September 14, 2010

MENCINTAI SAUDARA SENDIRI

“Weitz, sumringah banget mukanya Iskan. Bersinar, kayak habis nelan bohlam.”
“Iya, nih. Cengirannya menjijikkan.”
“Kayaknya ada yang bakal traktiran, nih.” Baru saja aku masuk ke ruang kelas, berbagai macam sindiran sudah langsung dilontarkan sahabat-sahabatku.
“Yoi, brothers. Aku lagi bahagia. Tapi aku tak ada niat sedikit pun untuk menraktir kalian,” ujarku sambil mencari-cari tempat duduk strategis. Barisan belakang, lebih bagus kalau bisa dapat di pojokan.
Galih, Abiel, dan Fajar langsung bersiap menyidangku. Masing-masing berperan sebagai hakim, penuntut umum, dan anggota tim sidang. Dan aku sendirian tanpa bantuan pengacara.
“Saudara Sinathrya Iskandar Elian, silakan jelaskan mengapa begitu masuk kelas Anda langsung tersenyum-senyum menjijikan? Padahal mata kuliah saat ini adalah Fisika Dasar-II, mata kuliah yang selalu membuat Anda berniat TA (Titip Absen) dengan sepenuh hati. Bahkan sekarang Anda masuk sepuluh menit sebelum kelas dimulai,” Abiel yang membuka sidang.
“Begini, Saudara Penuntut Umum. Saya sedang bahagia. Ba-ha-gi-a…. Sangat bahagia,” aku kembali tersenyum-senyum sendiri.
“Apa yang membuat Anda bahagia? Jelaskan!” Fajar kembali menuntut.
“Baiklah, akan saya jelaskan. Saya sedang bahagia karena nanti malam saya akan kencan dengan pujaan hati saya,” kali ini cengiranku semakin melebar.
“Mustika?” Ketiganya bertanya bersamaan.
“Tepat sekali, saudara-saudara,” kali ini aku berhasil mengontrol otot-otot wajahku agar ekspresiku tidak menyerupai The Joker, musuh bebuyutan Batman.
Ketiga sahabatku lantas berunding. Membiarkan aku senyum-senyum sendiri, membayangkan kencan nanti malam.
“Saudara Iskan, sebelumnya saya ingin bertanya. Sebenarnya apa status hubungan Anda dan Mustika?” Kali ini Fajar angkat bicara.
“Sebenarnya hubungan kami tidak jelas. Dibilang pacaran, saya belum nembak dia. Dibilang cuma teman, kedekatan kami lebih dari teman. Tapi yang jelas, saya sangat menyayanginya,” jawabku, kali ini tanpa senyum.
“Jadi itu yang menjadi alasan Anda memutuskan hubungan dengan Alyya?” lanjut Fajar.
“Iya. Sejak aku menyadari kalau aku lebih mencintai Mustika, aku putusin Alyya. Aku nggak mau ngejalani cinta segitiga yang sangat menyiksa ini,” kali ini aku tak bisa mengikuti permainan mereka bertiga. Aku menjawab dengan lesu.
Ketiga sahabatku terdiam dan saling berpandangan. Seolah mereka saling memiliki ilmu telepati, sesekali mereka mengangguk, terkadang menggeleng, dahi berkerut. Tapi bibir mereka tak terbuka sedikit pun. Aku jadi bingung sendiri. Baru saja aku ingin bertanya ke mereka, Pak Jaka—dosen Fisika Dasar-II sudah keburu masuk kelas. On-time seperti biasa. Persidangan ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Karena hari ini jadwal mata kuliah yang kami berempat ikuti hanya Fisika Dasar-II. Dan hari ini aku berencana langsung pulang ke rumah Setelah kuliah, tidak nongkrong seperti biasa. Mempersiapkan kencan nanti malam.
Sepanjang kuliah, aku tidak terlalu memperhatikan penjelasan Pak Jaka sepenuhnya. Hanya mendengarkan sekilas. Padahal biasanya aku tertidur sejak awal sampai akhir kuliah. Kelas kali ini lebih banyak kuisi dengan semunyi-sembunyi sms-an dengan Mustika. Untung tidak ketahuan Pak Jaka. Dan begitu kelas berakhir, aku langsung cepat-cepat keluar kelas. Sebelum ketiga sahabatku menyadari aku sudah ‘lenyap’. Setengah berlari aku menuju parkiran, untungnya mobilku—Audi R8 merah metalik—kuparkir tak jauh dari pintu keluar. Memudahkanku keluar dari parkiran fakultas yang selalu penuh.

Aku mematut diri di depan cermin setinggi badanku. Sudah hampir 1 jam aku mencoba mencocokkan baju yang akan kupakai kencan nanti. Aku merasa seperti seorang perempuan yang selalu ribet dengan pakaian mereka. Sepertinya aku kualat, karena dulu aku pernah mengejek adik perempuanku yang sibuk mencocokkan baju yang akan dipakainya kencan, setahun yang lalu. Sedang frustasi karena merasa tak ada pakaian yang cocok, Chevy—adikku yang sekarang duduk di kelas 3 SMA—masuk ke kamarku tanpa kusadari. Tanpa banyak bicara, Chevy mengambil sehelai T-Shirt hitam bertuliskan Armor For Sleep dan kemeja biru gelap motif tartan yang tergeletak di pinggir tempat tidurku.
Ekspresi wajahnya datar.
“Loe pakai kaus ini, trus luarnya kemeja ini, ntar lengannya loe gulung sampai bawah siku. Celana jeans hitam loe itu bagus juga. Rambut loe dibikin spike aja. Sepatunya Converse loe yang hitam itu. Parfumnya Glacier Athletic. Good luck for your first date.” Selesai berkata seperti itu, Chevy menyerahkan kaus dan kemeja itu ke tanganku, lalu langsung keluar kamar tanpa pamit. Adik yang ajaib.
“Thank’s, honey. I love you so much!” teriakku sebelum pintu kamarku tertutup rapat.
“You’re welcome, my crazy brother. I love you too although I hate you so much,“ balasnya sambil kembali membuka pintu kamarku lebar-lebar. Dasar setan kecil!
Walau sedikit kesal dengan kata-katanya belakangan, kuturuti saja sarannya. Setengah jam kemudian aku sudah rapi. Seperti sarannya. Cukup santai tapi tidak terlalu formal. Sempat lama kubuang waktu karena mengatur rambut dan mencari sepatuku yang entah kusimpan di mana, untung ketemu. Kulihat jam meja berbentuk bola basket, 15 menit lagi pukul 7 malam. Aku janji menjemput Mustika di tempat kost-nya jam 7. Aku bergegas keluar kamar setelah memastikan semuanya perfect. Dengan iPhone 3GS-ku, aku mengirimi Mustika pesan.

Mus, aQ skrg mw k kost mu. Kmu tggu d dpn y..
To:
Mustika
+6285250495439

Tepat 15 menit kemudian aku tiba di depan kost-nya Mustika. Kulihat dia baru saja keluar dari rumah, aku pun turun dari mobil. Mustika tampak anggun dengan simple dress sebetis motif floral. Kubukakan pintu mobil dan kupersilakan Mustika masuk. Sekilas kulihat Mustika tertunduk dan wajahnya bersemu merah.
“Terima kasih,” ujarnya lirih.
Sepanjang perjalanan menuju café tempat kami akan kencan, kami lebih banyak diam. Sesekali aku melirik ke arah Mustika. Tak habis-habisnya aku mengagumi keanggunannya malam ini. Mustika sendiri lebih sering memandang keluar jendela.
“Ada apa, sih, dari tadi ngeliatin aku terus? Ada yang aneh?” Rupanya Mustika menyadari kalau dari tadi aku memandanginya.
“Oh, itu,” aku tergagap menjawabnya, “kamu terlihat anggun banget malam ini. Cantik. Aku terpesona.”
“Makasih, kamu juga keren banget malam ini. Beda sama biasanya,” balasnya sambil menundukkan kepala.
Mendengar kata-kata itu, rasanya aku ingin terbang sampai ke bulan saking terpesonanya. Demi memecah keheningan, akhirnya aku memutuskan menyalakan CD Player. Langsung terdengar vocal khas Amy Lee yang membawakan lagu Bring Me To Life.

Frozen inside without your touch
Without your love, darling
Only you are the life among the dread

Setengah jam kemudian kami sudah tiba di depan café. Setelah kuparkir mobil tak jauh dari pintu masuk café, kami segera masuk ke café. Di pintu masuk café nampak dua orang karyawan menyambut kami. Setelah kujelaskan bahwa aku sudah memesan meja, salah seorang karyawan langsung mengantar kami ke meja pesananku. Kemudian datanglah waitress menanyakan pesanan kami. Kami memesan satu porsi Cantonese Roast Duck, dua porsi Chicken Cordon Blue, dan satu porsi Fried Hainan Chicken Rice. Untuk minumnya, kami sama-sama pesan Pink Snow Mocktail. Tak lama kemudian pesanan kami tiba.
Sedang asyik-asyiknya makan, iPhone-ku berbunyi. Alyya menelepon, dengan enggan aku menjawab panggilannya.
“Ada apa, Ya?” tanyaku langsung.
“Kamu lagi di mana, Is? Sama siapa?”
“Aku lagi di Chaterbox Café, sendirian,” jawabku sambil setengah berbisik. Untungnya Mustika tak terlalu memperhatikan.
“Oh, kamu tunggu dulu bentar. Aku mau ke sana sekarang.”
“Eh…” belum sempat aku menjawab, Alyya sudah keburu menutup sambungan. Waduh, bisa gawat kalau Alyya melihat aku kencan dengan Mustika.
Kucoba menghabiskan makananku dengan tenang. Namun tampaknya Mustika memperhatikan sikapku yang terlihat gelisah.
“Ada apa, Is? Kok kayaknya gelisah?”
“Alyya mau ke sini. Dia tadi nelepon aku dan bilang mau nyusul ke sini,” jwabku lirih sambil menunduk. Kulihat Mustika meletakkan sendok dan garpunya.
Ekspresinya tampak sinis. “Mau apa dia ke sini?”
Aku hanya sanggup menggelengkan kepala. Kami menghabiskan sisa makanan dalam suasana tegang. Keromantisan yang sempat menyelimuti kami, kini menguap tanpa bekas. Dan benar, lima belas menit kemudian Alyya tiba. Rumahnya memang terletak tak jauh dari café. Begitu tiba di meja kami, Alyya langsung ngomel-ngomel.
“Ini yang kamu bilang lagi sendiri?! Nih cewek siapa lagi?!” bentaknya sambil menunjuk Mustika.
Mustika langsung berdiri. “Silakan kalian selesaikan masalah kalian. Is, aku pulang dulu. Makasih untuk kencannya. Selamat malam.”
“Apa, kalian kencan?!” Alyya langsung menyambar. Aku tak sempat menahan kepergian Mustika.
“Ya, kamu mau apa lagi?” tanyaku kesal.
“Aku mau kita balikan. Aku masih cinta sama kamu, Is.”
“Maaf, Ya. Aku lebih mencintai Mustika daripada kamu, aku sudah nggak punya perasaan apa-apa ke kamu.”
Sepertinya jawabanku bukan yang diharapkan Alyya. Karena tiba-tiba tangan Alyya melayang ke arah wajahku. Untungnya sempat kutahan. Kutepiskan tangannya keras-keras. Silakan katakan aku kasar pada seorang perempuan. Tapi hei, dia mencoba untuk menamparku di depan umum!
“Kamu jahat, Is! Brengsek!” Hebat, sekarang dia berani mengumpat di tempat umum. Aku tahu, itu untuk menutupi rasa malunya karena tidak berhasil menamparku. Selesai memakiku, Alyya langsung keluar dari café
Aku terduduk lemas di kursi. Berantakan sudah kencanku dengan Mustika. Aku memikirkan Mustika yang terpaksa pulang sendiri. Berkali-kali kuhubungi ponselnya, tapi tak pernah diangkat. Gara-gara Alyya, rusak sudah semuanya!

Pagi ini aku sudah di depan tempat kost Mustika. Untungnya hari ini kuliahku masuk siang, jadi aku bisa menyempatkan diri menemui Mustika. Sekarang jam setengah tujuh. Mustika biasanya berangkat jam segini kalau ada kuliah pagi, seperti hari ini. Aku menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian kulihat Mustika keluar dari rumah, aku langsung turun dari mobil dan menunggunya di samping mobil.
“Iskan, kamu ngapain di sini? Nggak kuliah?” tanyanya heran.
Aku tersenyum. “Aku masuk jam 9 nanti. Jadinya sekarang aku bisa ketemu kamu dulu. Aku mau nganterin kamu.”
“Selain mau nganterin aku, ada alasan apa lagi kamu ke sini?” tanyanya sambil menatap mataku lurus.
“Aku mau minta maaf sekalian ngejelasin masalah tadi malam.”
“Tadi malam itu siapa, sih?” tanya Mustika dengan nada tidak suka.
“Alyya. Mantanku.”
Alyya terdiam sejenak. “Jangan-jangan pas dia nelepon, kamu bilang kalau kamu lagi sendiri? Makanya dia marah pas tahu ternyata kita lagi kencan,” tebaknya. Aku menghela napas, aku salah dan kalah.
“Lalu kamu mau jelasin apa lagi ke aku, Is?”
Aku melirik Casio di pergelangan tangan kiriku.
“Sebentar lagi jam tujuh, kamu ada kuliah, kan. Mending sekarang kamu kuantar, sekalian kujelasin di mobil. Dari sini ke kampusmu cuma lima menit naik mobil. Gimana?” tanyaku sambil menunjuk mobilku. Mustika menatapku tajam. Aku tahu jawabannya, aku langsung membuka pintu mobil untuk Mustika. Mustika masuk dengan diam.
Di mobil, aku berusaha menjelaskan masalah semalam ke Mustika.
“Sebelum aku kenal kamu, aku sudah pacaran selama satu bulan dengan Alyya. Dan sejak aku kenal kamu, aku merasa nyaman dekat dengan kamu. Dan lama-lama perasaan nyaman itu berubah menjadi suka, lalu sayang, dan akhirnya cinta. Saat aku sadar aku juga mencintai kamu, aku jadi dilema. Di satu sisi, aku nggak bisa mutusin Alyya gitu aja, saat itu kami sudah pacaran enam bulan lebih. Jelas bukan waktu yang singkat. Tapi aku juga nggak mau terjebak dalam cinta segitiga. Menghianati Alyya, menyakiti kamu, dan menyiksa diriku sendiri. Sampai akhirnya aku benar-benar yakin kalau aku lebih mencintai kamu. Dan seminggu yang lalu aku dan Alyya akhirnya putus. Tapi Alyya sepertinya masih belum bisa menerima kenyataan ini. Dia masih terus meminta aku untuk kembali ke dia. Tapi aku sudah benar-benar nggak bisa. Sekarang yang aku cinta cuma kamu,” jelasku panjang lebar.
Selesai aku menjelaskan masalah semalam, kami tiba di kampus Mustika. Institut Teknologi Dewaruci, jurusan Kelautan. Begitu mobilku berhenti, Mustika langsung membuka pintu dan bersiap keluar. Aku langsung menahan tangannya. Mustika diam saja.
“Kamu kuliah sampai jam berapa?” tanyaku.
“Jam satu siang. Kenapa?”
“Nanti aku jemput kamu. Aku mau ajakin kamu main gokart,” jawabku sambil setengah merayu. Aku tahu, sudah lama Mustika ingin main gokart tapi selalu sibuk dengan kuliah dan organisasi-organisasinya. Mustika tak menjawab, hanya terdiam lalu menarik tangannya. Sebelum pergi, dia masih sempat berterima kasih. Setelah itu aku menuju kampusku, Universitas Nusantara. Menghabiskan waktu di perpustakaan pusat sebelum memulai kuliah daripada pulang dulu ke rumah.

Jam satu siang kurang sepuluh menit aku sudah keluar kelas. Aku langsung menuju lapangan parkir. Lima belas menit kemudian aku sudah sampai di lapangan parkir kampusnya Mustika. Setelah memastikan mobilku aman, aku langsung mencari Mustika ke dalam kampus. Belum lama aku berjalan, di kejauhan aku melihat Mustika sedang berjalan ke arah lapangan parkir. Aku melambai, Mustika membalas lambaianku. Aku mempercepat langkahku dan kuhampiri Mustika.
“Hai, udah lama?” tanya Mustika begitu aku berdiri di hadapannya. Tampaknya dia sudah tidak marah lagi.
“Nggak. Aku juga baru aja sampai. Eh, sebelum main gokart, kita makan siang dulu, yuk!” ajakku. Kebetulan aku sudah kelaparan.
“Boleh. Mau makan di mana?”
“Di café yang di tempat main gokart sekalian aja gimana?” usulku sambil berjalan ke lapangan parkir. Mustika tersenyum dan mengangguk.

Setengah jam kemudian kami sudah tiba di GO GO CAR, tempat main gokart favoritku. Kebetulan di dalamnya juga tersedia café. Kami langsung turun dari mobil dan masuk ke café kecil yang langsung menghadap lapangan parkir. Cafénya tidak terlalu besar, bisa dibilang cukup mungil. Karena memang biasanya yang makan di sini hanya orang-orang yang ingin main gokart.
Aku dan Mustika mengambil tempat di pojok belakang, dekat pintu keluar yang langsung menuju area gokart. Sambil menyantap makanan, kami ngobrol-ngobrol santai. Tentang kuliah, dosen, dan kerinduan Mustika kepada keluarganya di Bogor. Setengah jam kemudian kami sudah selesai makan dan menuju area gokart. Aku menghampiri seorang teknisi di sana yang sudah cukup akrab denganku. Karena kebetulan aku sering main di tempat itu dengan Chevy dan para sahabatku. Namanya Aris.
Dari kejauhan kulihat Aris sedang mengobrol santai dengan seorang rekannya. Kupanggil dia dari kejauhan, Aris melambai dan berjalan ke arahku. Kami ngobrol-ngobrol sejenak lalu masuk ke ruang perlengkapan. Aku dan Mustika lantas mengenakan perlengkapan standar keselamatan sebelum main gokart. Sesekali Aris membantu Mustika mengenakan perlengkapannya. Setelah dirasa cukup aman, kami lantas bersiap untuk masuk arena. Mustika tampak bersemangat, aku senang melihatnya.
Berhubung Mustika belum pernah main gokart sebelumnya, jadi Aris memberi pengarahan singkat kepada Mustika. Setelah cukup, aku dan Mustika langsung saling memacu kendaraan masing-masing. Kami mengelilingi sirkuit sebanyak 10 putaran. Saat berhenti di garis finish, posisi Mustika di belakangku. Tapi wajahnya tampak puas dan senang.
“Hai, gimana keadaanmu?” tanyaku pada Mustika. Mustika hanya tersenyum lebar.
Setelah melepas semua peralatan safety, aku mengajak Mustika duduk di taman kecil tepat di smping café.
“Capek?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya yang nampak kemerahan dan berkeringat.
“Lumayan,” jawab Mustika dengan tersenyum manis, “tapi seru.”
“Baguslah kalau kamu senang. Mus, ada hal penting yang mau aku omongin,” nada suaraku berubah menjadi lebih serius. Mustika yang sedang menenggak minuman isotonic langsung menurunkan botolnya dan memandangku tajam.
Batinku bergolak. Jantungku berdetak lebih cepat. Tanganku berkeringat dingin. Aku gugup. Tapi aku tahu pasti. Sekarang atau tidak sama sekali. Perlahan aku mengubah posisi dudukku hingga menatap langsung wajah Mustika. Lalu kugenggam kedua tangannya dengan erat. Mustika terdiam, matanya menyiratkan tanda tanya besar. Perlahan kubuka mulutku.
“Sofia Mustika Aphrodite. Di sini aku akan mengatakan sebuah pengakuan. Bahwa aku, Sinathrya Iskandar Elian, mencintai kamu.”
Mata mungil Mustika kini melebar, mulutnya terbuka sedikit, terkejut.
“Kamu yakin, Is?” matanya menatap langsung ke mataku. Mencoba menilai kejujuranku. Aku mengangguk yakin dan tersenyum. Perlahan kutarik lembut kepalanya ke arahku, kukecup keningnya. Mustika tersentak.
“Is?!” Mustika langsung menarik tangannya.
“Maaf, Mus. Aku benar-benar cinta sama kamu. Aku yakin kamu juga cinta sama aku. Iya, kan?” aku mengulang pernyataanku sambil setengah mendesaknya.
Mustika menundukkan kepala, ekspresinya terlihat bingung dan ragu. Dengan lembut kuangkat dagunya. Aku tersenyum padanya, dan Mustika pun ikut tersenyum.
“Iya, aku juga suka kamu.”
“Apakah kamu menerima aku untuk jadi pacarmu?” tanyaku lagi. Kali ini dengan nada suara dan tatapan penuh harap.
“Is, sebenarnya aku sangat ingin langsung menjawab ‘ya’. Tapi maaf aku nggak bisa,” jawaban Mustika penuh nada penyesalan.
“Kenapa? Kamu nggak yakin sama aku? Kamu masih mikirin Alyya?”
Perlahan Mustika menyentuh pipiku.
“Bukan itu, Iskan. Aku benar-benar sayang sama kamu. Dan aku ingin kamu nggak cuma kenal aku aja, tapi juga keluargaku. Begitu juga aku ingin keluargaku kenal kamu, terutama mamaku. Semenjak papaku meninggal dua tahun lalu, aku cuma punya mama. Aku sayang banget sama mama. Aku ingin mama setuju dengan keputusanku menerima kamu dan merestui hubungan kita.”
“Lalu?” Aku merasa ada yang hilang dari penjelasan Mustika.
“Aku ngajak kamu ketemu mamaku besok. Aku mau kamu dan mamaku saling kenal. Dan nanti mama yang akan memutuskan, apakah sebaiknya aku menerima kamu atau menolak kamu. Kamu bisa terima itu?” Aku tak pernah mendengar Mustika berbicara dengan nada setegas itu. Ada keinginan yang kuat dalam nada suaranya. Tatapannya pun tajam, menusuk tepat ke mataku.
Aku berpikir, ini adalah ide yang bagus. Aku bisa sekalian mengenal keluarga Mustika dan tentunya mengenal Mustika lebih jauh. Aku setuju.
“Aku nggak masalah. Jumat besok kita nggak ada kuliah, aku ketemu mama kamu enaknya kapan dan di mana? Aku, kan, nggak tahu Bogor.”
“Insya Allah nanti malam aku pulang ke Bogor sama sepupuku. Biar aku ngomong dulu ke mama. Paling lambat besok pagi aku kabari kamu kapan dan di mana ketemuannya. Gimana?”
“Oke, gitu juga nggak apa-apa. Tapi kalau bisa tempatnya jangan terlalu jauh masuk Bogor, ya. Ntar aku nyasar lagi,” rajukku. Mustika tersenyum dan mengacak-acak rambutku.
Saat aku melihat Casio-ku, ternyata sudah pukul empat sore. Aku nggak menyadari lamanya waktu yang aku lewatkan dengan Mustika. Aku pun mengajak Mustika pulang. Dia perlu waktu untuk siap-siap pulang ke Bogor nanti malam.

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya setiap hari Jumat aku bangun jam sembilan karena nggak ada kuliah, sekarang aku bangun jam lima pagi. Bukan mauku. Tapi ada pesan masuk ke iPhone-ku. Setengah kesal dan mengantuk aku mengambilnya di meja lampu di sebelah tempat tidurku. Ternyata dari Mustika. Aku langsung terjaga sepenuhnya.

Iskan, td mLam aQ udH ngomong k mama.
Mama hri ini bs kTmu kamu. Kbtln mama ama aQ mw k sLon jam 11 nTar.
Jd qT kTmu d sLon z y. sLon Rudi Hadisuwarno.
Almt’na d Ekalokasari Plaza lt 1, pas d dpn pr3an Sukasari, gk jauh dr pust kota.
Kl ada apa” d jLan, hbgi aQ aja.
Sender:
Mustika
+6285250495439

Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi di dalam kamarku. Kali ini kusempatkan keramas, dan durasi mandiku yang biasanya cukup lima menit kini mengalami perbaikan menjadi lima belas menit. Selesai mandi aku sempatkan shalat Subuh di sudut kamar, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an dua lembar. Setelah itu aku berdoa, memohon agar dilancarkan rencanaku bertemu dengan calon camer. Semoga semua berjalan lancar. Dan mamanya Mustika merestui hubungan aku dan Mustika. Amin.
Aku berdiri dari sajadah dan melipatnya rapi lalu kuletakkan di atas meja kecil di sudut kamar. Kuletakkan AL-Qur’an di atas sajadah. Lalu aku beranjak ke lemari pakaian dan membukanya lebar-lebar. Aku kembali bingung. Baju apa yang pantas aku kenalkan untuk bertemu dengan mamanya Mustika. Yang jelas saat bertemu dengan calon camer, berikan penampilan yang terbaik. Sesopan mungkin. Dan itu yang akan aku terapkan sekarang. Aku mengambil sehelai kemeja cokelat dengan garis-garis hitam.di bagian belakangnya ada tulisan LUCKY berwarna putih. Kukenakan bersama dengan celana jeans hitam dan Converse hitam.
Kulirik jam dinding di atas meja belajarku. Sudah jam enam. Aku keluar kamar dan menuju dapur. Bunda yang sedang menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Chevy terkejut melihatku yang tidak biasanya sarapan sepagi ini. Karena biasanya kalau tidak ada kuliah, aku bangun jam delapan dan sarapan jam sembilan. Kadang sarapan sekaligus menjadi makan siang.
“Mas, tumben bangun cepat,” sahut Bunda dengan nada penuh keheranan.
“Iya, biasanya Mas Iskan sarapan pas jam makan siang,” celetuk Chevy usil.
“Ada apa tho, Mas?” kali ini Ayah ikut bertanya.
Aku menarik kursi di hadapan Ayah. Meja makan kami hanya terdiri dari 4 kursi, sesuai jumlah anggota keluarga di rumah ini.
“Mas mau ke Bogor, Yah,” jawabku kalem sambil menyendok nasi ke piring.
“Mau ngapain kamu ke Bogor?” tanya Chevy dengan nada heran.
“Mau ketemu mamanya Mustika. Boleh ya, Ayah, Bunda?” izinku dengan wajah memelas.
“Mau ngapain kamu ketemu mamanya Mustika? Mau ngelamar?” tanya Chevy sembarangan.
“Ngawur! Nggak, lah! Mas mau minta izin ke mamanya Mustika, apa boleh Mas pacaran dengan Mustika,” jelasku.
“Maksudnya?” Ayah langsung melipat koran yang sedang dibacanya dan menatapku bingung.
Aku menarik napas panjang. Yah, keluargaku juga harus tahu dengan siapa aku berpacaran. Dan akan berpacaran dengan siapa. Biasanya orangtuaku setuju saja dengan siapa aku berpacaran. Asalkan tidak membawa keburukan bagiku dan orang lain.
“Begini, kemarin mas ‘nembak’ Mustika. Mustika bilang jawabannya terserah mamanya. Mustika nggak mau hubungannya dengan mas nggak direstui. Jadi nanti mas mau ke Bogor untuk nemui mamanya Mustika. Minta izin untuk pacaran sama Mustika. Kalau diizinin, ya Mas dan Mustika pacaran. Kalau nggak diizinin, apa mau dikata,” jelasku panjang lebar.
“Emang Mas ingat jalan ke sana?” tanya bunda. “Terakhir Mas ke sana, kan, semester lalu, itu pun jalannya ditunjukin sama teman SMA Mas yang tinggal di sana.”
“Yah, dikit-dikit. Gimana, boleh ya, Yah, Bun?” izinku lagi dengan nada merajuk.
“Mau berangkat jam berapa? Sama siapa?” tanya Chevy.
“Jam 7. Sendiri. So?” aku memandang Ayah dan Bunda.
Ayah dan Bunda saling melempar pandang. Aku memandang Chevy, tapi yang dipandang justru asyik sarapan.
“Gimana, Bun?” tanya Ayah. Bunda justru bertanya balik ke Ayah.
“Ya sudah. Kalau memang Mas mau ke Bogor, hati-hati. Pulangnya jangan malam-malam,” akhirnya Ayah mengizinkanku untuk pergi ke Bogor.
“Kalau kamu nyasar di Bogor, telepon Tante Fio aja,” tambah Bunda. Tante Fiorettha adalah sepupu Bunda yang tinggal di Bogor.
“Makasih, Yah, Bun,” aku langsung memeluk Ayah dan mengecup kedua pipi Bunda. Saking bahagianya, aku juga mengecup kening Chevy. Akibatnya Chevy mencak-mencak tak karuan.
Penuh semangat aku menghabiskan sarapanku karena memang nggak lama lagi aku harus berangkat. Jam setengah tujuh Chevy pamit berangkat sekolah. Dia berangkat sendiri naik motornya, Honda CBR RR1000 merah. Terkadang juga dia ikut mobil Ayah karena sekolahnya dan kantor Ayah satu arah.
“Moga sukses ya, Mas,” pamitnya sambil mengecup pipiku sekilas. Aneh, dicium nggak mau, tapi maunya mencium.

Jam tujuh kurang lima menit aku naik ke kamar untuk mengambil tas selempang Export-ku yang sudah kuisi dengan ponsel, dompet, dan kado yang nanti akan kuberikan untuk Mustika. Tepat jam tujuh, aku pamit ke Bunda dan Ayah yang belum berangkat kerja karena hari ini Ayah masuk kerja jam delapan. Setelah itu aku langsung berangkat ke Bogor sendirian dengan mobil. Kemarin malam aku bela-belain ke bengkel untuk memastikan mobilku baik-baik saja dibawa untuk perjalanan jauh. Bahan bakar juga sudah terisi penuh. Dan sekarang, saatnya menuju Bogor.

Tiga jam kemudian aku sudah tiba di Bogor. Sekarang saatnya mencari Ekalokasari Plaza yang menurut petunjuk Mustika tempatnya di depan pertigaan Sukasari. Aku mencari-cari papan penunjuk jalan. Mencari papan yang menunjukkan arah ke Sukasari.

Hampir satu jam aku nyasar di tengah kota. Untungnya nggak lama kenudian aku tiba di Ekalokasari Plaza. Aku langsung memarkir mobilku di basement lalu naik ke lantai satu. Mencari Salon Rudi Hadisuwarno. Tepat jam dua belas, aku tiba di salon. Semoga saja Mustika dan mamanya belum pulang dari salon. Karena biasanya bunda dan Chevy kalau ke salon bisa hampir dua jam. Sebelumnya di jalan tadi aku sudah mengirim pesan ke Mustika kalau aku nyasar, jadinya aku datang terlambat. Dan Mustika sudah mengerti itu.
Perlahan kubuka salon yang tampak tidak begitu ramai. Kulihat Mustika sedang asyik membaca majalah di sofa yang terletak di lobi salon. Kupanggil namanya perlahan, ia mendongak dan tersenyum menatapku.
“Maaf ya aku telat banget. Aku tadi sempat nyasar,” ujarku begitu duduk di sebelahnya dan langsung menyerahkan kado yang sudah kusiapkan.
“Wah, makasih. Nggak apa-apa, kok. Kebetulan aku sama mamaku juga baru aja selesai. Mama lagi bayar. Eh, bentar aku ke toilet dulu. Sekalian aku panggilin mama,” Mustika beranjak berdiri dan masuk kembali ke salon. Aku mengangguk dan tersenyum.
Kuambil salah satu majalah yang tergeletak di meja di depanku. Kubuka-buka sekadar untuk mengisi kekosongan. Tanpa kusadari, ada seorang ibu yang duduk di pinggir sofa yang kududuki. Aku merasa ibu itu memandangiku. Aku semakin menunduk. Mungkin aku terlihat seperti cowok yang lagi menunggu pacarnya, atau anak yang lagi menunggu mamanya.
Tiba-tiba ibu itu memanggil namaku dengan ragu. “Mas Elian, bukan?” Elian adalah nama panggilanku oleh keluarga besarku.
Aku langsung menoleh ke ibu itu. “Tante Fio!” Aku langsung mencium tangan beliau. Aku lumayan dekat dengan beliau karena beliau sering main ke Jakarta.
“Mas Iskan ngapain di sini? Nunggu pacarnya, ya?” goda Tante Fio. Aku hanya tersenyum malu. Aku mengoreksi dalam hati, calon pacar.
“Tante ke sini sama siapa? Om Prama?” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Sama anak tante. Odiet. Kemarin dia baru pulang dari Jakarta.”
“Odiet yang kata tante seumuran sama Iskan?” aku memastikan. Odiet adalah anak sulung Tante Fio. Tapi setiap Tante Fio ke Jakarta, Odiet nggak pernah mau ikut. Makanya aku nggak pernah tahu seperti apa Odiet.
“Iya. Kalian, kan, nggak pernah ketemu. Kebetulan kamu di sini, Odiet juga di sini. Sekalian nanti tante kenalin. Masa’ saudara nggak saling kenal,” jelas Tante Fio panjang lebar. Aku tersenyum dan mengangguk.
Belum lama aku dan Tante Fio mengobrol, Mustika kembali. Tapi yang membuatku terkejut, dia merangkul Tante Fio.
“Mama. Lho, Mama udah kenal sama Iskan?” Mustika bertanya dengan heran. Dia duduk di antara aku dan Tante Fio.
“Mama?” aku bertanya heran.
“Elian, ini anak tante. Odiet. Diet, ini Elian, anak Tante Amorita yang di Jakarta itu, ” jelas Tante Fiorettha. Aku baru menyadari, nama Odiet diambil dari nama Aphrodite.
“Nggak mungkin! Mama apa-apaan, sih?” Mustika langsung mengubah posisi duduknya menghadap Tante Fio.
Dengan sabar Tante Fio mengelus rambut Mustika.
“Mbak Odiet, Mas Elian ini anaknya Tante Amorita. Tante Amorita itu sepupu mama. Selama ini kalau mama ajak ke Jakarta, kamu nggak pernah mau. Jadinya kamu dan Mas Elian nggak pernah ketemu. Padahal kalian, kan, masih saudara,” jelas Tante Fio. Aku yang tak percaya mendengar penjelasan Tante Fio hanya terdiam dan menunduk.
“Odiet nggak percaya,” Mustika langsung berdiri dan hendak keluar. Aku langsung berdiri dan menarik tangannya.
“Mus, sabar. Tante, saya dan Mustika ngomong di luar bentar, ya,” aku mengajak Mustika untuk berbicara di luar salon.
Aku langsung nenarik tangan Mustika dan mengajaknya keluar salon. Kebetulan tidak jauh dari salon ada lorong kecil menuju toilet umum. Kami berbicara di sana. Aku tak bisa menerima fakta kalau ternyata Mustika adalah Odiet, saudaraku sendiri yang selama ini belum pernah kutemui. Baru kemarin aku menyatakan perasaanku kepadanya. Dan hari ini aku berharap hubungan kami akan direstui mamanya Mustika. Ternyata kenyataan yang ada terlalu menyakitkan untuk bisa kuterima.
“Aku nggak bisa percaya ini, Is,” Mustika terisak dalam pelukanku.
“Aku juga nggak percaya, Mus. Tapi memang inilah faktanya. Kita ini masih ada hubungan saudara. Kita nggak mungkin memaksa untuk pacaran.”
“Tapi aku cinta banget sama kamu. kalau kita ini saudara, kita nggak bisa pacaran. Dan itu bikin aku tersiksa, Is,” Mustika semakin terisak. Aku memeluknya semakin erat.
Mustika, akupun tersiksa dengan kenyataan ini. Mengakui kita saudara, berarti membunuh harapan dari penyatuan perasaan cinta yang begitu besar antara kita. Tapi kita juga tidak mungkin tak mengakui kenyataan yang ada. Betapa tersiksanya batinku hingga aku tak bisa menyuarakan apa yang ada di hatiku.
“Mustika, ini memang berat. Tapi akan lebih berat lagi kalau kita memutuskan untuk pacaran. Tolong kamu dengar aku sekali ini saja. Aku janji akan tetap sayang sama kamu, mencintaimu sepenuh hatiku. Walau kita nggak mungkin pacaran. Biarkan perasaan ini cuma kita berdua yang tahu.” Aku mengangkat wajah Mustika yang sudah bersimbah air mata. Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya dan kukecup keningnya. Kueratkan pelukanku padanya.
Kenyataan ini terlalu sakit untuk aku dan Mustika tanggung. Tapi mungkin memang ini jalan yang terbaik. Kami mengetahuinya sebelum kami terlanjur berpacaran. Mungkin jika kami mengetahuinya setelah kami berpacaran, kami akan merasa lebih sakit hati lagi. akan sulit bagiku dan terutama Mustika untuk mengobati rasa sakit ini. Tapi aku yakin, waktu akan mengobati luka ini. Cepat atau lambat. Tapi waktu tak akan pernah mampu menghilangkan rasa cintaku yang sudah terlanjur dalam kepada Mustika.



Bontang, Kal-Tim / 12 Agustus 2010
10:41 pm

Tidak ada komentar: