September 14, 2010

INDAHNYA PERSAHABATAN

“Yah, ini ada paket untuk Ayah.”
Aku langsung melipat koran pagi yang sedang kubaca dan menerima paket dari istriku. Kubolak-balik paket tersebut, mencari nama pengirim. Hanya ada nama dan alamatku di bagian depan dan selembar kertas yang ditempel di bagian belakang paket. Sebaris kalimat tertulis di situ, ‘Jangan lupa shalat’ serta dua coretan tanda tangan yang nampak tak asing bagiku. Aku membuka bungkusan paket itu. Dan kulihat di dalamnya terdapat sehelai sarung tenun dan baju koko. Ingatanku langsung melayang ke masa 30 tahun lalu.

Aku berdiri di pintu gubuk reyotku. Menatap Emak dengan pandangan penuh kesal. Sementara Emak asyik menjahit sarung kumalku yang sudah penuh tambalan. Setelah selesai, Emak mengulurkan sarung yang kini sudah bertambah tambalannya itu kepadaku. Aku yang sedari tadi memendam kesal langsung melampiaskannya.
“Ah!” tolakku dan langsung lari keluar rumah. Tak kusadari Emak yang berteriak-teriak memanggil namaku sambil meneteskan air mata.
Aku terus berjalan menjauh dari gubukku. Gubuk yang kutinggali hanya berdua dengan Emak semenjak Bapak meninggal karena sakit lima tahun lalu. Tanpa kusadari, Emak menangis sambil menciumi sarung kumalku. Aku tak menyadarinya karena emosi yang membungkusku. Tanpa kusadari, aku sudah tiba di masjid kampungku. Tampak masjid sudah ramai dengan para jamaah yang hendak shalat Jumat. Aku tidak berani masuk masjid, aku hanya melihat dari serambi utara. Kulihat di saf paling belakang duduklah dua orang sahabatku, Habli dan Ikhsan. Tiba-tiba terbersit rasa iri di hatiku melihat mereka. Orangtua mereka terhitung keluarga yang mampu, berbeda denganku yang berasal dari keluarga miskin. Emak hanya buruh cuci dan setrika.
Penuh amarah aku berlari pulang kembali ke gubukku. Kuraih celengan keramik berbentuk ayam yang baru terisi setengah dan kubanting ke lantai tanah gubukku. Koin-koin dan beberapa lembar uang berhamburan. Kupungut semua dan kuhitung jumlahnya yang tak seberapa.
“Kok dipecah celengannya, nak? Katamu itu untuk biaya sekolahmu nanti kalau sudah SMA,” tanya Emak sambil mengelus kepalaku.
“Amir mau beli sarung baru, Mak. Amir malu sama teman-teman, sarung Amir sudah kumal dan penuh tambalan,” jelasku sambil menunduk. Tak kuasa menatap wajah Emak yang dipenuhi gurat keletihan.
Emak menarik napas panjang. Nampak berat beban yang dipanggulnya. Perlahan Emak merogohkan tangannya ke balik kain yang melilit di pinggangnya. Dikeluarkannya beberapa lembar uang. Aku tahu, itu pasti uang hasil Emak memeras keringat.
“Ini tadi Emak dapat rezeki lebih. Ambil, nak,” Emak mengulurkan uangnya kepadaku.
“Tapi ini, kan, uang hasil kerja Emak,” tolakku.
“Nggak apa-apa, sayang. Hari ini Emak dapat lebih dari biasanya, Emak masih ada simpanan, kok. Sudah, kamu pakai saja,” Emak terus mendesakku. Akhirnya kuambil juga uang itu karena memang sebenarnya uangku masih kurang untuk membeli sarung.
“Makasih, Mak. Amir ke pasar dulu,” pamitku pada Emak.

Di pasar aku langsung menuju lapak penjual sarung. Kupilih sarung yang harganya paling murah, sesuai uang yang kupunya.
“Pak, saya beli sarungnya satu.” Baru saja aku hendak menyerahkan uangku, datang dua orang pengemis. Seorang nenek yang dipapah cucunya.
“Cu, tolonglah. Kami sudah dua hari nggak makan,” airmata meleleh di pipinya yang keriput. Kupandangi uang yang tak seberapa jumlahnya di tanganku.
Kuserahkan semua uang logam yang kumiliki kepada pengemis itu.
“Terima kasih, cu. Terima kasih banyak,” penuh keharuan pengemis tua itu berterima kasih kepadaku. Kupandangi uang yang tersisa di tanganku. Aku sadar, sisa uang yang kupunya tak lagi cukup untuk membeli sarung, yang termurah sekalipun.
“Maaf, Pak. Saya nggak jadi beli sarungnya.” Kuletakkan lagi sarung baru itu dengan perasaan berat.
Lesu kulangkahkan kaki kembali pulang ke gubuk. Kulihat Emak sedang menyetrika sarung kumalku. Kuhampiri Emak dan kuserahkan kembali uang yang tadi diberikan kepadaku.
“Mak, ini uang yang tadi Emak kasih ke Amir. Amir nggak jadi beli sarung baru,” kusampirkan di bahu sarung yang baru selesai disetrika Emak lalu kuraih kopiah yang tergantung di gedhek gubuk kami. Aku bersiap menunaikan shalat Ashar.
Dengan langkah mantap aku menuju masjid. Sesampainya di masjid, aku langsung menuju tempat wudhu. Aku tak tahu kalau saat aku sedang berwudhu, Habli dan Ikhsan memperhatikanku. Dan akhirnya aku pun shalat dengan satu-satunya sarung yang aku punya. Selesai shalat aku langsung pulang dan membantu Emak memberi makan seekor kambing peninggalan Bapak.
Beberapa saat sebelum azan Maghrib berkumandang, ada yang mengetuk pintu gubukku. Aku membuka pintu dan kulihat Habli dan Ikhsan berdiri di depan pintu. Kupersilakan mereka masuk.
“Ada apa, Bli, San?”
“Ini buat kamu,” Habli menyerahkan satu bungkusan kepadaku. Aku menerima dengan bingung.
“Apa ini?”
“Buka saja,” jawab Ikhsan.
Begitu kubuka, tampaklah sepasang sarung dan baju koko berwarna biru yang masih baru. Kualitasnya pun bagus. Jauh di atas sarung yang ingin aku beli siang tadi.
“Ini…” aku tak mampu berkata-kata.
“Sebelumnya maaf, Mir. Tadi sore pas kamu wudhu, aku dan Habli perhatiin sarung dan baju koko kamu. Sarung kamu sudah penuh tambalan. Dan baju koko kamu juga warnanya sudah pudar. Makanya kami memberikan kamu sarung baru itu. Dan biar lengkap, sekalian aja kami belikan juga baju koko itu,” jelas Ikhsan.
“Iya, Mir. Selama ini kamu adalah sahabat yang selalu baik ke aku dan Ikhsan. Kami ingin membalas kebaikan kamu. Tadi sore habis shalat Ashar, aku dan Ikhsan patungan beli sarung dan baju koko itu buat kamu,” ujar Habli menambahkan.
Penuh rasa terima kasih aku memeluk dua orang sahabatku itu. Aku malu mengingat sempat terbersit rasa iriku pada mereka berdua. Aku malu, Ya Allah.
“Terima kasih banyak, sahabatku. Kalian benar-benar sahabat yang mengerti aku,” kueratkan pelukanku pada mereka. Mereka membalas dengan tepukan hangat di punggungku.
Diiringi kumandang azan Maghrib yang syahdu, air mataku menetes.
“Eh, sudah Maghrib, tuh. Kita ke masjid bareng, yuk,” ajak Ikhsan.
“Boleh, tuh. Mir, sarung ama baju koko barunya dipakai, ya. Biar kompak kita,” tambah Habli. Aku baru menyadari kalau Ikhsan dan Habli juga memakai baju koko berwarna biru. Hanya beda corak dan modelnya.
“Iya. Sebentar aku ganti baju dulu,” aku bergegas ke kamar untuk ganti baju.
Ternyata di dalam kamar kulihat Emak sedang duduk di dipan. Sepertinya sedang menangis.
“Mak, Emak kenapa nangis?” aku menyentuh pundak beliau perlahan dan duduk di sebelahnya.
“Emak terharu dengan kebaikan sahabat-sahabat kamu, Nak. Kamu patut bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Mereka orang-orang yang bersahabat karena Allah, bukan karena harta. Karena kita ini orang miskin, sementara mereka orang kaya. Selama ini kamu selalu berbuat baik kepada sesama, itu yang membuat mereka senang bersahabat denganmu. Kalau bukan karena kalian sama-sama umat Rasulullah yang begitu memuliakan persaudaraan antar kaum Muslim, mustahil kalian bisa bersahabat dengan tulus seperti sekarang.
Jaga selalu persahabatan kalian. Sahabat yang baik itu susah dicari. Sahabat yang baik itu bukan yang selalu mendukung agar mendapat pujian. Tapi yang berani menegur jika kita berbuat salah,” dengan suara serak menahan tangis, Emak memberi nasihat kepadaku.
Aku kembali meneteskan air mata.
“Iya, Mak. Amir janji akan menjaga persahabatan kami. Amir bersyukur banget dikaruniai Allah sahabat seperti mereka. Ini, mereka ngasih Amir sarung dan baju koko baru. Sekarang Amir dan mereka mau ke masjid dulu, Mak.”
“Iya, Mir. Emak mau nyiapin makanan untuk nanti malam. Selesai shalat ajak mereka makan di sini, ya. Walau sederhana dan apa adanya, tapi kita sudah berniat baik dengan menjamu mereka,” ujar Emak seraya beranjak ke dapur. Begitu Emak keluar dan menutup pintu kamar, aku langsung berganti baju dengan sarung dan baju koko pemberian Ikhsan dan Habli.
Begitu aku keluar dari kamar, kulihat Habli dan Ikhsan sedang duduk di dipan besar di ruang tamu. Mengobrol sambil menungguku.
“Maaf aku lama. Ayo, kita berangkat sekarang,” aku mengajak mereka untuk segera berangkat ke masjid.
“Nah, sekarang kita sudah kompak, nih,” sahut Ikhsan.
“Sudah, mengobrolnya nanti saja. Mak, kami berangkat ke masjid dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Habli pada Emak yang berdiri tak jauh dari kami.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan. Habis shalat kalian ikut makan di sini, ya. Emak masak enak, nih,” undang Emak.
“Oke, Mak. Kami berangkat, ya,” pamit Ikhsan.
Langkah kami berderap cepat seiring malam yang terus semakin pekat. Masjid sudah tampak di depan mata ketika iqamat berkumandang.
“Astaghfirullah, kita belum wudhu! Lari!” satu komando dariku dan akhirnya kami berlari menuju tempat wudhu. Terpaksa kami tertinggal satu rakaat. Ini karena kami kesyikan mengobrol saat di perjalanan.

Selesai shalat kami bergegas pulang ke gubukku. Emak pasti sudah menunggu kami dengan masakannya yang lezat. Kami berjalan dengan saling merangkul bahu. Aku di tengah, Ikhsan di sebelah kananku, dan Habli di sebelah kiriku. Kami saling tertawa dan melempar lelucon. Saat sedang ayik becanda, kami melihat seorang kakek yang nampak kerepotan mendorong gerobak berisi kayu bakar.
“Eh, ayo kota tolong kakek itu! Kasihan, beliau sepertinya kesulitan,” ajakku kepada Ikhsan dan Habli. Mereka langsung membantuku yang lebih dulu menolong kakek tua itu.
Bersama-sama kami bertiga membantu kakek tua. Aku memunguti kayu bakarnya yang berjatuhan. Sementara Ihsan dan Habli membantu mendorong gerobak. Kami membantu kakek tua itu sampai di rumahnya. Saat kami tiba di rumah kakek tua itu, hari sudah genap malam. Kami pun bersiap pamit.
“Kek, kami permisi pulang dulu karena sudah malam,” pamitku.
“Terima kasih sekali kalian sudah menolong kakek. Kalian semua memang anak yang baik,” ujar kakek itu.
“Sebenarnya yang punya inisiatif membantu adalah Amir, kek. Dia memang orang yang baik hati dan suka menolong sesame,” ujar Ikhsan sambil menunjukku.
“Terima kasih banyak, nak Amir. Semoga kamu bisa jadi orang yang sukses nantinya.”
“Amin. Terima kasih, kek. Ya sudah, kami pamit dulu, kek. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”

“Mas, kok ngelamun?”
“Eh…” aku tersadarkan dari lamunanku oleh teguran istriku. Aku berdiri dan melangkah ke arah lemari pajangan lalu meraih satu pigura berisi foto lama. Kupandangi foto lama itu lekat-lekat. Dalam foto itu nampak tiga orang pemuda dalam balutan seragam SMA yang penuh coretan wujud kegembiraan kelulusan.
Hingga saat ini kami bertiga masih bersahabat. Anak-anak kami juga bersahabat. Mereka masuk di sekolah yang sama, bahkan anak-anak kami sekelas sejak kelas 5 SD hingga sekarang kelas 1 SMP. Selepas SMA kami memang melanjutkan kuliah di tempat yang berbeda, Ikhsan bahkan melanjutkan di Australia. Jauhnya jarak yang memisahkan kami tak pernah mampu meruntuhkan kokohnya persahabatan kami. Kami saling berjanji untuk selalu menjaga indahnya persahabatan kami. Persahabatan karena kami adalah saudara sesama Muslim.



Surabaya, Ja-Tim / 30 Agustus 2010
10:58 pm

Tidak ada komentar: