakan bahwa kamu datang, Gal. Mendengar suaramu, merasakan sentuhanmu. Buktinya dia tersenyum saat meninggal,” matanya menerawang. Menatap langit-langit kamar yang penuh ditempeli hiasan glow in the dark berbentuk bintang dan bulan.
“Kin, kamu nggak ingin mengatakan sesuatu?” Ibu membuyarkan lamunan Kinanthi. Sejenak Kinanthi tersentak kaget, lalu terdiam.
“Harus sekarang, bu?” Nada suara Kinanthi terdengar ragu. Ibu mengangguk. Dengan tepukan pelan di bahu kami, ibu melangkah keluar kamar. Meninggalkan kami berdua di dalam kamar.
Keheningan kamar menyelimuti kami, begitu pula rasa canggung. Untuk melepas kecanggungan aku melihat-lihat isi kamar Yudith. Memperhatikan meja belajarnya yang dihiasi beberapa foto lama. Deretan koleksi buku-bukunya, dan beberapa novel pemberian dariku. Tiba-tiba kurasakan Kinanthi menepuk bahuku. Matanya menatap foto kami bertiga saat pengumuman kelulusan, dengan seragam penuh coretan.
“Ada hal penting yang ingin aku ceritain ke kamu. Tentang kamu, aku, dan Yudith. Tentang persahabatan kita. Dan rasa cinta dalam persahabatan kita.” Kinanthi menundukkan kepala dalam-dalam. Ia beranjak duduk di karpet yang digelar di samping tempat tidur Yudith. Aku mengikutinya.
Karpet yang sekarang kududuki bersama Kinanthi masih sama seperti masa kami SMA dulu. Dulu semasa SMA kami bertiga sering menghabiskan waktu di kamar Yudith. Tak heran orangtua Yudith sampai menganggap kami seperti anak sendiri. Kinanthi menelusurkan jemarinya di karpet, perlahan membuka mulut.
“Gal, sebenarnya beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan aku sempat curhat ke Yudith. Aku curhat kalau sebenarnya aku suka sama kamu,” pernyataan Yudith membuatku tersentak.
“Aku curhatin semua perasaanku ke Yudith. Dan sehari sebelum kecelakaan, Yudith cerita kalau kamu nembak dia sepulang dari pengumuman kelulusan. Demi aku, Yudith milih untuk ngalah dan nggak datang menemui kamu. Walau sebenarnya dia juga punya perasaan yang sama ke kamu. Saat itu aku menyesal banget. Karena itu berarti aku sudah menyakiti hati dua orang yang aku sayang, dan juga menyakiti perasaanku sendiri. Aku benar-benar minta maaf ke kamu dan Yudith.
Hari itu juga Yudith bilang kalau dia ingin sekali ketemu kamu. Ingin minta maaf dan menyampaikan perasaannya yang sebenarnya ke kamu. Yudith takut kalau dia nggak pernah sempat untuk minta maaf dan menyampaikan perasaannya ke kamu,” penjelasan panjang Kinanthi membuatku termenung.
Aku tak pernah mengerti apa yang ada dalam pikiran wanita. Demi sahabat, mereka rela mengorbankan perasaannya pada orang yang mereka cintai dan mencintai mereka. Padahal itu justru menyakiti lebih banyak hati manusia. Mereka yang saling mencintai, dan sahabat itu sendiri. Tapi yang aku mengerti, mereka hanya ingin membuat orang yang mereka sayang bahagia, walau harus berkorban apapun.
Aku mencintai Yudith. Aku memaafkannya. Walau kata cinta dari Yudith tak pernah diucapkannya langsung kepadaku. Aku tak ingin membebani langkahnya di alam berikutnya bila aku tak memaafkannya. Aku hanya bisa menyimpan harap, seandainya saja saat itu Yudith dan Kinanthi menjelaskan semuanya padaku. Memang benar, tak semua hal bisa kau bagi dengan orang terdekatmu sekalipun. Aku hanya bisa menjalani hidupku saat ini. Menjadi bagian dari keluarga Yudith, sahabat dari Kinanthi, dan calon suami dari Zenilda.



Sangatta, Kal-Tim / 12 Juli 2010
10:30 pm

Tidak ada komentar: